Rabu, 28 November 2018

Jejak Tremas dalam Muktamar NU


Jejak Tremas dalam Muktamar NU
Oleh: A Muhammad

Sejak Nahdlatul Ulama berdiri tahun 1926, secara berturut-turut penyelenggaraan Muktamar NU selalu dilangsungkan di Surabaya hingga muktamar ke 3. Baru pada tahun 1929, atau muktamar ke 4, hajatan yang waktu itu diselenggarakan tahunan itu berlangsung di luar Surabaya. 

Semarang akhirnya ditunjuk menjadi kota penyelenggara muktamar NU, yang waktu itu mulai berkembang pesat dan diperhitungkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Kelihaian diplomasi KH Wahab Hasbullah merayu Van Der Plas, Adviseur voo Inlandsche Zaken (Menteri UrusanPribumi), agar pelaksanaan muktamar dapat dilaksanakan di Semarang patut diacungi jempol, mengingat pada waktu yang bersamaan di Semarang sedang gentingnya pergolakan perlawanan kaum kiri.  

Sukses muktamar di Semarang akhirnya menjadi awal ekspansi NU untuk mewartakan berdirinya jam'iyyah para kyai itu ke seluruh negri dengan mengagendakan penyelenggaraan muktamar dari kota ke kota.

Satu tahun berikutnya kota Pekalongan mendapat penghormatan menjadi penyelenggara muktamar. Pilihan kota Pekalongan sebagai penyelenggara merupakan bentuk penghormatan atas peran Kakek Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya yakni Habib Hasyim bin Umar bin Toha bin Yahya, yang punya jasa besar atas berdirinya jam'iyyah terbesar di dunia tersebut. 

Penyelenggaraan muktamar ke 5 ini semakin meriah dan terasa istimewa dengan banyaknya tokoh-tokoh besar terlibat dan menghadiri hajatan organisasi penjaga aqidah Ahlussunah wal jamaah pimpinan KHM Hasyim Asy’ari ini. 

Sebagaimana disebutkan dalam buku Sejarah KHA Wahid Hasyim (Aboebakar Atjeh,1958 ), tokoh-tokoh penting dan berpengaruh yang hadir dalam muktamar Ke-5 tersebut antara lain, dua tokoh muda kharismatik, KH. Abdul Wahid Hasyim dan KH. M. Iljas ( menteri Agama tahun 50an), dan para ulama senior, seperti Kiai Faqih, Maskumambang Gresik, Kiai Munawiz, Kiai Muhammad Mudzakir, Kiai Abdulloh alumnus (Al-Azhar) Mesir, Kiai M Said, Kyai Muhtadi Al-Hafidz, dan  KHM Dimyathi Abdulloh Tremas, Pacitan. 

Kehadiran KHM Dimyathi Tremas, menjadi daya tarik tersendiri bagi para muktamirin, khususnya ulama-ulama senior maupun alumni pesantren Tremas yang hadir dari berbagai daerah. 

Sebagaimana diketahui, pesantren Tremas pada waktu itu sedang berada di puncak masa keemasan di bawah asuhan Mbah Guru (KHM Dimyathi, red). Jasa besar pesantren Tremas yang telah melahirkan ribuan ulama di seantero nusantara ini menjadi kado terindah penyelenggaraan muktamar ke 5 dengan hadirnya KHM Dimyathi, sahabat karib Rais Akbar, Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari.

Bila pada masa pecah kongsi Masyumi-NU di awal 50an hingga jatuhnya Orde Baru di akhir 90an, pesantren Tremas memilih mengambil jarak dengan partai politik dan ormas-ormas Islam, termasuk Nahdlatul Ulama, semua atas dasar pertimbangan menjaga ukhuwah Islamiyah dengan berpedoman pada qaidah fiqhiyyah, 'Dar’ul mafasid Muqaddamun ala jalbil mashalih'.

Dalam buku Bunga Rampai dari Tremas, (A Muhammad, 2017) diutarakan panjang lebar, bahwa tidak mudah bagi Tremas memainkan perannya agar tetap akomodatif terhadap berbagai kepentingan, dengan tetap mempertahankan jati dirinya sebagai pesantren yang memilki reputasi luar biasa di masa lalu. 

Terlebih kondisi politik era Orde Baru, mengambil posisi netral dari berbagai kepentingan ormas maupun orpol, menjadi sangat penting demi menjaga hubungan baik dengan berbagai elemen masyarakat.

Seiring berjalannya waktu, paska gerakan reformasi di pertengahan tahun 1998, Tremas dengan sigap mulai merespon berbagai kemungkinan untuk mengambil peran yang lebih luas dalam kancah politik kebangsaan maupun perannya sebagai agen perubahan. 

Keterlibatan kembali beberapa anggota keluarga di dalam Jam'iyyah Nahdlatul Ulama, menjadi langkah positif dalam upaya mengembalikan identitas Tremas, yang lebih dari 4 dekade tidak maksimal  mengambil peran di ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut.

Kehadiran dan keterlibatan Mbah Guru Dimyathi dalam gelaran muktamar NU ke 5 di Pekalongan tahun 1930, layak dijadikan momentum  penting sejarah keterlibatan Tremas dalam jamiyyah NU. 

Adalah sebuah keniscayaan bila salahsatu cucu beliau, KH Luqman Harits Dimyathi, kini terlibat aktif di jam'iyyah sebagai Katib PBNU, yang saat ini sedang berjuang bersama elemen bangsa yang lain, menjaga dan merawat tradisi Islam Nusantara serta menjadi benteng kebhinekaan Indonesia melawan segala bentuk rongrongan gerakan transnasional, yang berusaha mengganti ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). []

A Muhammad (adeahmad), Penulis buku Bunga Rampai dari Tremas, CEO Yayasan Islam Al-Anis, Kartasura, Sukoharjo. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar