Status Negara Hindia
Belanda Menurut NU Tahun 1938
Bulan Juni, tapatnya
tanggal 1, ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 2016 lalu sebagai hari lahir
Pancasila. Sebab pada bulan itu, Soekarno mengemukakan istilah Pancasila
sebagai dasar negara.
Di NU, bulan Juni
juga memiliki nilai sejarah yang tidak kecil karena di tahun 1938 mengemukakan
tentang status Indonesia (dulu Hindia Belanda). Para ulama pesantren menetapkan
bahwa Hindia Belanda berstatus negara Islam (Darul Islam).
Keputusan pada
muktamar yang belangsung di Banjarmasin itu didokumentasikan Abdul Mun’im DZ
dalam buku Piagam Perjuangan Kebangsaan. Ia menyebut salah satu hasil muktamar
tersebut dengan judul Negara Bangsa sebagai Perwujudan Aspirasi
Islam:
Sesungguhnya negara
kita Indonesia dinamakan Negara Islam karena telah pernah dikuasai sepenuhnya
oleh orang Islam. Walaupun pernah direbut oleh kaum penjajah kafir (Belanda),
tetapi nama negara Islam masih selamanya, sebagaimana keterangan dari Bughyatul
Murtarsyidin:
Setiap kawasan di mana orang Muslim mampu menempatinya pada suatu masa tertentu, maka kawasan itu menjadi daerah Islam yang ditandai dengan berlakunya hukum Islam pada masanya. Sedangkan pada masa sesudahnya walaupun kekuasaan Islam terputus oleh penguasaan orang-orang kafir (Belanda), dan melarang mereka untuk memasukinya kembali dan mengusir mereka. Jika dalam keadaan seperti itu, maka dinamakan darul harb (daerah perang) hanya merupakan bentuk formalnya, tetapi bukan hukumnya.
Dengan demikian perlu diketahui bahwa kawasan Batavia dan bahkan seluruh Tanah Jawa (Nusantara) adalah darul Islam (daerah Islam) karena pernah dikuasai umat Islam, sebelum dikuasai oleh orang kafir (Penjajah Belanda).
Banjarmasin 19 Juni 1936
Di dalam buku tersebut,
Abdul Mun’im menyertakan penjelasan oleh KH Achmad Siddiq, demikian:
“Pendapat NU bahwa
Indonesia (ketika masih dijajah Belanda) adalah Darul Islam sebagaimana
diputuskan dalam Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1936. Kata Darul Islam di
situ bukanlah sistem politik ketatanegaraan, tetapi sepenuhnya istilah
keagamaan (Islam), yang lebih tepat diterjemahkan wilayah Islam. Motif utama
dirumuskannya pendirian itu adalah bahwa di wilayah Islam, maka kalau ada
jenazah yang identitasnya tidak jelas non-Muslim, maka dia harus diperlakukan
sebagai Muslim. Di wilayah Islam, maka semua penduduk wajib memelihara
ketertiban masyarakat, mencegah perampokan, dan sebagainya. Namun demikian NU
menolak ikut milisi Hindia Belanda, karena menurut Islam membantu penjajah hukumnya
haram” (dalam Piagam Kebangsaan, hlm. 52). []
(Abdullah Alawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar