Pembangunan Rendah Karbon
Oleh: Boediono
Dalam Laporan Panel Antar-pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC)
2018 baru-baru ini, para ilmuwan memberikan peringatan keras bahwa ambang
kenaikan suhu yang diperbolehkan untuk menyelamatkan bumi kita dari katastropi
pemanasan global adalah 1,5 derajat celsius, bukan 2 derajat celsius.
Indonesia adalah salah satu negara penanda tangan kesepakatan
internasional mengenai pemanasan global. Bagi kita yang bermukim di anak benua
kepulauan terbesar di dunia, yang besar kemungkinan akan paling merasakan
dampak pemanasan global, peringatan itu semestinya melipatgandakan rasa urgensi
kita.
Berbagai bencana alam ekstrem yang terjadi akhir-akhir ini di
sejumlah negara, termasuk negara kita, menyadarkan kita tentang betapa genting
bagi kita untuk bertindak. Sekarang, bukan lima tahun lagi, adalah waktunya
kita secara sistematis dan substantif mengintegrasikan—tidak sekadar
menyisipkan—dampak perubahan iklim ke dalam arus utama perencanaan pembangunan
dan perumusan kebijakan publik di Tanah Air. Dan, kita punya kabar baik.
Dari berbagai penelitian para ahli (Nordhaus, 2014; LECB, 2015),
kita belajar bahwa upaya untuk menangani perubahan iklim tidak harus
bertentangan dengan tujuan-tujuan lain pembangunan. Tingkat pertumbuhan ekonomi
yang tinggi, kemajuan kesejahteraan sosial yang berarti, dan lingkungan hidup
yang berkualitas dapat bersama-sama diwujudkan. Tidak perlu
ada trade-off antara pembangunan dan pelestarian alam. Kuncinya
ada pada perumusan kerangka kebijakan yang tepat dan yang secara konsisten
dilaksanakan.
Kerangka kebijakan
Saat ini Bappenas, didukung ilmuwan dari dalam dan luar negeri,
sedang menyiapkan kerangka kebijakan tersebut. Kerangka kebijakan yang
”mengarusutamakan” pertumbuhan rendah karbon ke dalam proses perencanaan
pembangunan kita. Kerangka kebijakan ini mengambil wawasan pembangunan jangka
panjang, 20-30 tahun ke depan.
Upaya-upaya terobosan dirumuskan untuk mengintegrasikan secara
substantif pertumbuhan rendah karbon ke dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Laporan awal, yang merangkum upaya
mengarusutamakan pertumbuhan rendah karbon ke dalam perencanaan
pembangunan kita, akan rampung Maret mendatang.
Sebagai contoh, saya ambil dua di antara sejumlah bidang yang
menjadi fokus kajian pembangunan rendah karbon: pemanfaatan lahan dan
penggunaan energi. Dalam dua dekade terakhir, kebakaran hutan dan gambut telah
menjadi sumber emisi karbon yang sangat besar. Peraturan dasar untuk menangani
dan mengatasi hal-hal tersebut sudah kita miliki. Namun, kendala utama
yang terus berulang terletak pada pelaksanaan di lapangan.
Oleh karena itu, fokus dari exercise adalah pada
perumusan kerangka kerja kebijakan komprehensif yang memastikan kontrol serta
pencegahan kebakaran hutan dan gambut yang lebih efektif, tetapi sekaligus juga
mengatasi persoalan pangan dan mengendalikan penggunaan lahan yang tak
berkelanjutan (sustainable). Perbaikan regulasi masih diperlukan, tetapi
pekerjaan utama tampaknya terletak pada peningkatan tata kelola dan efektivitas
dari lembaga-lembaga pelaksana, termasuk pemantapan peraturan-peraturan
operasionalnya. Karena pelaksanaannya menyangkut masyarakat dan dunia usaha,
juga perlu dirumuskan aspek insentif serta skema-skema baru di bidang
pembiayaan untuk mendorong investasi dan adopsi teknologi baru yang diperlukan.
Fokus laporan berikutnya adalah penggunaan energi, terutama di
sektor listrik dan transportasi serta infrastruktur perkotaan. Saat ini
penggunaan energi fosil merupakan sumber emisi karbon yang dominan, terutama di
daerah perkotaan. Tanpa langkah-langkah khusus, dalam dekade-dekade mendatang
situasi akan semakin parah dan biaya sosialnya akan semakin tinggi. Untuk
listrik, perhatian perlu ditujukan pada transisi dari penggunaan bahan bakar
fosil (khususnya batubara) ke sumber-sumber energi bersih dan terbarukan,
seperti panas bumi, matahari, angin, dan air. Potensi energi ini sungguh
berlimpah di negara kita.
Terkait sektor transportasi atau kegiatan perkotaan, kerangka
kerja kebijakan yang dikembangkan mencakup percepatan pengembangan sistem
transportasi umum, penerapan pajak jalan dan kendaraan yang sesuai, tinjauan
atas subsidi bahan bakar, serta perbaikan sistem pengelolaan limbah,
pencemaran, penyediaan air bersih, perbaikan kualitas udara, dan fasilitas
perkotaan. Semua harus didasarkan pada perhitungan yang cermat dan bermuara
pada usulan langkah-langkah konkret.
Koordinasi dan konsultasi
Di atas kertas semua itu tak terlalu sulit untuk dirumuskan.
Namun, perencanaan pembangunan bukan sekadar pekerjaan yang bersifat teknis.
Dalam kenyataan, mutlak perlu dilakukan proses koordinasi dan konsultasi
intensif dengan para pemangku kepentingan, lembaga-lembaga pemerintahan di
tingkat pusat dan daerah, dengan pelaku dunia usaha serta dengan berbagai
pemangku kepentingan lain di luar pemerintah. Ini pekerjaan yang harus
dilakukan begitu cetak biru rampung.
Keberhasilan pelaksanaan blueprint itu sangat bergantung
pada keterlibatan dan partisipasi penuh para pemangku kepentingan tersebut.
Imbauan saya kepada semua pemangku kepentingan, inisiatif untuk
mengintegrasikan secara substantif pertumbuhan rendah karbon ke dalam
penyusunan RPJMN 2020-2024 ini perlu kita dukung dan sambut dengan baik. Sebab,
ini merupakan langkah awal, tetapi krusial untuk menjamin keberlanjutan
pembangunan kita ke depan. Demi anak cucu kita. []
KOMPAS, 13 Februari 2019
Boediono | Wakil Presiden Republik Indonesia 2009-2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar