Mahbub Djunaidi,
Independensi PMII, dan Politik
Ketua Umum pertama
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Mahbub Djunaidi adalah orang yang
setuju dengan independensi PMII.
Pada sebuah tulisan,
Mahbub mengatakan, independensi (PMII, red.) itu merupakan bukti dinamisnya
anak yang mestinya diterima sebagai bukti obyektif bahwa kendati PMII terpisah
secara struktur, tetapi dia masih terikat dengan ajaran-ajaran Ahlussunah wal
Jamaah.
Pernyataan itu ia
kemukakan pada buku Pemikiran PMII dalam Berbagai Visi dan Persepsi (penyusun,
A. Effendy Choirie, Choirul Anam, ed) yang terbit pertama kali tahun 1991.
Secara tersurat pernyataan itu ia alamat kepada kepada salah seorang pendiri
PMII H. Cholid Mawardi yang pada tulisannya, di buku yang sama, meminta PMII
kembali ke pangkuan NU.
Sebagaimana
diketahui, PMII pada lahir dari rahim NU melalui anak-anak mudanya. Di
antaranya dari Departemen Perguruan Tinggi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama,
sebuah organisasi pelajar yang lahir pada 1954.
Menurut Mahbub, jika
meneliti secara cermat tentang PMII, masalah indevendensi merupakan sesuatu
yang kokoh dan tak bisa dibongkar lagi. Hal itu merupakan tanda kemajuan dan
kemandirian sebagai ciri dari anak muda.
Di sisi lain, pada
tulisan yang sama, Mahbub juga menolak pemisahan mahasiswa dari politik. Ya,
memang dia adalah orang yang konsisten dalam hal itu. Bahkan, ketika NU
menyatakan kembali ke khittah 1926 pada Muktamar NU di Situbondo, ia kurang
setuju. Mahbub mengusulkan khittah plus.
Buntutnya, pada Munas
NU di Kesugihan, Cilacap, pada 1987, wialayah dan cabang NU mempertanyakan
tentang khittah plus tersebut bahkan kembali sebagai partai, yang kerap
dikemukakan Mahbub di media massa. Maklum, saat itu Mahbub adalah salah seorang
Wakil Ketua PBNU yang berbeda pendapat dengan hasil muktamar 1984.
Bagi Mahbub, pada
waktu itu NU memiliki sekitar 20 juta massa riil yang tiap pemilu hanya berada
di luar pagar dan hanya menjadi tukang “pemberi suara” kepada partai
lain.
Lalu, bagaimana kaitannya
antara PMII dan politik? Pada tulisan yang sama, ia memulai pokok pikirannya
dengan pertanyaan, apakah manfaatnya menjauhkan politik dari mahasiswa bagi
masa depan Indonesia? apakah menjauhkan politik dari mahasiswa, negara akan
menjadi tentram dan tenang tanpa gangguan?
Tentu saja
pertanyaan-pertanyaan Mahbub waktu itu harus ditempatkan pada konteksnya. Pada
waktu ia mengemukakan pernyataan itu, ada larangan mahasiswa turut berpolitik.
Bahkan ada larangan kampanye di kampus.
Bagi Mahbub,
mahasiswa adalah calon pemimpin bangsa ini sehingga kalau mereka dijauhkan dari
politik, mereka tidak akan tahu kondisi masyarakatnya saat ia memimpin.
Namun, mesti dicatat,
politik bagi Mahbub bukan sekadar menjadi anggota partai politik yang kemudian
menjadi anggota dewan. Bagi Mahbub berpolitik adalah bermasyarakat, mengamati
apa yang terjadi di sekitar dan punya keberanian untuk membela suara yang
benar.
Sepertinya pendapat
si pendekar pena itu dibawanya hingga ia wafat pada 1 Oktober 1995. []
(Abdullah
Alawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar