Rabu, 13 Februari 2019

Status Negara Hindia Belanda Menurut NU Tahun 1938


Status Negara Hindia Belanda Menurut NU Tahun 1938

Bulan Juni, tapatnya tanggal 1, ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 2016 lalu sebagai hari lahir Pancasila. Sebab pada bulan itu, Soekarno mengemukakan istilah Pancasila sebagai dasar negara. 

Di NU, bulan Juni juga memiliki nilai sejarah yang tidak kecil karena di tahun 1938 mengemukakan tentang status Indonesia (dulu Hindia Belanda). Para ulama pesantren menetapkan bahwa Hindia Belanda berstatus negara Islam (Darul Islam).

Keputusan pada muktamar yang belangsung di Banjarmasin itu didokumentasikan Abdul Mun’im DZ dalam buku Piagam Perjuangan Kebangsaan. Ia menyebut salah satu hasil muktamar tersebut dengan judul Negara Bangsa sebagai Perwujudan Aspirasi Islam:  

Sesungguhnya negara kita Indonesia dinamakan Negara Islam karena telah pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam. Walaupun pernah direbut oleh kaum penjajah kafir (Belanda), tetapi nama negara Islam masih selamanya, sebagaimana keterangan dari Bughyatul Murtarsyidin:

Setiap kawasan di mana orang Muslim mampu menempatinya pada suatu masa tertentu, maka kawasan itu menjadi daerah Islam yang ditandai dengan berlakunya hukum Islam pada masanya. Sedangkan pada masa sesudahnya walaupun kekuasaan Islam terputus oleh penguasaan orang-orang kafir (Belanda), dan melarang mereka untuk memasukinya kembali dan mengusir mereka. Jika dalam keadaan seperti itu, maka dinamakan darul harb (daerah perang) hanya merupakan bentuk formalnya, tetapi bukan hukumnya. 

Dengan demikian perlu diketahui bahwa kawasan Batavia dan bahkan seluruh Tanah Jawa (Nusantara) adalah darul Islam (daerah Islam) karena pernah dikuasai umat Islam, sebelum dikuasai oleh orang kafir (Penjajah Belanda).

Banjarmasin 19 Juni 1936

Di dalam buku tersebut, Abdul Mun’im menyertakan penjelasan oleh KH Achmad Siddiq, demikian:

“Pendapat NU bahwa Indonesia (ketika masih dijajah Belanda) adalah Darul Islam sebagaimana diputuskan dalam Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1936. Kata Darul Islam di situ bukanlah sistem politik ketatanegaraan, tetapi sepenuhnya istilah keagamaan (Islam), yang lebih tepat diterjemahkan wilayah Islam. Motif utama dirumuskannya pendirian itu adalah bahwa di wilayah Islam, maka kalau ada jenazah yang identitasnya tidak jelas non-Muslim, maka dia harus diperlakukan sebagai Muslim. Di wilayah Islam, maka semua penduduk wajib memelihara ketertiban masyarakat, mencegah perampokan, dan sebagainya. Namun demikian NU menolak ikut milisi Hindia Belanda, karena menurut Islam membantu penjajah hukumnya haram” (dalam Piagam Kebangsaan, hlm. 52). []

(Abdullah Alawi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar