Kamis, 14 Februari 2019

Boediono: Pembangunan Rendah Karbon


Pembangunan Rendah Karbon
Oleh: Boediono

Dalam Laporan Panel Antar-pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) 2018 baru-baru ini, para ilmuwan memberikan peringatan keras bahwa ambang kenaikan suhu yang diperbolehkan untuk menyelamatkan bumi kita dari katastropi pemanasan global adalah 1,5 derajat celsius, bukan 2 derajat celsius.

Indonesia adalah salah satu negara penanda tangan kesepakatan internasional mengenai pemanasan global. Bagi kita yang bermukim di anak benua kepulauan terbesar di dunia, yang besar kemungkinan akan paling merasakan dampak pemanasan global, peringatan itu semestinya melipatgandakan rasa urgensi kita.

Berbagai bencana alam ekstrem yang terjadi akhir-akhir ini di sejumlah negara, termasuk negara kita, menyadarkan kita tentang betapa genting bagi kita untuk bertindak. Sekarang, bukan lima tahun lagi, adalah waktunya kita secara sistematis dan substantif mengintegrasikan—tidak sekadar menyisipkan—dampak perubahan iklim ke dalam arus utama perencanaan pembangunan dan perumusan kebijakan publik di Tanah Air. Dan, kita punya kabar baik.

Dari berbagai penelitian para ahli (Nordhaus, 2014; LECB, 2015), kita belajar bahwa upaya untuk menangani perubahan iklim tidak harus bertentangan dengan tujuan-tujuan lain pembangunan. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kemajuan kesejahteraan sosial yang berarti, dan lingkungan hidup yang berkualitas dapat bersama-sama diwujudkan. Tidak perlu ada trade-off antara pembangunan dan pelestarian alam.  Kuncinya ada pada perumusan kerangka kebijakan yang tepat dan yang secara konsisten dilaksanakan.

Kerangka kebijakan

Saat ini Bappenas, didukung ilmuwan dari dalam dan luar negeri, sedang menyiapkan kerangka kebijakan tersebut. Kerangka kebijakan  yang ”mengarusutamakan” pertumbuhan rendah karbon ke dalam proses perencanaan pembangunan kita. Kerangka kebijakan ini mengambil wawasan pembangunan jangka panjang, 20-30 tahun ke depan.

Upaya-upaya terobosan dirumuskan untuk mengintegrasikan secara substantif pertumbuhan rendah karbon ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Laporan awal, yang merangkum upaya mengarusutamakan pertumbuhan rendah karbon ke dalam  perencanaan pembangunan kita, akan rampung Maret mendatang.

Sebagai contoh, saya ambil dua di antara sejumlah bidang yang menjadi fokus kajian pembangunan rendah karbon: pemanfaatan lahan dan penggunaan energi. Dalam dua dekade terakhir, kebakaran hutan dan gambut telah menjadi sumber emisi karbon yang sangat besar. Peraturan dasar untuk menangani dan mengatasi hal-hal tersebut sudah kita miliki.  Namun, kendala utama yang terus berulang terletak pada pelaksanaan di lapangan.

Oleh karena itu, fokus dari exercise adalah pada perumusan kerangka kerja kebijakan komprehensif yang memastikan kontrol serta pencegahan kebakaran hutan dan gambut yang lebih efektif, tetapi sekaligus juga mengatasi persoalan pangan dan mengendalikan penggunaan lahan yang tak berkelanjutan (sustainable). Perbaikan regulasi masih diperlukan, tetapi pekerjaan utama tampaknya terletak pada peningkatan tata kelola dan efektivitas dari lembaga-lembaga pelaksana, termasuk pemantapan peraturan-peraturan operasionalnya. Karena pelaksanaannya menyangkut masyarakat dan dunia usaha, juga perlu dirumuskan aspek insentif serta skema-skema baru di bidang pembiayaan untuk mendorong investasi dan adopsi teknologi baru yang diperlukan.

Fokus laporan berikutnya adalah penggunaan energi, terutama di sektor listrik dan transportasi serta infrastruktur perkotaan. Saat ini penggunaan energi fosil merupakan sumber emisi karbon yang dominan, terutama di daerah perkotaan. Tanpa langkah-langkah khusus, dalam dekade-dekade mendatang situasi akan semakin parah dan biaya sosialnya akan semakin tinggi. Untuk listrik, perhatian perlu ditujukan pada transisi dari penggunaan bahan bakar fosil (khususnya batubara) ke sumber-sumber energi bersih dan terbarukan, seperti panas bumi, matahari, angin, dan air. Potensi energi ini sungguh berlimpah di negara kita.

Terkait sektor transportasi atau kegiatan perkotaan, kerangka kerja kebijakan yang dikembangkan mencakup percepatan pengembangan sistem transportasi umum, penerapan pajak jalan dan kendaraan yang sesuai, tinjauan atas subsidi bahan bakar, serta perbaikan sistem pengelolaan limbah, pencemaran, penyediaan air bersih, perbaikan kualitas udara, dan fasilitas perkotaan. Semua harus didasarkan pada perhitungan yang cermat dan bermuara pada usulan langkah-langkah konkret.
Koordinasi dan konsultasi

Di atas kertas semua itu tak terlalu sulit untuk dirumuskan. Namun, perencanaan pembangunan bukan sekadar pekerjaan yang bersifat teknis. Dalam kenyataan, mutlak perlu dilakukan proses koordinasi dan konsultasi intensif dengan para pemangku kepentingan, lembaga-lembaga pemerintahan di tingkat pusat dan daerah, dengan pelaku dunia usaha serta dengan berbagai pemangku kepentingan lain di luar pemerintah. Ini pekerjaan yang harus dilakukan begitu cetak biru rampung.

Keberhasilan pelaksanaan blueprint itu sangat bergantung pada keterlibatan dan partisipasi penuh para pemangku kepentingan tersebut. Imbauan saya kepada semua pemangku kepentingan, inisiatif untuk mengintegrasikan secara substantif pertumbuhan rendah karbon ke dalam penyusunan RPJMN 2020-2024 ini perlu kita dukung dan sambut dengan baik. Sebab, ini merupakan langkah awal, tetapi krusial untuk menjamin keberlanjutan pembangunan kita ke depan. Demi anak cucu kita. []

KOMPAS, 13 Februari 2019
Boediono | Wakil Presiden Republik Indonesia 2009-2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar