Moralitas Agama dalam Politik
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Seorang kawan menyampaikan kepada penulis di New York, baru-baru
ini. Dalam cerita itu, ia menyatakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
dipimpinnya bertemu dengan 19 Duta Besar dari berbagai negeri Muslim. Ia
mengemukakan kepada mereka, bahwa perdamaian abadi antara Israel dan
Palestina, harus didasari rasa saling percaya dan dipercayai. Karena hal itu
hanya dapat tumbuh dari keyakinan agama, maka persoalannya terletak pada
penyampaian ajaran dan pelaksanaan agama oleh para Rabbi Yahudi dan Ulama
Muslim. Semuanya mengangguk-angguk tanda setuju, tetapi sang teman merasa bahwa
anggukan tersebut tidak keluar dari hati yang murni. Dalam jawabannya, penulis
menyatakan hal itu wajar-wajar saja. Bukankah kalau apa yang disampaikannya itu
benar terwujud, maka para diplomat itu akan kehilangan peran sebagai
“penyelesai kesulitan dan pertentangan.” Bukankah hal itu sama saja dengan
menyampaikan kepada seorang jenderal bahwa perang itu tidak perlu.
Di sini penulis melihat adanya miskomunikasi antara berbagai
pihak, tentang peranan masing-masing dalam percaturan hidup bersama. Bersama
antara berbagai macam bangsa maupun bersama antara berbagai pandangan dan
pengelompokan yang ada dalam sebuah masyarakat. Apalagi kalau masyarakat itu sangat
besar, seperti bangsa Indonesia. Karenanya, kita harus sanggup menghargai dua
hal sekaligus. Pertama, haruslah dihargai perbedaan pandangan, cara hidup,
kebiasaan dan afinitas orang banyak. Kedua, harus ada pengambilan keputusan
atas nama semuanya, walaupun pada dasarnya adalah pandangan segolongan pihak
saja, yaitu pihak sang pemimpin yang mengemudikan negara.
Lalu, bagaimana kita harus memadukan dua hal yang saling
bertentangan itu? Penulis kira, hanya ada satu jalan untuk menembus kebuntuan
yang diakibatkan oleh kedua hal yang saling bertentangan di atas. Hal itu
adalah kepentingan umum, yang oleh Islam dirumuskan sebagai kebijakan dasar
yang harus diikuti dan dilaksanakan semua pemimpin; al-maslahah ‘ammah
(kemaslahatan bersama). Karena itulah penulis menyetujui adagium fiqh (hukum
Islam) yang berbunyi “Kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas yang
dipimpinnya harus terkait langsung dengan kemaslahatan mereka (Tasharruf
al-imam a’la al-ra’iyyah manuutun bi al-maslahah). Kata “kepentingan” ini
sekarang diganti dengan kata lain, yaitu kesejahteraan.
Kata “kesejahteraan” itupun, karena belum digunakan secara
umum pada tahun 1945, oleh Pembukaan UUD kita juga diberi nama lain yaitu
“masyarakat adil dan makmur”. Tapi istilah-istilah yang berbeda satu dari yang
lainnya itu, mempunyai persamaan hakiki yaitu bukan kepentingan sang pemimpin
atau golongannya. Karenanya penulis sendiri sangat heran mendengar ada seorang
anggota DPR-RI, bahwa ia bukanlah wakil rakyat melainkan wakil partainya di lembaga
tersebut. Bukankah dengan pernyataan itu, ia tidak menyadari bahwa ia mewakili
daerah pemilihan tertentu, dan karenanya adalah wakil rakyat. Bahwa
kemudian ia menjadi anggota fraksi tertentu, itu hanyalah soal disiplin kerja.
Kenyataan itu tidak mengubah statusnya sebagai wakil rakyat dalam lembaga
terhormat itu. Rupanya hal ini tidak disadari oleh banyak sekali anggota DPR-RI
saat ini, dari berbagai fraksi. Dalam hal ini, kita hanya dapat turut bersedih
hati, tanpa dapat berbuat apa-apa.
******
Dalam dunia yang hiruk-pikuk ini, banyak persoalan timbul karena
perbenturan kepentingan antara berbagai pihak. Bahkan negara adi-kuasa seperti
AS tidak malu menyerang sebuah negara “sedang” semacam Irak yang tidak mampu
mempertahankan diri. Akan berakhir di sini sajakah perlawanan bangsa Irak
terhadap “penjarahan” yang sebenarnya bermotifkan bisnis itu? Ternyata tidak,
karena sejauh ini sudah ada 400 jiwa melayang, di kalangan tentara pendudukan
maupun para petugas badan-badan internasional yang bertugas di sana. Dalam hal
ini, penulis bukan membela Saddam Husein, karena memang benar-benar seorang
tiran yang patut diganjar dengan hukuman mati. Beberapa orang pemikir dan
penganjur Islam di kalangan kaum Sunni yang melaksanakan ajaran Islam di Irak,
seperti Sheikh Aziz Badri, Dr. Abdul Karim Zaidan maupun Rasyid Ubaidi, telah
kehilangan nyawa, dan entah berapa lagi dari kalangan Syi’ah.
Namun keputusan unilateral/sepihak oleh AS untuk menyerbu Irak,
adalah pelanggaran atas hukum internasional, apapun alasannya. Dalam sebuah
konferensi internasional bulan Februari 2003 di ibu kota AS, Washington DC,
penulis menyampaikan bahwa jika dalam waktu tiga bulan Saddam Husein tidak
tertangkap, maka rakyat AS akan marah karena korban yang berjatuhan. Jika ini
yang terjadi, AS harus menarik pasukan-pasukannya, dan ini berarti pemerintahan
yang ada akan dianggap sebagai “pemerintahan boneka” oleh rakyat Irak sendiri.
Supaya pemerintahan yang akan disusun dapat diterima rakyat, maka persetujuan
para pengikut Saddam Husein diperlukan dalam pembentukan pemerintahan
baru itu.
Ini berarti, pertimbangan-pertimbangan geopolitis saja tidak
mencukupi kebutuhan untuk mendirikan pemerintahan yang diakui/diterima sebagai
“pemerintahan yang sah”. Karena itulah, pertimbangan-pertimbangan berbagai
kepentingan, diletakkan dalam kerangka acuan. Pertimbangan-pertimbangan
geo-politis belaka, akan lebih menjauhkan lagi diri kita dari perdamaian.
Inilah sebenarnya yang menjadi sendi bagi sikap anti-hegemoni dalam percaturan
internasional, seperti yang dibawakan oleh pemerintahan Mao Zedong di RRT
dan gagasan to build the world a new (membangun kembali dunia baru) dari
alm. Presiden Soekarno. Ini juga yang melandasi Konferensi Asia Afrika I
Bandung di tahun 1955. Bahwa kedua gagasan itu kemudian dilecehkan orang, tentu
disebabkan oleh merajalelanya “perang dingin” dan pesatnya perlombaan
persenjataan antara Barat dan Timur. Sekarang, blok Timur secara material sudah
kalah, namun Blok barat tidak lagi dapat menghentikan pengembangan teknologi mutakhir
di bidang persenjataan. Karena jika industri yang telah berkembang pesat itu
dihentikan, maka mengakibatkan pengangguran besar-besaran.
*****
Mengingat hal itu, maka timbul pertanyaan: bagaimana kita
akan mampu “menginjak rem” hubungan internasional yang semakin lama semakin
didominasi kekerasan? Jawabnya adalah; membentuk konfigurasi internasional baru
yang memunculkan faktor lain, di samping pertimbangan-pertimbangan geopolitis.
Karena kawasan geopolitis adalah milik para diplomat berbagai negara yang
saling mempengaruhi, dengan para pemimpin politik di negara masing-masing, maka
tidak heranlah jika sikap mendua lalu ditunjukkan para diplomat itu;
mengangguk-angguk tanda setuju, tetapi tidak mau mewujudkan ketika mendengarkan
sebuah pertimbangan lain di luar geopolitis. Sinisme itu tampak seperti yang
diceritakan penulis dalam gambaran di atas. Dan celakanya sikap seperti
ini yang justru dianggap sebagai “perwujudan diplomasi” yang dibanggakan
orang di mana-mana. Nah, kewajiban kitalah untuk memperbaiki hal ini secara
menyeluruh.
Tetapi apakah cara yang ditempuh untuk tujuan di atas, yaitu
mewujudkan percaturan internasional yang tidak hanya bersandar pada
pertentangan kepentingan belaka? Jawab satu-satunya tentu adalah menambahkan
sebuah unsur lain dalam percaturan internasional. Karena hanya dengan faktor
tambahan itulah peperangan dahsyat harus dapat dihindarkan. Unsur atau faktor
tersebut adalah moralitas yang bersumber pada agama. Namun, hal ini sulit
diwujudkan oleh adanya dua sebab. Pertama, karena pihak agama selalu menganggap
pihak orang yang tidak beragama (kaum atheis) sebagai lawan, padahal sebenarnya
mereka adalah lawan bicara yang baik. Kata Prof. Hasan Hanafi, seorang Atheis
adalah pencari Tuhan yang tidak dapat menemukan-Nya. Sebab kedua, antara kaum
beragama sendiri juga terjadi perebutan tempat untuk menentukan mana yang lebih
dekat dengan kebenaran Tuhan. Karean itu mudah mengatakannya, namun sulit
melaksanakannya, bukan? []
New York, 10 Desember 2003
Sumber: Kedaulatan Rakyat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar