Sejarah Nabi Muhammad
(1): Yatim Piatu sejak Usia Enam Tahun
Kenabian dan
kerasulan adalah karunia yang agung dari Allah yang diberikan kepada seseorang
yang telah dipilihnya, tidak bisa dicapai dengan usaha manusia. Allah yang
menentukan kepada siapa anugerah itu diberikan, kapan disampaikannya dan
siapapula yang diberi kesanggupan oleh-Nya untuk menerima karunia itu.
Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang manusia berkebangsaan Arab yang
dipilih oleh Allah untuk menerima anugerah yang agung itu. Ia dijadikan-Nya
sebagai penutup segala nabi dan rasul, dengan membawa syariat yang sempurna
yang bersifat kekal dan abadi. Ajarannya berlaku untuk semua umat manusia dalam
berbagai ras, bangsa dan warna kulit. Ia merupakan risalah agama yang sempurna
yang membangun peradaban yang tinggi bagi seluruh umat manusia. Sebelum
kelahiran Nabi Muhammad, keadaan bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain diliputi
oleh kebodohan dan kejahilan. Mereka adalah bangsa yang menganut paganisme,
penyembah patung dan berhala, padahal nenek moyang mereka berasal dari pengikut
ajaran tauhid yang disampaikan oleh Nabi Ismail ‘alaihissalam. Suasana
keberhalaan dan kemusyrikan sudah menyatu dan mendarah daging pada jiwa mereka.
Sehingga Masjidil Haram yang suci itu menjadi ternoda dengan bergelantungnya
berhala-berhala dan patung.
Di sekeliling Ka’bah
yang berada di tengah-tengah Masjidil Haram ada kurang lebih 360 patung dan
berhala yang mereka sembah. Setiap suku memiliki patung tersendiri sebagai
sembahan dan perantara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Keadaan seperti itu telah mengotori Masjid dan kesucian Ka’bah dalam menjalani
pelaksanaan ibadah yang murni kepada Allah. Kaum musyrikin menjadikan
patung-patung itu sebagai Tuhan-tuhan mereka. Untuk patung-patung itu hewan
dikurbankan dan nadzar ditunaikan, mereka memberikan ketaatan yang total pada
patung-patung itu. Keadaaan seperti itulah yang mereka jalani meskipun apabila
mereka ditanya “Siapa Tuhan yang mereka sembah”. Mereka menjawab “Tuhan kami
adalah Allah, kami tidak menyembah patung-patung itu kecuali hanya perantara
untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan taqarub yang amat dekat” (QS.
Al-Zumar, 39: 3).
Dalam suasana yang
sangat kacau penuh kesesatan yang disebut zaman jahiliyyah itu, terjadilah
pernikahan agung, antara Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim al-Quraisyi
dengan Aminah binti Wahab. Dari pernikahan yang mulia itu, Allah menakdirkan
lahirnya manusia yang paling agung dalam sejarah dunia, yaitu Nabi Besar
Muhammad pada hari senin tanggal 12 Rabiul Awwal Tahun Gajah, bertepatan dengan
20 April 570 M. Ketika Nabi masih berada dalam kandungan ibunya. Pada suatu
saat ibundanya Siti Aminah, melihat cahaya yang terang benderang dari dirinya
dan menerangi istana Kisra di negeri Syam. Ayah Nabi Muhammad Sayyid Abdullah
bin Abdul Muthalib meningal dunia ketika beliau masih ada dalam kandungan
ibunya.
Beberapa bulan
setelah itu berbahagialah Sayyidah Aminah ibunda Nabi Muhammad dan Abdul
Mutahalib, kakeknya atas kelahirannya yang diberi nama Muhammad, karena ia akan
menjadi orang yang sangat terpuji di masa yang akan datang. Inilah manusia yang
paling agung dan paling berpengaruh dalam sejarah kemanusiaan. Petunjuk telah
lahir dan alam pun telah menjadi terang bercahaya. Zaman menyambut kelahirannya
dengan senyum ceria. Muhammad kecil dipelihara oleh ibunya dan kemudian
disusukan kepada Halimah al-Sa’diyah kaum Bani Sa’ad dari Bani Zuhrah sampai
susuannya berakhir, kemudian kembali kepangkuan ibundanya atas tanggungan
kakeknya Abdul Muthalib.
Ketika umur beliau
mencapai usia 6 tahun, ketika ia mulai menanyakan ayahnya kepada ibundanya yang
amat dicintainya, sampailah informasi padanya tentang kewafatan ayahnya. Ketika
ia masih berada dalam kandungan, maka ia pun sadar bahwa dirinya adalah anak
yatim. Pada usia itu beliau diajak ibundanya Aminah untuk berziarah ke Yastrib
mengunjungi saudar-saudara kakeknya dari keluarga Najjar. Perjalanan ke Yatsrib
ditemani Ummu Aiman seorang pembantu wanita yang disiapkan Abdullah sebelum
beliau wafat. Sampai di Madinah, Muhammad kecil diajak berziarah ke suatu rumah
tempat ayahnya dahulu meninggal, serta berziarah ke tempat kuburan ayahnya.
Suasana itu dirasakan begitu berat dan mengharukan, apalagi bagi Muhammad kecil
yng telah menjadi yatim. (Husein Haikal, 1998: 54).
Setelah beberapa lama
tinggal di Madinah, Aminah, Muhammad, dan Ummu Aiman bersiap-siap untuk pulang
ke Makkah. Dalam perjalanan pulang, ketika mereka sampai di kampung Abwa’,
ibunda Aminah merasa sakit, yang kemudian meninggal dunia dan dikuburkan di
tempat itu juga. Muhammad kecil kembali menghadapi cobaan yang sangat berat,
ibarat luka belum sembuh karena ditinggalkan ayahahandanya, tergores luka baru
dengan wafatnya ibunda yang sangat dicintainya. Muhammad kini menjadi seorang
yang yatim dan piatu dalam usia 6 tahun. Kemudian Ummu Aiman membawanya pulang
ke Makkah. Anak itu pulang sambil menangis dengan hati yang perih, hidup
sebatang kara. Baru beberapa hari yang lalu ia menyaksikan rumah tempat ketika
ayahnya wafat dan kuburan ayahnya, kini ia melihat sendiri di hadapannya,
ibundanya pergi, wafat tidak kembali untuk selama-lamanya.
Anak yang masih amat
kecil itu mendapat cobaan yang sangat berat, memikul beban hidup yang
memilukan, sebagai seorang anak yang yatim dan piatu. Dua tahun setelah beliau
berada dalam asuhan dan bimbingan kakeknya Abdul Muthalib pun wafat. Sebelum
meninggal dunia, Abdul Muthalib menyerahkan cucunya kepada anaknya yang
sekaligus paman Nabi, yaitu Abu Thalib. Kemudian merawatnya dengan penuh kasih
sayang. Ketika di Makkah Muhammad kecil dipelihara kakeknya Abdul Muthalib.
Kakeknya sangat mencintainya, ia memeliharannya dengan penuh kasih sayang,
sungguhpun demikian, peristiwa sedih sebagai anak yatim piatu itu bekasnya
masih mendalam sekali pada jiwanya, sehingga dalam al-Qur’an disebutkan:
“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?” (QS.
al-Dhuha, 93: 6). []
Dr. KH. Zakky
Mubarak, MA, Rais Syuriyah PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar