Jejak Tremas dalam
Muktamar NU
Oleh: A Muhammad
Sejak Nahdlatul Ulama
berdiri tahun 1926, secara berturut-turut penyelenggaraan Muktamar NU selalu
dilangsungkan di Surabaya hingga muktamar ke 3. Baru pada tahun 1929, atau
muktamar ke 4, hajatan yang waktu itu diselenggarakan tahunan itu berlangsung
di luar Surabaya.
Semarang akhirnya
ditunjuk menjadi kota penyelenggara muktamar NU, yang waktu itu mulai
berkembang pesat dan diperhitungkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Kelihaian
diplomasi KH Wahab Hasbullah merayu Van Der Plas, Adviseur voo Inlandsche Zaken
(Menteri UrusanPribumi), agar pelaksanaan muktamar dapat dilaksanakan di Semarang
patut diacungi jempol, mengingat pada waktu yang bersamaan di Semarang sedang
gentingnya pergolakan perlawanan kaum kiri.
Sukses muktamar di
Semarang akhirnya menjadi awal ekspansi NU untuk mewartakan berdirinya
jam'iyyah para kyai itu ke seluruh negri dengan mengagendakan penyelenggaraan
muktamar dari kota ke kota.
Satu tahun berikutnya
kota Pekalongan mendapat penghormatan menjadi penyelenggara muktamar. Pilihan
kota Pekalongan sebagai penyelenggara merupakan bentuk penghormatan atas peran
Kakek Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya yakni Habib Hasyim bin Umar bin
Toha bin Yahya, yang punya jasa besar atas berdirinya jam'iyyah terbesar di
dunia tersebut.
Penyelenggaraan
muktamar ke 5 ini semakin meriah dan terasa istimewa dengan banyaknya tokoh-tokoh
besar terlibat dan menghadiri hajatan organisasi penjaga aqidah Ahlussunah wal
jamaah pimpinan KHM Hasyim Asy’ari ini.
Sebagaimana
disebutkan dalam buku Sejarah KHA Wahid Hasyim (Aboebakar Atjeh,1958 ),
tokoh-tokoh penting dan berpengaruh yang hadir dalam muktamar Ke-5 tersebut
antara lain, dua tokoh muda kharismatik, KH. Abdul Wahid Hasyim dan KH. M.
Iljas ( menteri Agama tahun 50an), dan para ulama senior, seperti Kiai Faqih,
Maskumambang Gresik, Kiai Munawiz, Kiai Muhammad Mudzakir, Kiai Abdulloh
alumnus (Al-Azhar) Mesir, Kiai M Said, Kyai Muhtadi Al-Hafidz, dan KHM
Dimyathi Abdulloh Tremas, Pacitan.
Kehadiran KHM Dimyathi
Tremas, menjadi daya tarik tersendiri bagi para muktamirin, khususnya
ulama-ulama senior maupun alumni pesantren Tremas yang hadir dari berbagai
daerah.
Sebagaimana
diketahui, pesantren Tremas pada waktu itu sedang berada di puncak masa
keemasan di bawah asuhan Mbah Guru (KHM Dimyathi, red). Jasa besar pesantren
Tremas yang telah melahirkan ribuan ulama di seantero nusantara ini menjadi
kado terindah penyelenggaraan muktamar ke 5 dengan hadirnya KHM Dimyathi,
sahabat karib Rais Akbar, Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari.
Bila pada masa pecah
kongsi Masyumi-NU di awal 50an hingga jatuhnya Orde Baru di akhir 90an,
pesantren Tremas memilih mengambil jarak dengan partai politik dan ormas-ormas
Islam, termasuk Nahdlatul Ulama, semua atas dasar pertimbangan menjaga ukhuwah
Islamiyah dengan berpedoman pada qaidah fiqhiyyah, 'Dar’ul mafasid Muqaddamun
ala jalbil mashalih'.
Dalam buku Bunga
Rampai dari Tremas, (A Muhammad, 2017) diutarakan panjang lebar, bahwa tidak
mudah bagi Tremas memainkan perannya agar tetap akomodatif terhadap berbagai
kepentingan, dengan tetap mempertahankan jati dirinya sebagai pesantren yang
memilki reputasi luar biasa di masa lalu.
Terlebih kondisi
politik era Orde Baru, mengambil posisi netral dari berbagai kepentingan ormas
maupun orpol, menjadi sangat penting demi menjaga hubungan baik dengan berbagai
elemen masyarakat.
Seiring berjalannya
waktu, paska gerakan reformasi di pertengahan tahun 1998, Tremas dengan sigap
mulai merespon berbagai kemungkinan untuk mengambil peran yang lebih luas dalam
kancah politik kebangsaan maupun perannya sebagai agen perubahan.
Keterlibatan kembali
beberapa anggota keluarga di dalam Jam'iyyah Nahdlatul Ulama, menjadi langkah
positif dalam upaya mengembalikan identitas Tremas, yang lebih dari 4 dekade
tidak maksimal mengambil peran di ormas Islam terbesar di Indonesia
tersebut.
Kehadiran dan
keterlibatan Mbah Guru Dimyathi dalam gelaran muktamar NU ke 5 di Pekalongan
tahun 1930, layak dijadikan momentum penting sejarah keterlibatan Tremas
dalam jamiyyah NU.
Adalah sebuah
keniscayaan bila salahsatu cucu beliau, KH Luqman Harits Dimyathi, kini
terlibat aktif di jam'iyyah sebagai Katib PBNU, yang saat ini sedang berjuang
bersama elemen bangsa yang lain, menjaga dan merawat tradisi Islam Nusantara
serta menjadi benteng kebhinekaan Indonesia melawan segala bentuk rongrongan
gerakan transnasional, yang berusaha mengganti ideologi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). []
A Muhammad
(adeahmad), Penulis buku Bunga Rampai dari Tremas, CEO Yayasan Islam Al-Anis,
Kartasura, Sukoharjo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar