Sejarah Nabi Muhammad (4): Beberapa
Keistimewaan Dibanding Para Nabi Lain
Allah mengutus para rasul-Nya untuk
membimbing umat manusia agar selalu mengikuti petunjuk-Nya. Agama Islam
mengajarkan kepada para pemeluknya agar mengikuti langkah-langkah yang
dicontohkan oleh para nabi dan rasul, mentaati dan memuliakan mereka dengan
tidak membedakan satu rasul dengan rasul yang lain. Sebagian para rasul itu,
Allah memberikan beberapa keistimewaan dan kelebihan yang berbeda antara yang
satu dengan yang lainnya. Ada di antara mereka yang bergelar Ulul Azmi, yaitu
para nabi yang tergolong besar dan agung karena perjuangan mereka yang sangat
berat dalam mengemban risalah-Nya. Ada di antara mereka yang diberikan
al-Kitab, ada yang dikaruniai ketabahan yang luar biasa, ada yang dianugerahi
ilmu yang sangat mendalam, dan lain sebagainya. Dalam beberapa riwayat
disebutkan bahwa mereka yang bergelar Ulul Azmi itu adalah Nabi Nuh
'alaihissalam, Nabi Ibrahim 'alaihissalam, Nabi Musa 'alaihissalam,
Nabi Isa 'alaihissalam, dan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam.
Dari lima rasul yang tergolong Ulul Azmi itu,
Nabi Muhammad adalah nabi terakhir yang tentunya juga memiliki
kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh nabi-nabi dan rasul-rasul
sebelumnya. Nabi Muhammad adalah seorang rasul yang sangat tawadhu atau rendah
hati meskipun beliau memiliki berbagai kelebihan dan keistimewaan dari nabi dan
rasul serta manusia lainnya. Beliau tidak pernah menunjukkan sifat-sifat yang
tidak terpuji di tengah-tengah umatnya. Rasul-rasul yang lain memperkenalkan
dirinya sesuai dengan anugerah yang Allah berikan. Di antara mereka, ada yang
digelari Khalilullah (kekasih Allah ) seperti Nabi Ibrahim, ada yang dinyatakan
sebagai Kalimullah (orang-orangyang berbicara dengan Allah), seperti Nabi Musa,
ada yang digelari Ruhullah (ruh ciptaan Allah), seperti Nabi Isa dan lain
sebagainya. Nabi sendiri, ketika ditanya tentang dirinya, beliau menjawab
dengan penuh tawadhu dan rendah hati, “Aku adalah seorang yatim yang dipelihara
Abu Thalib.”
Nabi terakhir yang rendah hati dan berakhlak
mulia itu pada hakekatnya memiliki kelebihan-keleihan yang banyak dari para
nabi dan rasul yang lain. Sebagian dari kelebihan-kelebihan yang dimiliki beliau,
sedikitnya ada enam macam yang beliau sebutkan dalam sabdanya:
فُضِّلْتُ
عَلىَ اْلأَنْبِياَءِ بِسِتٍّ : اُعْطِيْتُ جَوَامِعَ اْلكَلِمَ وَ نُصِرْتُ
بِالرُّعْبِ، وَاُحِّلْتُ لِيَ اْلغَنَائِمُ وَجُعِلْتُ لِيَ الأَرْضُ طَهُوْرًا
وَمَسْجِدًا وَأُرْسِلْتُ اِلَى الْخَلْقِ كآفّةً وَخُتِمَ بِيَ النَّبِيُّونَ
“Aku dilebihkan dari para nabi yang lain
dengan enam keistimewaan berupa; (1) diberikan kepadaku “jawami’ al-kalim
(seseorang yang memiliki kemampuan menyusun kalimat yang ringkas tetapi
memiliki jangkauan makna yang luas dan kalimatnya menarik)”, (2) aku diberikan
pertolongan dalam peperangan dengan tergetarnya hati musuh, (3) dihalalkan
bagiku harta rampasan perang, (4) dijadikan bagiku bumi untuk bersuci dan
bersujud, (5) aku diutus bagi semua makhluk, dan (6) aku sebagai Nabi yang
terakhir.” (HR. Muslim: 812, al-TirmidzI: 1474, dan Ahmad: 21130) .
Selain itu, dalam riwayat yang lain
disebutkan bahwa Nabi memiliki hak memberikan syafaat (pertolongan dengan izin
Allah) yang akan bermanfaat bagi umatnya nanti pada hari kiamat. (HR. Muslim).
Dengan demikian, paling tidak ada tujuh keistimewaan Rasulullah yang akan
dijabarkan dalam pembahasan berikut ini.
Keistimewaan yang pertama adalah jawami’
al-kalim, yaitu kemampuan menyusun kalimat yang sederhana dan pendek namun
mempunyai jangkauan makna yang luas dan menarik. Kalau kita memperhatikan
hadits Nabi, kita banyak menjumpai kalimat-kalimat yang singkat dan menarik
tetapi mempunyai jangkauan makna yang luas, misalnya sabda beliau, “Agama itu
nasihat.” Kalimat ini sangat ringkas tetapi maksudnya begitu luas, mencakup
berbagai macam makna yang terkandung di dalamnya. Demikian juga sabdanya, “Di
antara baiknya pengamalan Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang
tidak bermanfaat bagi dirinya.” Ketika ada seorang pemuda meminta nasihat
kepada Nabi, beliau tidak memberikan nasihat yang panjang lebar, beliau hanya
berkata, “Kamu jangan marah!”. Inilah salah satu kelebihan Nabi Muhammad yang
tidak dimiliki oleh manusia biasa, bahkan oleh nabi-nabi yang lain
sekalipun.
Kedua, dalam setiap menghadapi peperangan,
dimana Nabi dan para sahabatnya menempuh taktik untuk mempertahankan diri dari
serangan musuh, beliau senantiasa mendapat pertolongan Allah dengan tergetarnya
hati musuh. Sehingga meskipun jumlah pengikut beliau sedikit, namun musuh
gentar dan merasa ciut untuk menghadapi kaum Muslimin, akhirnya mereka kalah,
dan kaum Muslimin meraih kemenangan. Hal itu kita bisa melihat langsung dalam
sejarah kehidupan Nabi Muhammad.
Ketiga, halalnya rampasan perang (ghanimah).
Pada masa nabi-nabi terdahulu, harta rampasan perang tidak boleh dimanfaatkan,
akan tetapi pada masa Nabi Muhammad, harta-harta tersebut diperintahkan untuk
dimanfaatkan oleh beliau dan para sahabatnya. Ketetapan ini disebutkan dalam
firman-Nya,
“Maka makanlah dari sebagian rampasan perang
yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (QS. al-Anfal, 8:69)
Keempat, Nabi Muhammad dan umatnya
diperbolehkan bersuci dengan menggunakan tanah (bertayamum) apabila tidak
ditemukan air atau karena ada halangan lain. Beliau juga beserta umatnya boleh
mengerjakan shalat di mana saja di muka bumi ini, di masjid, mushala, lapangan,
ladang, gunung, dan sebagainya. Padahal para Nabi terdahulu dan umatnya hanya
diperbolehkan sembahyang di tempat-tempat yang telah ditentukan, yaitu di
ma’bad atau tempat ibadah yang resmi secara syariat. Kelima, risalah Nabi
bersifat umum dan diperuntukkan bagi seluruh umat jin dan manusia, dari
berbagai suku bangsa di seluruh alam. Risalahnya juga berlaku sepanjang masa di
semua tempat. Mengenai hal ini, Allah berfirman,
“Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad),
melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan
sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.”
(QS. Saba`, 34:28).
Dalam ayat lainnya, Allah berfirman:
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutusmu, melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. al-Anbiya, 21:107)
Keenam, Nabi Muhammad sebagai penutup para
nabi. Sebagaimana telah diketahui, misi para nabi dari masa ke masa adalah
membimbing umat manusia agar menapaki jalan yang lurus, yaitu jalan yang
diridhai oleh Allah. Ajaran mengenai aqidah, berupa kepercayaan dan keyakinan
yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah itu Tuhan Yang Maha Esa, tidak pernah
berubah dari masa ke masa. Ajaran ini sama dari satu rasul kepada rasul yang
lain, yaitu ajaran yang dirumuskan dalam kalimat tauhid “Lâ Ilâha illa Allâh”
(Tiada Tuhan melainkan Allah ).
Ajaran mengenai syariat terus mengalami
perubahan dari masa ke masa menuju kesempurnaan yang sesuai dengan zamannya.
Oleh karena itu, pada masa Nabi Muhammad, syariat Islam merupakan tatanan
syariat hasil penyempurnaan dari syariat-syariat sebelumnya yang tidak berubah
lagi untuk selamanya. Mengenai hal ini, Nabi bersabda,
“Perumpamaanku dengan nabi-nabi sebelumku
adalah bagaikan seseorang yang membangun suatu bangunan. Orang-orang itu
berusaha memperbaiki dan memperindah bangunan tersebut, kecuali pasangan batu
bata dari salah satu pojok bangunan itu. Banyak orang yang memperhatikan
bangunan tersebut dan mengaguminya. Mereka berkomentar, “Sayang, mengapa
pemasangan batu bata itu tidak diselesaikan agar tatanan bangunan tersebut
menjadi sempurna?” Rasulullah menjawab, “Akulah batu bata itu, aku yang
menyempurnakan bangunan itu dan akulah penutup para nabi.” (HR. al-Bukhari: 3271
dan Muslim: 4239)
Ketujuh, Nabi Muhammad diberikan hak syafaat
yang akan bermanfaat bagi umatnya nanti di hari kiamat. Pada dasarnya, setiap
nabi diberi kesempatan yang sama oleh Allah untuk memohonkan sesuatu
kepada-Nya. Permohonan mereka itu nantinya akan Allah kabulkan. Maka
masing-masing nabi tersebut berdoa agar Allah memberikan ampunan bagi diri
mereka sendiri. Maka Allah pun mengabulkan semuanya. Nabi Adam menyesali
perbuatan dosanya ketika memakan buah terlarang di surga, ia bertobat kepada
Allah agar mengampuninya. Nabi Musa memelas kepada Allah atas kekeliruannya,
ketika dengan tidak sengaja membunuh seorang pribumi Mesir, ketika melerai
perkelahian dengan seorang Bani Israil. Begitu pula Nabi Yunus dengan ikan
Hutnya, dan nabi-nabi lainnya. Sedangkan Rasulullah, menunda satu permohonannya
diperuntukkan nanti berupa syafaat bagi umatnya. []
Dr. KH. Zakky Mubarak, MA, Rais Syuriyah PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar