Tertidur saat Khutbah
Jumat, Bolehkah Langsung Shalat tanpa Wudhu Lagi?
Rasa kantuk bisa datang kapan saja, tidak
mengenal waktu. Terlebih saat kondisi capek di siang hari, termasuk saat
pelaksanaan shalat Jumat atau di tengah-tengah mendengarkan khutbah
Jumat. Batalkah wudlunya jamaah yang tertidur tersebut dan sahkah shalat
Jumatnya?
Dalam fiqih mazhab Syafi’i, tidur yang tidak
sampai membatalkan wudlu’ adalah tidur dengan posisi duduk disertai merekatkan
pantat di lantai atau alas duduknya. Sehingga bila tidur tidak dilakukan dalam
posisi tersebut, semisal duduk tengkurap, berdiri, tidur telentang, tidur
miring atau posisi lainnya, maka dapat menyebabkan batalnya wudlu’.
Syekh Ibnu Qasim al-Ghuzzi mengatakan:
وَالثَّانِيْ
النَّوْمُ عَلَى غَيْرِ هَيْئَةِ الْمُتَمَكِّنِ وَفِيْ بَعْضِ نُسَخِ الْمَتْنِ
زِيَادَةُ مِنَ الْأَرْضِ بِمَقْعَدِهِ وَالْأَرْضُ لَيْسَتْ بِقَيِّدٍ وَخَرَجَ
بِالْمُتَمَكِّنِ مَا لَوْ نَامَ قَاعِدًا غَيْرَ مُتَمَكِّنٍ أَوْ نَامَ قَائِمًا
أَوْ عَلَى قَفَاهُ وَلَوْ مُتَمَكِّنًا
“Yang kedua (dari hal yang membatalkan
wudlu’) adalah tidur selain tidurnya orang yang duduk merekatkan pantatnya.
Dalam sebagian naskah terdapat tambahan redaksi dari lantai yang menjadi alas
duduknya. Lantai dalam konteks ini tidak menjadi acuan. Mengecualikan dari
ketentuan merekatkan pantat yaitu tidur dalam posisi duduk namun tidak
merekatkan pantat atau tidur berdiri atau menyandarkan tengkuk meskipun
disertai merekatkan pantat”. (Syekh Ibnu Qasim al-Ghuzzi, Fathul Qarib al-Mujib,
hal.6, Semarang-Toha Putera).
Setidaknya kesimpulan ini berlandaskan dua
dalil hadits Nabi. Yang pertama hadits riwayat Abu Dawud sebagai berikut:
اَلْعَيْنَانِ
وِكَاءُ السَّهِ فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Dua mata adalah penjaga lubang dubur, maka
barangsiapa tidur berwudlulah.” (HR. Abu Dawud)
Berkaitan dengan hadits tersebut, Syekh
al-Khatib al-Syarbini menjelaskan:
وَالْمَعْنَى
فِيهِ أَنَّ الْيَقِظَةَ هِيَ الْحَافِظَةُ لِمَا يَخْرُجُ ، وَالنَّائِمُ قَدْ
يَخْرُجُ مِنْهُ الشَّيْءُ ، وَلَا يَشْعُرُ بِهِ وَغَيْرُ النَّوْمِ مِمَّا
ذُكِرَ أَبْلَغُ مِنْهُ فِي الذُّهُولِ الَّذِي هُوَ مَظِنَّةٌ لِخُرُوجِ شَيْءٍ
مِنْ الدُّبُرِ كَمَا أَشْعَرَ بِهِ الْخَبَرُ
“Makna hadits tersebut adalah bahwa kondisi
terjaga (dari tidur) dapat menjaga perkara yang keluar dari pantat. Orang yang
tidur terkadang keluar dari dirinya sesuatu yang membatalkan wudlu’ saat ia
tidak sadarkan diri. Selain tidur dari kondisi yang telah disebutkan (ayan,
gila dan lain sebagainya) lebih parah dari tidur dalam hal kacaunya pikiran
yang merupakan potensi untuk keluarnya sesuatu dari dubur sebagaimana
dijelaskan oleh hadits.” (Syekh Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Beirut,
Dar al-Fikr, 1987, juz 1, halaman 34)
Hadits di atas diarahkan kepada kondisi tidur
yang tidak disertai merekatkan pantat di lantai.
Hadits yang kedua adalah riwayat Imam Muslim
sebagai berikut:
قَالَ
أَنَسٌ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلَا يَتَوَضَّئُونَ
“Sahabat Anas berkata, para sahabat Nabi
tertidur kemudian melaksanakan shalat dan mereka tidak berwudlu’. (HR.Muslim).
Hadits riwayat Imam Muslim ini diarahkan pada
kondisi tidur seseorang yang duduk merekatkan pantatnya di alas tidurnya,
sebagai salah satu pengamalan kaidah ushul fiqih yaitu “mengompromikan di
antara dua dalil” saat ada dua dalil yang terkesan bertentangan.
Syekh Khatib al-Syarbini mengatakan:
وَحُمِلَ
عَلَى نَوْمِ الْمُمَكِّنِ جَمْعًا بَيْنَ الْحَدِيثَيْنِ
“Hadits sahabat Anas ini diarahkan kepada
kondisi tidurnya seseorang yang merekatkan pantatnya di lantai, untuk
mengompromikan dua hadits.” (Syekh Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj,
Beirut, Dar al-Fikr, 1987, juz 1, halaman 34)
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bila
seseorang tidur dalam posisi yang membatalkan, akan berakibat pada
ketidakabsahannya shalat Jumat yang ia kerjakan. Sebab salah satu syarat sahnya
shalat adalah suci dari hadats. Agar tetap sah solusinya adalah mengambil
wudlu’ terlebih dahulu sebelum melanjutkan shalat Jumatnya.
Demikian penjelasan yang dapat kami
sampaikan. Semoga dapat dipahami dengan baik dan bermanfaat. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar