Kewajiban Menggunakan Hukum
Syariat dalam Warisan
Seorang ibu paruh baya datang ke rumah
seorang ustadz. Kepadanya ia menceritakan perihal keluarganya yang sedang tidak
rukun dikarenakan masalah pembagian warisan. Semua saudara menginginkan harta
warisan peninggalan orang tua mereka dibagi rata kecuali sang ibu yang
menghendaki harta itu dibagi sesuai aturan syariat Islam. Meski ia menyadari
bahwa bila dibagi rata maka ia akan mendapatkan bagian lebih banyak dibanding
bila dibagi menurut hukum Islam. Masalah menjadi lebih rumit ketika ternyata
salah satu di antara ahli waris menginginkan mendapat bagian lebih banyak dari
lainnya dengan berbagai alasan.
Gambaran di atas adalah satu di antara sekian
banyak realitas yang terjadi di masyarakat Muslim. Ada banyak alasan bagi
mereka untuk tidak menggunakan hukum Islam dalam membagi harta warisan.
Keinginan untuk mendapat lebih banyak, merasa kasihan bila saudara perempuan
hanya mendapat bagian separuh dari saudara laki-laki, hingga karena memang
mereka tidak tahu bagaimana semestinya membagi warisan menurut Islam adalah
alasan yang kaprah terjadi. Yang lebih memprihatikan bahwa keengganan yang
demikian itu tidak saja terjadi pada orang-orang yang awam agama tapi juga
sebagian mereka yang memahami hukum agama.
Dr. Musthafa Al-Khin dalam kitab al-Fiqhul
Manhaji menjelaskan bahwa aturan pembagian warisan yang diajarkan oleh
Islam adalah aturan syariat yang permanen berdasarkan Al-Qur’an, sunah, dan
ijma’ para ulama. Keberadaannya di dalam syariat adalah sebagaimana keberadaan
hukum-hukum shalat, zakat, muamalat, dan hudud. Setiap Muslim wajib
melaksanakan dan mengamalkannya, tidak diperkenankan mengubah dan menolaknya
sepanjang masa.
Aturan tentang pembagian warisan ini datang
dari Allah yang Mahabijak yang di dalamnya terjaga kemaslahatan manusia baik
secara khusus maupun umum. Sepanjang umat manuisa berprasangka dan berpikir
baik maka apa yang digariskan Allah di dalam syariat-Nya pastilah baik bagi
mereka dan lebih memberi manfaat (Musthafa Al-Khin, al-Fiqhul Manhaji,
[Damaskus: Darul Qalam, 2013], jil. II, hal. 271 – 272).
Bila melihat ayat-ayat waris di dalam
Al-Qur’an kita bisa mengambil satu simpulan betapa Allah memberikan perhatian
lebih dalam hal ini. Bagaimana tidak, dengan begitu rinci dan detailnya Allah
mengatur bagian setiap ahli waris berikut dengan syarat yang mesti dipenuhinya.
Di sana kita dapati Allah mengatur secara pasti siapa dapat berapa bilamana
bagaimana.
Adanya rincian yang pasti ini menjadikan
setiap Muslim mesti tunduk dan patuh serta rela dan menerima dengan apa yang
diputuskan Tuhannya. Berapa pun bagian dirinya dari harta waris yang dibagi
mesti ia terima dengan penuh keridloan terhadap Allah subhânahu wa ta’âlâ.
Di dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 36
tegas Allah menyatakan:
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ
يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Artinya: “Dan tidaklah patut bagi seorang
mukmin laki-laki dan tidak pula bagi seorang mukmin perempuan, bila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada pilihan lain bagi urusan
mereka. Barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh ia telah
tersesat dengan kesesatan yang nyata.”
Maka tidak ada pilihan bagi seorang Muslim
dalam membagi harta warisan kecuali ia mesti menggunakan dan mengamalkan aturan
syariat yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ini bisa dipahami dari
dua ayat yang menutup serangkaian ayat yang menjelaskan perihal warisan.
Di dalam surat An-Nisa ayat 13–14, setelah
menuturkan secara rinci perihal bagian masing-masing ahli waris, Allah
menutupnya dengan memberikan janji dan ancaman sebagai berikut:
تِلْكَ
حُدُودُ اللهِ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ
تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ * وَمَنْ
يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا
فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ
Artinya: “Itulah ketentuan-ketentuan Allah.
Barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya maka Allah akan memasukkannya ke
dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di
dalamnya. Dan itulah kebahagiaan yang agung. Dan barang siapa yang mendurhakai
Allah dan Rasul-Nya dan melanggar aturannya maka Allah akan memasukkannya ke
dalam neraka, ia kekal di dalamnya. Dan baginya siksa yang menghinakan.”
Ya, Allah menjanjikan kemuliaan bagi siapa
saja yang mau menerima ketentuan-Nya dalam membagi warisan. Mereka yang rela
dengan pembagian Allah, sedikit atau banyak yang ia terima dari harta
peninggalan kerabatnya, baginya Allah janjikan surga. Dan bagi siapa saja yang
mengubah hukum Allah dengan tidak mau membagi warisan berdasarkan ketentuan
yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, dengan lebih memilih menggunakan
hukum yang lain, maka Allah janjikan ancaman neraka baginya. Karena ia tak rela
dengan apa yang dibagikan oleh Allah baginya.
Ada sebuah ilustrasi menyangkut rela atau
tidaknya seorang Muslim menggunakan hukum Islam dalam pembagian warisan.
Katakanlah Anda memiliki seorang anak laki-laki semata wayang yang telah sukses
secara duniawi. Kesuksesannya menjadikannya memiliki harta melimpah termasuk
deposito di bank 1 miliar rupiah.
Kepada Anda ia menyampaikan niatan untuk
menikahi seorang gadis pilihannya. Anda mengenal gadis pilihan itu dan tahu
persis bagaimana latar belakang keluarganya. Anda menolak. Anda tak merestui
anak laki-laki semata wayang Anda menikah dengan gadis itu. Namun karena anak
Anda bersikeras dan keukeuh ingin menikahinya maka akhirnya dengan berat hati
Anda mengizinkan anak Anda menikahinya.
Proses ijab kabul digelar. Semua telah hadir
untuk menyaksikan dan mengikuti proses perjodohan anak Anda dengan gadis yang
tidak Anda sukai itu. Sang wali telah menyampaikan ijabnya dan anak laki-laki
Anda menyatakan kabulnya. Doa keberkahan pun dipanjatkan oleh ulama yang ada.
Anak Anda kini telah sah menjadi seorang suami dari seorang gadis yang
sesungguhnya tak Anda kehendaki.
Namun takdir Allah berkata lain. Baru saja
doa keberkahan itu diakhiri anak laki-laki Anda menemui ajalnya, meninggal
dunia.
Menurut hukum waris Islam istri dari anak
laki-laki Anda itu berhak menerima seperempat dari harta yang ditinggalkan
suaminya, anak Anda. Bila sang suami memiliki deposito sejumlah 1 miliar maka
artinya sang istri berhak mendapat dua ratus lima puluh juta rupiah.
Dalam posisi seperti ini, akankah Anda
berikan uang dua ratus lima puluh juta rupiah itu pada gadis yang tidak Anda
restui untuk menjadi menantu itu?
Satu pernyataan yang ditulis oleh Dr.
Musthafa Al-Khin (2013: 268):
ولا
شك أيضا أن من أنكر مشروعيته فهو كافر مرتد عن الإسلام
Artinya: “Tidak diragukan pula bahwa orang
yang mengingkari pensyariatan warisan maka ia telah kafir dan keluar dari agama
Islam.”
Wallâhu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar