Bangsa (Tak) Terbelah
Oleh: Hasibullah Satrawi
Belakangan ini ada kekhawatiran soal keindonesiaan kita bersama.
Hal itu terkait dengan keterbelahan, hilangnya persaudaraan, dan akhirnya
hilangnya Indonesia sebagai rumah bersama. Memang belum (sepenuhnya) terjadi,
tetapi kekhawatiran ini muncul melihat pelbagai macam fenomena sosial politik
mutakhir: dari aksi dukung-mendukung golongan, ras, suku, dan terutama agama.
Kondisi media sosial yang sangat terbuka, tetapi tidak disertai
kesiapan wawasan dan kematangan bersikap telah jadi ”arena konflik” yang sangat
luas dan bersifat terus-menerus.
Seseorang atau pihak mana pun bisa menyerang para pihak yang tidak
disukai kapan saja, dengan bahasa apa saja, bahkan dengan cara apa saja,
termasuk fitnah dan hoaks. Semua ini membuat soal keterbelahan begitu dekat, di
depan mata.
Suasana ini membuat para pihak yang peduli keindonesiaan berupaya
menghidupkan narasi kebangsaan, persatuan, dan realitas keberagaman. Pemerintah
memopulerkan slogan-slogan keindonesiaan seperti ”Pancasila adalah Kita”,
bahkan mengantisipasi semua itu dengan regulasi dan penegakan hukum.
Namun, pelbagai macam upaya itu belum menuai hasil yang
diharapkan. Justru kekhawatiran yang ada semakin kuat karena seakan membentuk
pola aksi-reaksi di antara pemerintah bersama pendukungnya di satu sisi, dengan
oposisi di sisi lain. Seakan pendukung keindonesiaan (sebagian memang mendukung
tanpa kepentingan apa pun) di satu sisi, dengan yang tidak mendukung
keindonesiaan (sebagian memang tidak mendukung secara ideologis) di sisi lain.
Rasa persaudaraan hilang
Dalam hemat penulis, ada satu hal yang lebih krusial dari semua
tantangan tersebut, yaitu hilangnya rasa persaudaraan. Dalam konteks seperti
ini, kita bisa mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri: apakah bangsa ini
telah terbelah? Apakah aku sebagai individu telah terbelah dari aku-aku yang
lain sebagai satu warga negara-bangsa? Hanya kita yang bisa menjawab secara
pasti. Jawaban yang menjadi indikator ke(tak)terbelahan kita sebagai satu warga
negara-bangsa.
Manakala kita memandang dan meyakini yang lain sebagai musuh
(bukan sebagai saudara), maka sejak saat itu kita sebagai warga bangsa telah
terbelah. Baik dalam arti agama, ras, suku, golongan, ormas, mazhab pemikiran,
mazhab ekonomi, kenegaraan, kelompok politik, maupun lainnya.
Sebaliknya, manakala yang lain itu masih menjelma sebagai saudara
dalam sanubari kita, sesungguhnya keterbelahan itu tak pernah terjadi, sejauh
apa pun yang lain itu berada: tak hanya mereka yang berada di rumah ibadah
berbeda, tak hanya mereka yang berada di kelompok politik berbeda.
Persoalannya adalah, disadari atau tidak, sebagian dari kita
mengidap penyakit ”persaudaraan langkah kaki” atau al-ukhuwah al-ba’idah (persaudaraan
jauh). Ini sejenis persaudaraan yang berpijak pada bumi-bumi yang jauh di sana.
Sementara bumi-bumi yang dekat di sini justru ”dilangkahi” dan tak mendapatkan
pijakan persaudaraan kita.
Persaudaraan langkah kaki telah membuat penderitaan masyarakat
yang jauh di luar Indonesia terasa begitu dekat, tetapi pada waktu bersamaan,
kita hampir mengabaikan penderitaan masyarakat di sekitar kita. Persaudaraan
langkah kaki membuat kita hampir mengabaikan bahkan mungkin memusuhi mereka
yang berbeda di sekeliling kita.
Persis seperti berjalan kaki, kita ayunkan kaki persaudaraan untuk
memijak tanah-tanah yang terjauh dalam jangkauan kita, tetapi kita mengabaikan
tanah-tanah dekat yang ada di antara langkah-langkah kita.
Persaudaraan menyeluruh
Apa yang disampaikan oleh para tokoh panutan terkait dengan
persaudaraan sejatinya menjadi renungan, refleksi, dan introspeksi bagi semua
pihak, khususnya para pengambil kebijakan. Sebagai contoh, KH Akhmad Shiddiq
(1926-1991) mengenalkan konsepsi persaudaraan menyeluruh yang berpijak pada
tiga komponen utama, yaitu persaudaraan atas dasar keagamaan (dalam hal ini
Islam, ukhuwah
Islamiyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah), dan persaudaraan
kemanusiaan (ukuwah
insaniyah).
Dalam hemat penulis, dilihat dari norma-norma keislaman yang bersifat
universal, konsep persaudaraan menyeluruh di atas bisa ditambah dengan satu
komponen lagi, yaitu persaudaraan sesama makhluk (ukhuwah khalqiyah).
Dalam salah satu ayat Al-Quran (QS 21: 107) disebutkan bahwa
kerasulan Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam (wama arsalnaka illa rahmatan lil
’alamin, dan, ”Kami tidak mengutus engkau—Muhammad— melainkan
untuk—menjadi— rahmat bagi seluruh alam).”
Istilah seluruh alam tentu tak hanya merujuk pada
golongan-golongan manusia tertentu. Bukan juga hanya merujuk kepada manusia
secara umum, melainkan merujuk kepada seluruh makhluk yang diciptakan Allah
SWT.
Dalam pancaran konsepsi persaudaraan menyeluruh ini, tak ada pihak
di bawah kolong langit ini yang dapat disebut (apalagi diperlakukan) sebagai musuh.
Karena kalau bukan saudara seagama atau saudara sebangsa, yang lain adalah
saudara sesama makhluk berakal budi. Bahkan yang tak berakal budi sekalipun
masuk dalam jangkauan: persaudaraan sesama makhluk.
Rasa persaudaraan ini sangat penting untuk menumbuhkan sikap
ataupun kebijakan yang proporsional dalam menyikapi yang lain. Walaupun berada
di luar pemahaman keagamaan ataupun kenegaraan kita, martabat dan hak-hak
mereka sebagai manusia harus tetap dihormati. Di samping itu, rasa persaudaraan
akan mendorong tiap-tiap pihak untuk melakukan perjumpaan secara langsung dan
memusyawarahkan hal-hal yang menjadi titik tengkar ataupun perselisihan.
Dalam salah satu hadis, Nabi Muhammad SAW mengatakan, unshur akhaka dzaliman aw
madzluman (tolonglah saudaramu yang zalim maupun yang
terzalimi). Dalam hadis ini, Nabi menggunakan istilah saudara (akhaka) terhadap orang
yang zalim sekalipun. Bahkan tindakan pun harus berada dalam orientasi yang
positif dan dalam bingkai persaudaraan, yaitu menolong (unshur).
Oleh karena itu, sejatinya persaudaraan menyeluruh ini menjadi
modal dan kekuatan bangsa ini ke depan untuk menghadapi segala tantangan.
Perbedaan yang ada bisa dimusyawarahkan untuk mencapai kesepakatan bersama. []
KOMPAS, 31 Januari 2019
Hasibullah Satrawi | Direktur
Aliansi Indonesia Damai (AIDA); Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar