Sumber Ilmu Tauhid dan
Kedudukannya di Antara Ilmu-ilmu Lain
Kategori Ilmu
Imam Al-Ghazali dalam Ar-Risalah
Al-Laduniyyah menyatakan bahwa ilmu itu terbagi menjadi dua kategori utama,
yaitu ilmu syar’iy (ilmu keagamaan) dan ilmu ‘aqliy (ilmu rasionalitas).
Ilmu syar’iy (keagamaan) kemudian
terbagi menjadi dua bagian, yaitu ilmu al-ushul (ilmu pokok-pokok
keagamaan), dan ilmu al-furu’ (ilmu cabang-cabang keagamaan).
Yang masuk kategori dalam ilmu al-ushul sebagai
bagian dari ilmu syar’iy adalah ilmu tauhid, ilmu tafsir (ilmu yang
mengkaji tentang Al-Quran dan penafsirannya), dan ilmu al-akhbar (ilmu
yang mengkaji tentang hadits Rasulullah dan pemahamannya). Ilmu al-ushul
terkategori sebagai ilmu teoritis (ilmiyyan).
Ilmu al-furu’ (ilmu cabang-cabang
keagamaan) sebagai bagian dari ilmu syar’iy itu terkategori ilmu
aplikatif (‘amaliyy). Ilmu ini mencakup tiga hak. Pertama, hak Allah
yang meliputi rukun-rukun ibadah semisal thaharah, shalat, zakat, haji,
jihad, dzikir, dan lain-lain perkara yang wajib dan sunnah. Kedua, hak sebagai
hamba Allah, yang mencakup interaksi bisnis, relasi sosial, dan transaksi
antarmanusia. Jenis pertama dan kedua ini disebut sebagai ilmu fiqih. Ilmu ini
mulia karena manusia tidak akan bisa terlepas darinya. Ketiga, hak diri, yang
disebut juga sebagai ilmu akhlak. Akhlak itu ada yang tercela, dan manusia
harus menghilangkannya; dan ada yang terpuji, yang mesti menjadi hiasan jiwa
manusia.
Ilmu ‘aqliyy (ilmu rasionalitas)
termasuk ilmu yang rumit. Ilmu ini terbagi menjadi tiga tahapan. Pertama
adalah ilmu ar-riyadhy (matematika, atau ilmu hitungan) dan ilmu mantiqiy
(logika). Kedua adalah ilmu at-tabiiyy (ilmu alam atau biologi). Ketiga
adalah ilmu nadhar fil mawjud (ilmu penelitian tentang segala hal yang
ada).
Objek Ilmu Tauhid dan Sumbernya
Sebagai ilmu syar’iy, ilmu tauhid mengaji
tentang zat dan sifat Allah, perihal kenabian, kematian, dan kehidupan, kiamat
dan segala hal yang terjadi di hari kiamat. Kajian utama ilmu tauhid adalah
tentang Allah Yang Qadim (terdahulu, tanpa ada pemulaan). Syekh Al-Khatib
al-Baghdady meriwayatkan bahwa Imam Junaid al-Baghdady berkata:
التَّوْحِيد
إفْرَادُ القَدِيْمِ مِن المحدث
“Tauhid adalah pengesaan Allah Yang Qadim
dari menyerupai makhluk-Nya.”
Ilmu tauhid adalah ilmu yang paling utama,
karena yang dikaji adalah Allah, Sang Pencipta, Yang Maha Esa. Ilmu ini wajib
dipelajari oleh setiap yang berakal. Ulama ilmu ini adalah ulama yang paling
utama.
Pembahasan ilmu tauhid menurut Ahlussunnah
wal Jama'ah harus dilandasi dalil dan argumentasi yang definitif (qath'i)
dari al-Qur'an, hadits, ijma' ulama, dan argumentasi akal yang sehat. Imam
al-Ghazali dalam Ar-Risalah al-Laduniyyah mengatakan:
وَأَهْلُ
النَّظَرِ فِيْ هَذَا الْعِلْمِ يَتَمَسَّكُوْنَ أَوَّلاً بِآيَاتِ اللهِ تَعَالَى
مِنَ اْلقُرْآنِ، ثُمَّ بِأَخْبَارِ الرَّسُوْلِ، ثُمَّ بِالدَّلاَئِلِ
الْعَقْلِيَّةِ وَالْبَرَاهِيْنِ الْقِيَاسِيَّةِ.
Ahli nadhar (nalar) dalam ilmu akidah ini
pertama kali berpegangan pada ayat-ayat Al-Qur'an, kemudian dengan
hadits-hadits Rasul, dan terakhir pada dalil-dalil rasional dan
argumentasi-argumentasi analogis.
Berikut adalah rincian dalil-dalil tersebut
secara hirarkis:
1. Al-Qur'an
Al-Qur'an al-Karim adalah pokok dari semua
argumentasi dan dalil. Al-Qur'an adalah dalil yang membuktikan kebenaran
risalah Nabi Muhammad dan dalil yang membuktikan benar dan tidaknya suatu
ajaran. Al-Qur'an juga merupakan kitab Allah terakhir yang menegaskan pesan-pesan
kitab-kitab samawi sebelumnya. Allah memerintahkan dalam al-Qur'an agar kaum
Muslimin senantiasa mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada Allah
dan Rasul-Nya:
فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ
Artinya: “Kemudian jika kalian
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya).” (QS. al-Nisa' : 59).
Mengembalikan persoalan kepada Allah, berarti
mengembalikannya kepada Al-Qur'an. Sedangkan mengembalikan persoalan kepada
Rasul, berarti mengembalikannya kepada sunnah Rasul yang shahih.
2. Hadits
Hadits adalah dasar kedua dalam penetapan
akidah-akidah dalam Islam. Tetapi tidak semua hadits dapat dijadikan dasar
dalam menetapkan akidah. Hadits yang dapat dijadikan dasar dalam menetapkan
akidah adalah hadits yang perawinya disepakati, dan dapat dipercaya oleh para
ulama. Sedangkan hadits yang perawinya masih diperselisihkan oleh para ulama,
tidak dapat dijadikan dasar dalam menetapkan akidah sebagaimana kesepakatan
para ulama ahli hadits dan fuqaha yang mensucikan Allah dari menyerupai
makhluk. Menurut mereka, dalam menetapkan akidah tidak cukup didasarkan pada
hadits yang diriwayatkan melalui jalur yang dha'if, meskipun diperkuat dengan
perawi yang lain.
Al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi
sebagaimana dikutip Syekh Abdullah Al-Harary dalam kitabnya Sharihul Bayan menyatakan:
لاَ
تَثْبُتُ الصِّفَةُ ِللهِ بِقَوْلِ صَحَابِيٍّ اَوْ تَابِعِيٍّ إِلاَّ بِمَا صَحَّ
مِنَ اْلاَحَادِيْثِ النَّبَوِيَّةِ الْمَرْفُوْعَةِ الْمُتَّفَقِ عَلَى
تَوْثِيْقِ رُوَاتِهَا، فَلاَ يُحْتَجُّ بِالضَّعِيْفِ وَلاَ بِالْمُخْتَلَفِ فِيْ
تَوْثِيْقِ رُوَاتِهِ حَتَّى لَوْ وَرَدَ إِسْنَادٌ فِيْهِ مُخْتَلَفٌ فِيْهِ
وَجَاءَ حَدِيْثٌ آخَرُ يَعْضِدُهُ فَلاَ يُحْتَجُّ بِهِ
Artinya: Sifat Allah tidak dapat ditetapkan
berdasarkan pendapat seorang sahabat atau tabi'in. Sifat Allah hanya dapat
ditetapkan berdasarkan hadits-hadits Nabi yang marfu', yang perawinya
disepakati dapat dipercaya. Jadi hadits dha'if dan hadits yang perawinya diperselisihkan
tidak dapat dijadikan hujjah dalam masalah ini, sehingga apabila ada sanad yang
diperselisihkan, lalu ada hadits lain yang menguatkannya, maka hadits tersebut
tidak dapat dijadikan hujjah.
Al-Hafizh al-Baihaqi juga mengutip dalam
kitabnya al-Asma' wa al-Shifat dari al-Hafizh Abu Sulaiman al-Khaththabi, bahwa
sifat Allah itu tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan nash al-Qur'an atau
hadits yang dipastikan keshahihannya.
Hadits yang dapat dijadikan dasar dalam
menetapkan akidah adalah hadits mutawatir, yaitu hadits yang mencapai peringkat
tertinggi dalam keshahihan. Hadits mutawatir ialah hadits yang disampaikan oleh
sekelompok orang yang banyak dan berdasarkan penyaksian mereka serta sampai
kepada penerima hadits tersebut, baik penerima kedua maupun ketiga, melalui
jalur kelompok yang banyak pula. Hadits yang semacam ini tidak memberikan
peluang terjadinya kebohongan.
Di bawah hadits mutawatir, adalah hadits
masyhur. Hadits masyhur dapat dijadikan argumentasi dalam menetapkan akidah
karena dapat menghasilkan keyakinan sebagaimana halnya hadits mutawatir. Hadits
masyhur ialah hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih dari generasi
pertama hingga generasi selanjutnya. Al-Imam Abu Hanifah dan pengikutnya
menetapkan syarat bagi hadits yang dapat dijadikan argumentasi dalam hal-hal
akidah harus berupa hadits masyhur. Dalam risalah-risalah yang ditulisnya dalam
hal-hal akidah, Abu Hanifah membuat hujjah dengan sekitar empat puluh hadits
yang tergolong hadits masyhur. Risalah-risalah tersebut dihimpun oleh al-Imam
Kamaluddin al-Bayadhi al-Hanafi dalam kitabnya, Isyarat al-Maram min 'Ibarat
al-Imam. Sedangkan hadits-hadits yang peringkatnya di bawah hadits masyhur,
maka tidak dapat dijadikan argumentasi dalam menetapkan sifat Allah.
3. Ijma' Ulama
Ijma' ulama yang mengikuti ajaran Ahlul
Haqq dapat dijadikan argumentasi dalam menetapkan akidah. Dalam hal ini
seperti dasar yang melandasi penetapan bahwa sifat-sifat Allah itu qadim
(tidak ada permulaannya) adalah ijma' ulama yang qath'i. Dalam konteks ini,
al-Imam al-Subki berkata dalam kitabnya Syarh 'Aqidah Ibn al-Hajib:
اِعْلَمْ
أَنَّ حُكْمَ الْجَوَاهِرِ وَاْلأَعْرَاضِ كُلِّهَا الْحُدُوْثُ فَإِذًا
الْعَالَمُ كُلُّهُ حَادِثٌ، وَعَلَى هَذَا إِجْمَاعُ الْمُسْلِمِيْنَ بَلْ كُلِّ
الْمِلَلِ وَمَنْ خَالَفَ فِيْ هَذَا فَهُوَ كَافِرٌ لِمُخَالَفَتِهِ اْلإِجْمَاعَ
الْقَطْعِيَّ اهـ
Artinya: "Ketahuilah sesungguhnya hukum jauhar
dan 'aradh (Jauhar adalah benda terkecil yang tidak dapat terbagi
lagi. Sedangkan 'aradh adalah sifat benda yang keberadaannya harus menempati
benda lain) adalah baru. Oleh karena itu, semua unsur-unsur alam adalah baru.
Hal ini telah menjadi ijma' kaum Muslimin, bahkan ijma' seluruh penganut
agama-agama (di luar Islam). Barangsiapa yang menyalahi kesepakatan ini, maka
dia dinyatakan kafir, karena telah menyalahi ijma' yang qath'i."
4. Akal
Dalam ayat-ayat al-Qur'an Allah Ta’ala telah
mendorong hamba-hamba-Nya agar merenungkan semua yang ada di alam jagad raya
ini, agar dapat mengantar pada keyakinan tentang kemahakuasaan Allah. Dalam
konteks ini Allah berfirman:
أَوَلَمْ
يَنْظُرُوا فِي مَلَكُوتِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
Dan apakah mereka tidak memperhatikan
kerajaan langit dan bumi. (QS. al-A'raf : 185).
Allah juga berfirman:
سَنُرِيهِمْ
آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ
الْحَقُّ
Kami akan memperlihatkan kepada mereka
tanda-tanda (kekuasaan)Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka
sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa al-Qur'an itu adalah benar. (QS.
Fushshilat: 53).
Dalam membicarakan sifat-sifat Allah,
sifat-sifat Nabi, paraMalaikat dan lain-lain, para ulama tauhid tidak hanya
bersandar pada penalaran akal semata. Mereka membicarakan hal tersebut
dalamkonteks membuktikan kebenaran semua yang disampaikan olehNabi dengan akal.
Jadi, menurut ulama tauhid, akal difungsikan sebagai sarana yang dapat
membuktikan kebenaran syara', bukan sebagai dasar dalam menetapkan
akidah-akidah dalam agama. Meski demikian, hasil penalaran akal yang sehat
tidak akan keluar dan tidak mungkin bertentangan dengan ajaran yang dibawa oleh
syara'.
Demikianlah faktanya bahwa masalah tauhid
yang bersumber dari Quran dan Hadits itu juga diperkuat dengan dalil-dalil aqli
(rasional). Hal demikian setidak-tidaknya karena dengan dua tujuan. Pertama,
agar sesiapa yang menentang masalah tauhid itu agar dapat menerima dan segera
meyakininya, atau setidaknya menghentikan penentangannya tersebut. Mereka yang
menentang ini adalah kelompok anti Tuhan atau kelompok di luar Ahlussunnah wal
Jama’ah yang cenderung mempertanyakan dengan nada memojokkan. Kedua, agar
mereka yang masih ragu-ragu dapat segera hilang keraguannya, kemudian tumbuh
dalam dirinya suatu keyakinan yang mantap.
Terkait dengan metode Ahlussunnah wal Jama'ah
yang menggabungkan antara naql dengan akal tersebut, para ulama memberikan
perumpamaan berikut ini. Akal diumpamakan dengan mata yang dapat melihat.
Sedangkan dalil-dalil syara' atau naql diumpamakan dengan Matahari yang dapat
menerangi. Orang yang hanya menggunakan akal tanpa menggunakan dalil-dalil
syara' seperti halnya orang yang keluar pada waktu malam hari yang gelap
gulita. Ia membuka matanya untuk melihat apa yang ada di sekelilingnya, antara
benda yang berwarna putih, hitam, hijau dan lain-lain. Ia berusaha untuk
melihat semuanya. Tetapi selamanya ia tidak akan dapat melihatnya, tanpa ada
Matahari yang dapat meneranginya, meskipun ia memiliki mata yang mampu melihat.
Sedangkan orang yang menggunakan dalil-dalil syara' tanpa menggunakan akal,
seperti halnya orang yang keluar di siang hari dengan suasana terang benderang,
tetapi dia tuna netra, atau memejamkan matanya. Tentu saja ia tidak akan dapat
melihat mana benda yang berwarna putih, hijau, merah dan lain-lainnya.
Ahlussunnah Wal-Jama'ah laksana orang yang dapat melihat dan keluar di siang
hari yang terang benderang, sehingga semuanya tampak kelihatan dengan nyata,
dan akan selamat dalam berjalan mencapai tujuan. []
Yusuf Suharto, Tim Narasumber Aswaja NU
Center Jatim, dosen Aswaja Institut KH Abdul Chalim, Mojokerto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar