Hukum Menjawab Salam
Non-Muslim
Pertanyaan:
Assalamu alaikum wr. wb.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online, kondisi
masyarakat semakin heterogen dan cair. Dalam sebuah perkumpulan kita tidak
hanya berinteraksi dengan saudara seiman, tetapi juga saudara sebangsa dan
setanah air, atau lintas Negara dengan lintas agama. Masalahnya mereka kerap
mengawali pertemuan atau membuka forum dengan salam untuk menghormati umat
Islam. Apakah kita harus menjawab salam mereka? Dan ini tampaknya sudah lazim
sekali di masyarakat. Terima kasih.
Ni‘am – Depok
Jawaban:
Penanya yang budiman, semoga dirahmati Allah
SWT. Salam merupakan bagian dari ibadah karena salam itu mengandung doa sesama Muslim
setiap kali mereka berjumpa atau berpisah.
Rasulullah SAW menganjurkan umatnya untuk
menebar salam karena mengandung doa kesejahteraan dan kedamaian.
عن
أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تدخلوا الجنة
حتى تؤمنوا ولا تؤمنوا حتى تحابوا أولا أدلكم على شئ إذا فعلتموه تحاببتم ؟ أفشوا
السلام بينكم
Artinya, “Dari Abu Hurairah RA, ia berkata
bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Kalian tidak akan masuk surga sehingga kalian
beriman. Kalian tidak akan beriman sehingga kalian saling mencintai. Mau kah
kalian aku tunjuki sebuah amal yang bila dilaksanakan membuat kalian saling
mencintai? Tebarkanlah salam,’” (HR Muslim).
Lalu bagaimana dengan salam terhadap
non-Muslim?
Ulama Mazhab Syafi‘i berbeda pendapat soal
ini. Masalah ini dibahas oleh Imam An-Nawawi dalam Al-Azkar yang mengangkat
perbedaan pandangan ulama tersebut.
وأما
أهل الذمة فاختلف أصحابنا فيهم، فقطع الأكثرون بأنه لا يجوز ابتداؤهم بالسلام،
وقال آخرون ليس هو بحرام، بل هو مكروه، فإن سلموا هم على مسلم قال في الرد وعليكم،
ولا يزيد على هذا
Artinya, “Adapun perihal non-Muslim, ulama
kami berbeda pendapat. Mayoritas ulama kami memutuskan bahwa memulai salam
kepada non-Muslim tidak boleh. Tetapi sebagian ulama menyatakan hal itu tidak
haram, tetapi makruh. Tetapi ketika mereka memulai salam kepada Muslim, maka
cukup dijawab ‘Wa ‘alaikum’ dan tidak lebih dari itu,” (Lihat Imam An-Nawawi,
Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 216).
Imam Al-Mawardi sebagaimana dikutip oleh Imam
An-Nawawi membolehkan lafal “wa ‘alaikum salam” tanpa “wa rahmatullāh” sebagai
jawaban salam non-Muslim. Tetapi pandangan ini sangat lemah. Pandangan ini,
kata Imam Nawawi, bertentangan secara umum dengan hadits riwayat Bukhari dan
Muslim berikut ini.
وروينا
في صحيحي البخاري ومسلم عن أنس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم إذا سلم عليكم أهل الكتاب فقولوا وعليكم
Artinya, “Diriwayatkan di Shahih Bukhari dan
Muslim dari Anas RA, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Jika ahli kitab
mengucap salam kepadamu, maka jawablah ‘wa ‘alaikum,’’” (Lihat Imam An-Nawawi,
Al-Adzkar, [Damaskus: Darul Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 217).
Sementara Abu Said menawarkan lafal lain yang
dapat digunakan sebagai jawaban atas salam non-Muslim. Sejauh ada hajat
tertentu seperti menghormati non-Muslim yang mengawali pertemuan dengan salam,
maka lafal-lafal tawaran Abu Said dapat digunakan sebagai alternatif.
قال
أبو سعد لو أراد تحية ذمي، فعلها بغير السلام، بأن يقول هداك الله أو أنعم الله
صباحك. قلت هذا الذي قاله أبو سعد لا بأس به إذا احتاج إليه، فيقول صبحت بالخير أو
السعادة أو بالعافية أو صبحك الله بالسرور أو بالسعادة والنعمة أو بالمسرة أو ما
أشبه ذلك. وأما إذا لم يحتج إليه فالاختيار أن لا يقول شيئا
Artinya, “Abu Said berkata, kalau seorang
Muslim ingin menghormati non-Muslim, maka ia dapat menghormatinya dengan
kalimat selain salam, yaitu dengan kalimat ‘hadākallāhu (semoga Allah memberi
petunjuk padamu)’, ‘An‘amallāhu shabāhaka (semoga Allah membuat pagimu indah).’
Menurut saya (kata Imam An-Nawawi), pendapat Abu Said itu tidak masalah jika
ada keperluan di mana seseorang menjawab, ‘Semoga pagimu ini baik, bahagia,
atau sehat’, ‘Semoga Allah membuat pagimu bahagia, gembira, dalam nikmat, dalam
kesenangan, atau serupa itu.’ Tetapi jika tidak diperlukan, maka sebaiknya
tidak menjawab apa pun,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, [Damaskus: Darul
Mallah, 1971 M/1391 H], halaman 217).
Sejumlah pandangan ulama ini demikian adanya
dengan asumsi bahwa salam yang diucapkan itu diniatkan sebagai doa yang tidak
lain adalah ibadah dan karenanya bersifat sakral. Tetapi kita dapat menggunakan
lafal “wa ‘alaikum salam” sebagai sebagai jawaban salam non-Muslim dengan niat
bukan sebagai doa, tetapi diniatkan sapaan pergaulan dan karenanya bersifat profan.
Kita dapat meminjam lafal “wa ‘alaikum salam”
yang menjadi jawaban untuk salam non-Muslim tanpa meniatkannya sebagai doa
sehingga bersifat profan, tidak meniatkannya sebagai doa sebagaimana salam yang
diamalkan umat Islam pada umumnya yang bersifat sakral. Peminjaman lafal ini
dalam istilah kajian balaghah disebut sebagai iqtibas.
Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa
dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari
para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar