Upaya Pihak Anti-Maulid
Mendistorsi Fatwa Ulama
Telah maklum bahwa perayaan Maulid Nabi
Muhammad ﷺ diperbolehkan oleh
para ulama dari berbagai mazhab dan dipraktikkan di berbagai penjuru dunia
sejak pertama kali diselenggarakan secara besar-besaran oleh Raja
Mudhaffaruddin Kokburi (dikenal juga sebagai Amir Gökböri), penguasa Irbil di
abad keenam hijriah. Para ulama ahli hadits seperti Imam al-Iraqi, Imam Ibnu
Hajar al-Asqalani, Imam Sakhawi, Imam Al-Jazari, Imam As-Suyuthi dan begitu
banyak imam lainnya secara tegas mengatakan bahwa peringatan maulid nabi adalah
baik. Tentu saja semuanya sepakat bahwa kebaikan Maulid Nabi tak boleh dikotori
dengan praktik-praktik yang melanggar syariat seperti adanya percampuran lelaki
dan perempuan, adanya nyanyian yang membangkitkan syahwat, dan lain sebagainya
yang jelas diharamkan oleh agama.
Namun, selalu ada saja yang berusaha
memutarbalikkan fakta seolah para ulama besar menolak peringatan Maulid Nabi.
Di antara yang melakukan distorsi sejarah ini adalah pengarang kitab al-Qaul
al-Fashl Fî Hukmi al-Ihtifâl Bimaulidi Khairi ar-Rusul. Kitab ini sengaja
dikarang untuk membantah hujjah para ulama yang memperbolehkan maulid. Namun
tentu saja tak semudah itu untuk melakukannya sebab para ulama besar
nyata-nyata telah memperbolehkan peringatan maulid Nabi dan hanya segelintir
orang saja yang tidak memperbolehkannya. Untuk menguatkan argumennya, maka
pengarang kitab tersebut mendistorsi perkataan para Imam sehingga nampak seolah
mereka melarang peringatan maulid, padahal sebenarnya tidak. Penipuan akademis
ini misalnya tampak pada halaman 58 kitab itu tertulis yang artinya:
“Al-Hafidz Abu Zur’ah al-Iraqi ditanya
tentang peringatan Maulid; Apakah disunatkan ataukah makruh dan apakah ada
dalil tentang itu atau dilakukan oleh orang yang menjadi rujukan? Beliau
berkata: Memberikan makanan disunnahkan setiap waktu maka bagaimana ketika
bertepatan dengan kebahagiaan sebab munculnya cahaya kenabian di bulan yang
mulia ini tetapi kami tidak mengetahui hal itu, yakni peringatan Maulid dengan
memberikan makanan, dari kalangan salaf. Al-Hafidz Abu Fadhal ibnu Hajar
al-Asqalani berkata dalam fatwanya tentang peringatan maulid yang dinukil oleh
as-Suyuthi dalam Husnu al-Maqshad Fî ‘Amal al-Maulid berkata: Dasar tindakan
Maulid adalah bid'ah tidak dinukil dari seorang pun dari kalangan Salafus
Shalih dari tiga abad pertama. Dan as-Sakhawi dalam fatwanya berkata:
"Peringatan Maulid tidak dinukil dari salah satu pun Salafus Shalih di
abad ketiga yang utama, hal itu hanya ada setelah itu. Syekh Nashiruddin
al-Mubarok yang terkenal dengan Ibnu Thabbakh dalam fatwa dengan tulisannya
sendiri berkata: Hal ini, peringatan Maulid, bukanlah termasuk dari
sunah-sunah". Dan Syekh Dhahiruddun Jakfar at-Tazmanti berkata tentang
peringatan Maulid:" tindakan ini tidak terjadi di masa awal dari kalangan
Salafus Shalih beserta penghormatan dan kecintaan mereka terhadap Nabi Muhammad
dengan penghormatan dan kecintaan yang salah satu dari mereka tidak bisa
disaingi oleh seluruh kita sekarang, tak juga sedikit pun darinya. Dengan
nukilan-nukilan ini menjadi jelas bahwa Salafus Shalih tidak merayakan Maulid
Nabi tetapi mereka meninggalkannya. Dan mereka meninggalkannya tak mungkin
kecuali karena hal itu tak ada kebaikannya.” (Isma’il bin Muhammad al-Anshari,
al-Qaul al-Fashl Fî Hukmi al-Ihtifâl Bimaulidi Khairi ar-Rusul, halaman 58).
Dari pernyataan di atas, ada lima tokoh ulama
yang dicatut dan dikesankan juga tak menyukai peringatan Maulid, yakni: Imam
al-Iraqi, Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Imam as-Sakhawi, Syekh Ibnu Thabbakh dan
Syekh at-Tazmanti as-Syafi’i yang serempak mengatakan bahwa peringatan ini tak
ada di masa salaf. Benarkah demikian kejadiannya? Berikut ini pernyataan para
imam di atas secara lengkap:
Imam al-Hafidz al-Iraqi, beliau berkata:
إنَّ
اتّخاذَ الوليمَةِ وإطعامَ الطّعامِ مُستحبٌّ في كلِّ وقتٍ فكيف إذا انضَمّ إلى
ذلك الفرحُ والسُّرورُ بظُهور نور النّبِيّ صلى الله عليه وآله وسلَّم في هذا
الشَّهْرِ الشَّريفِ. ولا يلزم من كونه بدعة كونه مكروها فكم من بدعة مستحبة بل قد
تكون واجبة) ـ
“Memberikan makanan disunnahkan setiap waktu
maka bagaimana ketika bertepatan dengan kebahagiaan sebab munculnya cahaya nabi
di bulan yang mulia ini. Dan, statusnya sebagai bid’ah (hal baru) tidak musti
menjadikannya tak disukai. Berapa banyak ada bid’ah yang disunnahkan bahkan
kadang wajib.” (Muhammad Washiy ar-Rahman, ad-Durr al-Maknûn Fî al-Ihtifâl
Bimaulidi an-Nabî al-Âmîn al-Ma’mûn, halaman 43).
Kalimat penegasan terakhir dari Imam
al-‘Iraqi di atas sengaja dibuang. Dari situ, jelas terlihat bahwa sebenarnya
Imam al-‘Iraqi mengategorikan peringatan Maulid sebagai bid’ah mustahabbah (hal
baru yang disunnahkan). Sudah maklum bahwa di kalangan mayoritas ulama empat
mazhab, bid’ah (dalam arti hal baru) terbagi menjadi lima hukum, yakni wajib,
sunnah, mubah, makruh dan haram. Jadi, penyebutan mereka bahwa sesuatu tidak
ada di masa Salafus Shalih belum tentu menunjukkan bahwa sesuatu itu haram
sebab faktanya banyak hal yang tidak ada di masa lalu tetapi nyata-nyata baik
dan mempunyai dalil secara umum sehingga dikategorikan sebagai kebaikan, bahkan
kewajiban oleh para ulama.
Setelah sebelumnya dijelaskan
bahwa Imam al-‘Iraqi sama sekali tidak pernah melarang peringatan Maulid Nabi
tetapi justru menganjurkannya, pada bagian ini akan kita bahas tentang empat
tokoh lain yang oleh pihak anti-Maulid juga dikesankan telah menganggap
terlarang peringatan Maulid, yaitu Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam
as-Sakhawi, Syekh Ibnu Thabbakh dan Syekh at-Tazmanti. Pernyataan mereka semua
secara lengkap sebagaimana berikut.
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, beliau
menyatakan:
أصل
عمل المولد بدعة ، لم تنقل عن أحد من السلف الصالح من القرون الثلاثة، ولكنها مع
ذلك قد اشتملت على محاسن وضدها، فمن تحرى في عملها المحاسن ، وتجنب ضدها : كان
بدعة حسنة ؛ وإلا فلا .قال : وقد ظهر لي تخريجها على أصل ثابت ، وهو ما ثبت في
الصحيحين من أن النبي ﷺ قدم المدينة ، فوجد
اليهود يصومون يوم عاشوراء، فسألهم فقالوا : هو يوم أغرق الله فيه فرعون ، ونجى
موسى ؛ فنحن نصومه شكرا لله تعالى فيستفاد منه فعل الشكر لله على ما مَنّ به في
يوم معين ، من إسداء نعمة أو دفع نقمة، ويعاد ذلك في نظير ذلك اليوم من كل سنة
.والشكر لله يحصل بأنواع العبادة ، كالسجود والصيام والصدقة والتلاوة ؛ وأي نعمة
أعظم من النعمة ببروز هذا النبي نبي الرحمة في ذلك اليوم
“Dasar peringatan Maulid adalah bid'ah tidak
dinukil dari seorang pun dari Salafus Shalih dari tiga kurun pertama tetapi
meski demikian ia mengandung kebaikan dan keburukan. Maka siapa yang menjaga
tindakannya dengan yang baik-baik saja dan menjauhi keburukannya maka itu
adalah bid'ah hasanah. Bila tidak demikian maka bukan bid'ah Hasanah. Telah
jelas bagi saya penggalian dasarnya dari dalil yang valid, yaitu apa yang ada
dalam kitab shahih Bukhari-Muslim bahwa Nabi ﷺ tiba ke Madinah
kemudian menemukan orang-orang Yahudi berpuasa di hari Asyura. Nabi menanyai
mereka tentang itu lalu mereka menjawab: Ini adalah hari di mana Allah menenggelamkan
Firaun dan menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa sebagai rasa syukur kepada
Allah Ta'ala. Dari sana dapat diambil kesimpulan untuk melakukan tindakan
syukur kepada Allah atas anugerahnya berupa pemberian nikmat atau penghilangan
musibah di hari tertentu. Hal itu diulangi terus di hari yang sama setiap
tahun. Bersyukur dapat dilakukan dengan macam-macam ibadah seperti salat,
puasa, sedekah dan membaca Alquran. Nikmat yang mana yang lebih besar dari
nikmat kemunculan Nabi ini, Nabi kasih sayang, di hari tersebut?”
(as-Suyuthi, al-Hâwi Li al-Fatâwâ, I, 229)
Dari pernyataan tersebut jelas bahwa Imam
Ibnu Hajar juga mengkategorikan peringatan Maulid sebagai Bid'ah Hasanah atau
hal baru yang dianggap baik sebab punya dasar yang valid dari syariat. Beliau
bahkan menjelaskan dasar yang beliau anggap dapat mendasari peringatan Maulid
yaitu tindakan Rasulullah untuk ikut mensyukuri selamatnya Nabi Musa dari
Firaun di hari Asyura. Bagi beliau sudah jelas bahwa tak ada nikmat yang lebih
besar bagi umat Islam dari kelahiran Nabi Muhammad.
Imam as-Shakhawi, pernyataan beliau
selengkapnya adalah sebagai berikut:
سئلت
عن أصل عمل المولد الشريف؟ فأجبت: لم ينقل عن أحد من السلف الصالح في القرون
الثلاثة الفاضلة، وإنما حدث بعد، ثم ما زال أهل الإسلام في سائر الأقطار والمدن
العظام يحتفلون في شهر مولده ﷺ وشرف وكرم يعملون
الولائم البديعة المشتملة على الأمور البهجة الرفيعة، ويتصدقون في لياليه بأنواع
الصدقات، ويظهرون السرور، ويزيدون في المبرات بل يعتنون بقراءة مولده الكريم وتظهر
عليهم من بركات كل فضل عميم
“Saya ditanya tentang dasar maulid Nabi yang
mulia? Kemudian saya menjawab: Hal itu tidak dinukil dari salah satu pun salafus
shalih di tiga kurun yang utama tetapi ada setelah itu. Kemudian tak
henti-hentinya orang Islam di seluruh penjuru dunia dan di negara-negara besar
memperingati Maulid Nabi di bulan kelahirannya Shallallahu Alaihi Wasallam,
semoga Allah memuliakan beliau. Orang-orang Islam melakukan perayaan-perayaan
yang indah yang terdiri dari hal-hal yang mewah. Mereka bersedekah di malam
harinya dengan macam-macam sedekah dan menampakan kegembiraan dan menambah
macam-macam kebaikan, bahkan mereka menyibukkan diri dengan membaca Maulid
Nabi. Dan, nampaklah bagi mereka banyak anugerah barakah yang luas.”
(as-Sakhawi, al-Ajwibah al-Mardliyyah, juz III, halaman 1116).
Syekh Ibnu Thabbakh, pernyataan beliau
sebenarnya seperti berikut:
ليس
هذا من السّنن، ولكن إذا أنفق في هذا اليوم وأظهر السرور فرحاً بدخول النبي ﷺ في الوجود
واتخذ السماع الخالي عن اجتماع المردان وإنشاد ما يثير نار الشهوة من العشقيات
والمشوّقات للشهوات الدنيويّة كالقدّ والخدّ والعين والحاجب، وإنشاد ما يشوّق إلى
الآخرة ويزهد في الدنيا فهذا اجتماع حسن يثاب قاصد ذلك وفاعله عليه
“Hal ini tidak termasuk dari tradisi Rasul
(sunnah), tetapi bila seseorang menyedekahkan hartanya di hari ini dan
menampakan kebahagiaan sebab lahirnya Nabi Muhammad ﷺ dan mendengarkan
sesuatu yang tidak disertai adanya perkumpulan dengan para amrad atau nyanyian
percintaan yang membangkitkan syahwat duniawi seperti baju, pipi, mata atau
alis, serta mengandung nyanyian yang membuat cinta pada akhirat dan zuhud pada
dunia, maka itu adalah perkumpulan yang baik, berpahala bagi pelakunya.” (Muhammad
as-Shalihi as-Syami, Subul al-Hudâ wa ar-Rasyâd Fî Sîrah Khair al-‘Ibâd,
juz I, halaman 364)
Syekh at-Tazmanti, tokoh Syafi’iyah ini
sebenarnya menerangkan sebagai berikut:
هذا
الفعل لم يقع في الصّدر الأول من السلف الصالح مع تعظيمهم وحبهم له إعظاماً ومحبةً
لا يبلغ جمعنا الواحد منهم ولا ذرّة منه، وهي بدعة حسنة إذا قصد فاعلها جمع
الصالحين والصلاة على النبي ﷺ وإطعام الطعام
للفقراء والمساكين، وهذا القدر يثاب عليه بهذا الشرط في كل وقت
“Tindakan ini tidak ada di masa awal dari
kalangan Salafus Sholeh meskipun mereka mencintai Nabi dan mengagungkannya
dengan cinta yang berkumpulnya kita semua sekarang tidak dapat menyaingi
satupun dari mereka atau sedikitpun darinya. Itu adalah bid'ah hasanah yang
apabila pelakunya bermaksud mengumpulkan orang-orang yang saleh dan bershalawat
atas Nabi ﷺ dan memberi makan
orang-orang fakir dan miskin. Kadar ini adalah berpahala dengan catatan
tersebut (tidak mengandung unsur maksiat) di setiap waktu.” (Muhammad
as-Shalihi as-Syami, Subul al-Hudâ wa ar-Rasyâd Fî Sîrah Khair al-‘Ibâd,
juz I, halaman 364)
Seluruh tokoh besar di atas sepakat bahwa
peringatan Maulid Nabi adalah baik dan tergolong dalam kategori bid’ah hasanah,
dengan catatan dalam praktiknya tidak boleh mengandung unsur-unsur yang
nyata-nyata maksiat. Catatan seperti ini adalah sesuatu yang wajar dan ada
dalam semua kasus, bahkan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha pun tidak boleh
dirayakan dengan unsur-unsur maksiat. Itulah fakta yang disembunyikan oleh
pengarang kitab al-Qaul al-Fashl Fî Hukmi al-Ihtifâl Bimaulidi Khairi
ar-Rusul yang memotong kalam ulama demi mengesankan bahwa peringatan
Maulid adalah terlarang sebab tak dilakukan oleh generasi awal, sesuai dengan
keyakinan komunitasnya. Tetapi bagaimana pun kebenaran tak mungkin
disembunyikan. Wallahu a'lam. []
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember
dan Peneliti di Aswaja NU Center Jember.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar