Berislam Tanpa
Melepas Baju Indonesia
Judul
: Menjadi Islam, Menjadi Indonesia
Penulis
: M Zidni Nafi’
Kata
Pengantar
: Ahmad Baso
Penerbit
: Elex Media Komputindo
Tebal
: xvi + 349
Cetakan
: Pertama, Maret 2018.
Peresensi:
Syakir NF
Masyarakat Indonesia
sejak dulu sudah akrab dengan ritus yang ditradisikan secara turun temurun.
Hampir semua suku mengenal upacara-upacara adat, sejak kelahiran seseorang
hingga kematiannya. Melihat hal tersebut, pendakwah Islam di tanah Nusantara
ini enggan menghilangkan budaya itu mengingat eratnya ikatan dengan khalayak.
Justru, para dai itu menjadikan budaya sebagai media guna mengantarkan Islam ke
hati masyarakat Nusantara. Tak ayal, Islam sebagai agama baru bertahan lama
hingga saat ini. Tidak seperti di belahan wilayah lain yang masuk dengan
peperangan.
Islam di Indonesia
tidak memandang sebelah mata terhadap agama lainnya. Mereka bersatu padu dalam
bingkai kenegaraan. Persaudaraan antarmuslim (ukhuwah islamiyah), persaudaraan
antar sesama bangsa (ukhuwah wathaniyah), dan persaudaraan antarmanusia
(ukhuwah basyariyah/insaniyah) menjadi landasan masyarakat Islam di Nusantara
dalam menjaga hubungan baik dengan semua elemen bangsa tanpa membedakan suku,
agama, ataupun ras, golongan. Hal itu juga memberikan pandangan kenegaraan
mereka tidak eksklusif. Artinya, sistem kenegaraan tidak berdasarkan agama,
tetapi berdasarkan kedamaian (darussalaam).
Namun belakangan, ada
kelompok baru yang mengatasnamakan Islam tetapi enggan mengadaptasi budaya.
Mereka juga seperti tak ingin melihat perbedaan. Padahal itu merupakan fitrah
dan sudah ada sejak mereka sendiri belum diadakan. Keyakinan kuat dengan dasar
lemah mereka membuatnya eksklusif setiap pandangannya. Mereka ingin semuanya
seragam.
M Zidni Nafi’
menguraikan permasalahan itu secara rinci dalam bukunya. Tak hanya membeberkan
masalahnya saja, tentu ia juga memberikan solusi atas permasalahan tersebut.
Zidni mendasari pandangannya pada literatur-literatur klasik dan kontemporer
sehingga pembahasannya cukup komprehensif. Ia juga mengutip pandangan ulama
terkini sehingga betul-betul tidak kehilangan konteksnya.
Buku pertamanya ini
semakin lengkap dengan pengambilan contoh dari dua begawan besar Islam
Nusantara, yakni Gus Dur dan Gus Mus. Ia menuliskan intisari pandangan
dua ulama itu dalam bukunya, baik berdasar tulisannya maupun laku dan ceramahnya.
Buku ini dibagi
menjadi empat bagian. Bagian pertama Romantisme Keislaman dan Keindonesiaan
membahas hubungan agama dan kenegaraan. Bagian kedua Tantangan Keberagaman dan
Keberagamaan menguraikan toleransi dan hubungan persaudaraan. NU, Pesantren, dan
Komitmen Kebangsaan menjadi bagian ketiga yang menjelaskan peran santri, kiai,
pesantren, dan NU dalam menjaga kedaulatan negara. Gus Dur dan Gus Mus, Para
Guru Pencerah Bangsa menjadi bagian puncak buku ini. Bagian terakhir ini
menguraikan dua pandangan kiai besar itu tentang permasalahan di Indonesia.
Buku ini ditulis
untuk menyadarkan pembaca bahwa mengenakan pakaian Islam itu tidak perlu
melepas baju kebangsaan kita sebagai warga negara Indonesia. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar