Senin, 26 November 2018

(Ngaji of the Day) Upaya Pihak Anti-Maulid Mendistorsi Fatwa Ulama


Upaya Pihak Anti-Maulid Mendistorsi Fatwa Ulama

Telah maklum bahwa perayaan Maulid Nabi Muhammad diperbolehkan oleh para ulama dari berbagai mazhab dan dipraktikkan di berbagai penjuru dunia sejak pertama kali diselenggarakan secara besar-besaran oleh Raja Mudhaffaruddin Kokburi (dikenal juga sebagai Amir Gökböri), penguasa Irbil di abad keenam hijriah. Para ulama ahli hadits seperti Imam al-Iraqi, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Sakhawi, Imam Al-Jazari, Imam As-Suyuthi dan begitu banyak imam lainnya secara tegas mengatakan bahwa peringatan maulid nabi adalah baik. Tentu saja semuanya sepakat bahwa kebaikan Maulid Nabi tak boleh dikotori dengan praktik-praktik yang melanggar syariat seperti adanya percampuran lelaki dan perempuan, adanya nyanyian yang membangkitkan syahwat, dan lain sebagainya yang jelas diharamkan oleh agama. 

Namun, selalu ada saja yang berusaha memutarbalikkan fakta seolah para ulama besar menolak peringatan Maulid Nabi. Di antara yang melakukan distorsi sejarah ini adalah pengarang kitab al-Qaul al-Fashl Fî Hukmi al-Ihtifâl Bimaulidi Khairi ar-Rusul. Kitab ini sengaja dikarang untuk membantah hujjah para ulama yang memperbolehkan maulid. Namun tentu saja tak semudah itu untuk melakukannya sebab para ulama besar nyata-nyata telah memperbolehkan peringatan maulid Nabi dan hanya segelintir orang saja yang tidak memperbolehkannya. Untuk menguatkan argumennya, maka pengarang kitab tersebut mendistorsi perkataan para Imam sehingga nampak seolah mereka melarang peringatan maulid, padahal sebenarnya tidak. Penipuan akademis ini misalnya tampak pada halaman 58 kitab itu tertulis yang artinya:

“Al-Hafidz Abu Zur’ah al-Iraqi ditanya tentang peringatan Maulid; Apakah disunatkan ataukah makruh dan apakah ada dalil tentang itu atau dilakukan oleh orang yang menjadi rujukan? Beliau berkata: Memberikan makanan disunnahkan setiap waktu maka bagaimana ketika bertepatan dengan kebahagiaan sebab munculnya cahaya kenabian di bulan yang mulia ini tetapi kami tidak mengetahui hal itu, yakni peringatan Maulid dengan memberikan makanan, dari kalangan salaf. Al-Hafidz Abu Fadhal ibnu Hajar al-Asqalani berkata dalam fatwanya tentang peringatan maulid yang dinukil oleh as-Suyuthi dalam Husnu al-Maqshad Fî ‘Amal al-Maulid berkata: Dasar tindakan Maulid adalah bid'ah tidak dinukil dari seorang pun dari kalangan Salafus Shalih dari tiga abad pertama. Dan as-Sakhawi dalam fatwanya berkata: "Peringatan Maulid tidak dinukil dari salah satu pun Salafus Shalih di abad ketiga yang utama, hal itu hanya ada setelah itu. Syekh Nashiruddin al-Mubarok yang terkenal dengan Ibnu Thabbakh dalam fatwa dengan tulisannya sendiri berkata: Hal ini, peringatan Maulid, bukanlah termasuk dari sunah-sunah". Dan Syekh Dhahiruddun Jakfar at-Tazmanti berkata tentang peringatan Maulid:" tindakan ini tidak terjadi di masa awal dari kalangan Salafus Shalih beserta penghormatan dan kecintaan mereka terhadap Nabi Muhammad dengan penghormatan dan kecintaan yang salah satu dari mereka tidak bisa disaingi oleh seluruh kita sekarang, tak juga sedikit pun darinya. Dengan nukilan-nukilan ini menjadi jelas bahwa Salafus Shalih tidak merayakan Maulid Nabi tetapi mereka meninggalkannya. Dan mereka meninggalkannya tak mungkin kecuali karena hal itu tak ada kebaikannya.” (Isma’il bin Muhammad al-Anshari, al-Qaul al-Fashl Fî Hukmi al-Ihtifâl Bimaulidi Khairi ar-Rusul, halaman 58).

Dari pernyataan di atas, ada lima tokoh ulama yang dicatut dan dikesankan juga tak menyukai peringatan Maulid, yakni: Imam al-Iraqi, Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Imam as-Sakhawi, Syekh Ibnu Thabbakh dan Syekh at-Tazmanti as-Syafi’i yang serempak mengatakan bahwa peringatan ini tak ada di masa salaf. Benarkah demikian kejadiannya? Berikut ini pernyataan para imam di atas secara lengkap:

Imam al-Hafidz al-Iraqi, beliau berkata:

 إنَّ اتّخاذَ الوليمَةِ وإطعامَ الطّعامِ مُستحبٌّ في كلِّ وقتٍ فكيف إذا انضَمّ إلى ذلك الفرحُ والسُّرورُ بظُهور نور النّبِيّ صلى الله عليه وآله وسلَّم في هذا الشَّهْرِ الشَّريفِ. ولا يلزم من كونه بدعة كونه مكروها فكم من بدعة مستحبة بل قد تكون واجبة) ـ 

“Memberikan makanan disunnahkan setiap waktu maka bagaimana ketika bertepatan dengan kebahagiaan sebab munculnya cahaya nabi di bulan yang mulia ini. Dan, statusnya sebagai bid’ah (hal baru) tidak musti menjadikannya tak disukai. Berapa banyak ada bid’ah yang disunnahkan bahkan kadang wajib.” (Muhammad Washiy ar-Rahman, ad-Durr al-Maknûn Fî al-Ihtifâl Bimaulidi an-Nabî al-Âmîn al-Ma’mûn, halaman 43).

Kalimat penegasan terakhir dari Imam al-‘Iraqi di atas sengaja dibuang. Dari situ, jelas terlihat bahwa sebenarnya Imam al-‘Iraqi mengategorikan peringatan Maulid sebagai bid’ah mustahabbah (hal baru yang disunnahkan). Sudah maklum bahwa di kalangan mayoritas ulama empat mazhab, bid’ah (dalam arti hal baru) terbagi menjadi lima hukum, yakni wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Jadi, penyebutan mereka bahwa sesuatu tidak ada di masa Salafus Shalih belum tentu menunjukkan bahwa sesuatu itu haram sebab faktanya banyak hal yang tidak ada di masa lalu tetapi nyata-nyata baik dan mempunyai dalil secara umum sehingga dikategorikan sebagai kebaikan, bahkan kewajiban oleh para ulama.

Setelah sebelumnya dijelaskan bahwa Imam al-‘Iraqi sama sekali tidak pernah melarang peringatan Maulid Nabi tetapi justru menganjurkannya, pada bagian ini akan kita bahas tentang empat tokoh lain yang oleh pihak anti-Maulid juga dikesankan telah menganggap terlarang peringatan Maulid, yaitu Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam as-Sakhawi, Syekh Ibnu Thabbakh dan Syekh at-Tazmanti. Pernyataan mereka semua secara lengkap sebagaimana berikut.

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, beliau menyatakan:

أصل عمل المولد بدعة ، لم تنقل عن أحد من السلف الصالح من القرون الثلاثة، ولكنها مع ذلك قد اشتملت على محاسن وضدها، فمن تحرى في عملها المحاسن ، وتجنب ضدها : كان بدعة حسنة ؛ وإلا فلا .قال : وقد ظهر لي تخريجها على أصل ثابت ، وهو ما ثبت في الصحيحين من أن النبي قدم المدينة ، فوجد اليهود يصومون يوم عاشوراء، فسألهم فقالوا : هو يوم أغرق الله فيه فرعون ، ونجى موسى ؛ فنحن نصومه شكرا لله تعالى فيستفاد منه فعل الشكر لله على ما مَنّ به في يوم معين ، من إسداء نعمة أو دفع نقمة، ويعاد ذلك في نظير ذلك اليوم من كل سنة .والشكر لله يحصل بأنواع العبادة ، كالسجود والصيام والصدقة والتلاوة ؛ وأي نعمة أعظم من النعمة ببروز هذا النبي نبي الرحمة في ذلك اليوم 

“Dasar peringatan Maulid adalah bid'ah tidak dinukil dari seorang pun dari Salafus Shalih dari tiga kurun pertama tetapi meski demikian ia mengandung kebaikan dan keburukan. Maka siapa yang menjaga tindakannya dengan yang baik-baik saja dan menjauhi keburukannya maka itu adalah bid'ah hasanah. Bila tidak demikian maka bukan bid'ah Hasanah. Telah jelas bagi saya penggalian dasarnya dari dalil yang valid, yaitu apa yang ada dalam kitab shahih Bukhari-Muslim bahwa Nabi tiba ke Madinah kemudian menemukan orang-orang Yahudi berpuasa di hari Asyura. Nabi menanyai mereka tentang itu lalu mereka menjawab: Ini adalah hari di mana Allah menenggelamkan Firaun dan menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah Ta'ala. Dari sana dapat diambil kesimpulan untuk melakukan tindakan syukur kepada Allah atas anugerahnya berupa pemberian nikmat atau penghilangan musibah di hari tertentu. Hal itu diulangi terus di hari yang sama setiap tahun. Bersyukur dapat dilakukan dengan macam-macam ibadah seperti salat, puasa, sedekah dan membaca Alquran. Nikmat yang mana yang lebih besar dari nikmat kemunculan Nabi ini, Nabi kasih sayang, di hari tersebut?” (as-Suyuthi, al-Hâwi Li al-Fatâwâ, I, 229)

Dari pernyataan tersebut jelas bahwa Imam Ibnu Hajar juga mengkategorikan peringatan Maulid sebagai Bid'ah Hasanah atau hal baru yang dianggap baik sebab punya dasar yang valid dari syariat. Beliau bahkan menjelaskan dasar yang beliau anggap dapat mendasari peringatan Maulid yaitu tindakan Rasulullah untuk ikut mensyukuri selamatnya Nabi Musa dari Firaun di hari Asyura. Bagi beliau sudah jelas bahwa tak ada nikmat yang lebih besar bagi umat Islam dari kelahiran Nabi Muhammad.

Imam as-Shakhawi, pernyataan beliau selengkapnya adalah sebagai berikut:

سئلت عن أصل عمل المولد الشريف؟ فأجبت: لم ينقل عن أحد من السلف الصالح في القرون الثلاثة الفاضلة، وإنما حدث بعد، ثم ما زال أهل الإسلام في سائر الأقطار والمدن العظام يحتفلون في شهر مولده وشرف وكرم يعملون الولائم البديعة المشتملة على الأمور البهجة الرفيعة، ويتصدقون في لياليه بأنواع الصدقات، ويظهرون السرور، ويزيدون في المبرات بل يعتنون بقراءة مولده الكريم وتظهر عليهم من بركات كل فضل عميم

“Saya ditanya tentang dasar maulid Nabi yang mulia? Kemudian saya menjawab: Hal itu tidak dinukil dari salah satu pun salafus shalih di tiga kurun yang utama tetapi ada setelah itu. Kemudian tak henti-hentinya orang Islam di seluruh penjuru dunia dan di negara-negara besar memperingati Maulid Nabi di bulan kelahirannya Shallallahu Alaihi Wasallam, semoga Allah memuliakan beliau. Orang-orang Islam melakukan perayaan-perayaan yang indah yang terdiri dari hal-hal yang mewah. Mereka bersedekah di malam harinya dengan macam-macam sedekah dan menampakan kegembiraan dan menambah macam-macam kebaikan, bahkan mereka menyibukkan diri dengan membaca Maulid Nabi. Dan, nampaklah bagi mereka banyak anugerah barakah yang luas.” (as-Sakhawi, al-Ajwibah al-Mardliyyah, juz III, halaman 1116).

Syekh Ibnu Thabbakh, pernyataan beliau sebenarnya seperti berikut: 

ليس هذا من السّنن، ولكن إذا أنفق في هذا اليوم وأظهر السرور فرحاً بدخول النبي في الوجود واتخذ السماع الخالي عن اجتماع المردان وإنشاد ما يثير نار الشهوة من العشقيات والمشوّقات للشهوات الدنيويّة كالقدّ والخدّ والعين والحاجب، وإنشاد ما يشوّق إلى الآخرة ويزهد في الدنيا فهذا اجتماع حسن يثاب قاصد ذلك وفاعله عليه

“Hal ini tidak termasuk dari tradisi Rasul (sunnah), tetapi bila seseorang menyedekahkan hartanya di hari ini dan menampakan kebahagiaan sebab lahirnya Nabi Muhammad dan mendengarkan sesuatu yang tidak disertai adanya perkumpulan dengan para amrad atau nyanyian percintaan yang membangkitkan syahwat duniawi seperti baju, pipi, mata atau alis, serta mengandung nyanyian yang membuat cinta pada akhirat dan zuhud pada dunia, maka itu adalah perkumpulan yang baik, berpahala bagi pelakunya.” (Muhammad as-Shalihi as-Syami, Subul al-Hudâ wa ar-Rasyâd Fî Sîrah Khair al-‘Ibâd, juz I, halaman 364)

Syekh at-Tazmanti, tokoh Syafi’iyah ini sebenarnya menerangkan sebagai berikut: 

هذا الفعل لم يقع في الصّدر الأول من السلف الصالح مع تعظيمهم وحبهم له إعظاماً ومحبةً لا يبلغ جمعنا الواحد منهم ولا ذرّة منه، وهي بدعة حسنة إذا قصد فاعلها جمع الصالحين والصلاة على النبي وإطعام الطعام للفقراء والمساكين، وهذا القدر يثاب عليه بهذا الشرط في كل وقت

“Tindakan ini tidak ada di masa awal dari kalangan Salafus Sholeh meskipun mereka mencintai Nabi dan mengagungkannya dengan cinta yang berkumpulnya kita semua sekarang tidak dapat menyaingi satupun dari mereka atau sedikitpun darinya. Itu adalah bid'ah hasanah yang apabila pelakunya bermaksud mengumpulkan orang-orang yang saleh dan bershalawat atas Nabi dan memberi makan orang-orang fakir dan miskin. Kadar ini adalah berpahala dengan catatan tersebut (tidak mengandung unsur maksiat) di setiap waktu.” (Muhammad as-Shalihi as-Syami, Subul al-Hudâ wa ar-Rasyâd Fî Sîrah Khair al-‘Ibâd, juz I, halaman 364)

Seluruh tokoh besar di atas sepakat bahwa peringatan Maulid Nabi adalah baik dan tergolong dalam kategori bid’ah hasanah, dengan catatan dalam praktiknya tidak boleh mengandung unsur-unsur yang nyata-nyata maksiat. Catatan seperti ini adalah sesuatu yang wajar dan ada dalam semua kasus, bahkan hari raya Idul Fitri dan Idul Adha pun tidak boleh dirayakan dengan unsur-unsur maksiat. Itulah fakta yang disembunyikan oleh pengarang kitab al-Qaul al-Fashl Fî Hukmi al-Ihtifâl Bimaulidi Khairi ar-Rusul yang memotong kalam ulama demi mengesankan bahwa peringatan Maulid adalah terlarang sebab tak dilakukan oleh generasi awal, sesuai dengan keyakinan komunitasnya. Tetapi bagaimana pun kebenaran tak mungkin disembunyikan. Wallahu a'lam. []

Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja NU Center Jember.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar