Rintihan
Sopir Taksi
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
“Siapa
pun yang terpilih dalam Pilpres 2019, nasib saya tidak akan berubah.” Itulah
rintihan perih Bung Mukijo (49), sopir taksi Pamungkas AB 1719 AH No 319, yang
disampaikan kepada saya dalam perjalanan kami dari Nogotirto ke Bandara Adi
Sutjipto, DI Yogyakarta, pada 26 Januari 2019, pukul 08.15--08.45 WIB.
Diteruskannya,
“Sekarang sudah banyak sopir yang mem-PHK-kan dirinya sendiri karena profesi
sebagai sopir taksi sungguh semakin tidak menentu.” Pendapatan mereka
kocar-kacir, tidak pernah lagi mencapai Rp 2 juta per bulan.
Itu pun
sudah berkeliling antara empat hingga lima hari per minggu, siang dan malam.
Agar dapurnya tetap berasap, Mukijo juga menggarap sawah orang lain dengan
perbandingan bagi hasil 50:50. Tetapi jika tanamannya gagal karena berbagai
sebab, itulah risiko lain yang harus ditanggungnya.
Untunglah
sahabat kita ini punya keluarga kecil: satu istri, dua anak. Anak laki-lakinya
telah mengikuti jejaknya sebagai sopir taksi pula, sedangkan anak perempuannya
masih SMA kelas 1. Yang sedikit meringankan tanggungannya, rumah tidak menyewa.
Ada rumah sederhana warisan orang tuanya.
Dalam
kasus Mukijo ini, belum tampak tanda-tanda bagi keturunannya untuk mengubah
nasib masa depannya. Semuanya masih kelabu. Dan tentulah anak bangsa dalam
posisi semacam ini, mungkin dalam jumlah jutaan dari sekitar 263 juta rakyat
Indonesia.
Jadi,
jika dikatakan sila ke-5 Pancasila belum turun ke bumi kenyataan secara
meyakinkan bukanlah sesuatu yang dibuat-buat, tetapi adalah sebuah fakta keras
yang tak terbantahkan setelah usia kemerdekaan kita sudah mendekati angka 74
tahun.
Sebagai
bagian dari lautan rakyat kecil di Indonesia, Mukijo tidak lupa memberi arahan
kepada putrinya: “Pokok-e kowe ora urusan karo polisi” (Engkau jangan sampai
berurusan dengan polisi).
Untuk
menghindari berbagai kemungkinan buruk itu, Mukijo mengingatkan anaknya agar
tidak terlibat dalam narkoba, tidak melanggar peraturan lalu lintas, dan
menjauhi perilaku menyimpang lainnya.
Dia
sangat takut dipanggil polisi, jika anaknya tidak hati-hati dalam melangkah,
karena pasti akan menambah beban mentalnya yang sudah lama hidup dalam
kesusahan itu. Anaknya ternyata mematuhi nasihat ayahnya itu. Ini cukup
menghibur perasaannya.
Menurut
Mukijo, anak-anak sekarang sangat sulit diatur orang tuanya. Saya mendengarkan
dengan penuh rasa simpati segala keluhan Mukijo. Sesekali saya sisipkan
pertanyaan untuk mendapatkan gambaran lebih utuh tentang nasib para sopir di
Yogyakarta.
Mungkin
di kota-kota lain situasinya tidak akan banyak berbeda. Taksi banyak yang
menganggur karena ditinggal para sopir yang tidak memungkinkan lagi mereka
meneruskan profesi itu.
Dulu,
mereka pernah bernasib lebih baik, sebelum munculnya jenis taksi daring yang
memungkinkan setiap orang punya peluang bebas untuk berebut rezeki dalam bidang
apa saja pada era teknologi informasi yang semakin tidak terkontrol ini.
Mukijo
juga mendaftarkan diri dalam jaringan taksi daring ini, tetapi katanya tidak
selalu menguntungkan karena persaingan di ranah ini sudah demikian ‘brutal’.
Mobil
pribadi, mobil pinjaman dengan pelat hitam dalam berbagai merek dan jenis
sama-sama terlibat dalam persaingan dengan taksi konvensional yang memakai
pelat kuning. Mukijo mengeluhkan, mengapa pemerintah tidak mengeluarkan aturan
agar persaingan semacam ini tidak semakin memburuk dan bahkan saling mematikan.
Yogyakarta
wilayah sempit. Beberapa ruas jalan pada jam-jam tertentu sudah macet.
Kendaraan terus bertambah, mungkin setiap hari, sementara ruas jalan statis.
Kita
tidak bisa membayangkan dalam jangka waktu 10 tahun lagi, apakah mobil masih
bisa bergerak atau harus dikandangkan saja. Saya sendiri sudah mulai takut bawa
mobil, mengingat situasi jalan yang semakin tidak nyaman dan tidak aman di
tengah desakan kendaraan yang berjubel.
Mukijo
juga merasakan ketidaknyamanan itu, tetapi baginya tidak ada jalan lain,
kecuali harus diadang, demi sesuap nasi dengan empat mulut, sekalipun putranya
sebagai sopir telah sedikit membantu.
Tuan dan
puan, ini adalah tulisan saya untuk kesekian kalinya tentang kehidupan sopir
taksi di Yogyakarta. Ada satu dua yang sudah mapan secara ekonomi karena
ditopang oleh jenis pekerjaan lain yang menguntungkannya.
Namun,
secara umum nasib para sopir taksi masih dalam keadaan serbasulit yang belum
berkesudahan. Oleh sebab itu, bila Anda naik taksi dengan memakai argometer,
jangan segan-segan melebihkan ongkos yang tertulis di sana.
Para
sopir dengan sedikit tambahan itu pasti akan mendoakan rezeki Anda akan
bertambah pula. Sopir taksi adalah teman bicara yang menarik, sekalipun
disampaikan dalam nada rintihan. []
REPUBLIKA,
29 Januari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar