Jumat, 16 November 2018

Kang Komar: Political Fatigue


Political Fatigue
Oleh: Komaruddin Hidayat

SAYA mulai merasakan political fatigue, perasaan lelah dan jenuh mengikuti berita politik di ruang publik yang dipenuhi dengan perdebatan, baik disajikan oleh televisi, surat kabar maupun media sosial lain. Perdebatan itu semakin tidak bermutu ataupun mengulang-ulang.

Sepertinya para aktivis politik kehabisan gagasan yang cerdas dan menarik ditonton. Ada yang bagus, namun banyak juga isinya cacian dan hujatan antara pihak-pihak yang berbeda pilihan politiknya.

Sekarang ini untuk berpose foto dengan acungkan tangan saja mesti pikir-pikir karena akan ditafsirkan sebagai pilihan politik. Misalnya dengan acungkan telunjuk jari atau jempol akan dianggap sebagai pendukung pasangan capres-cawapres nomor satu. Atau dua jari yang semula dimaknai victory, sekarang ditafsirkan sebagai kampanye pasangan capres-cawapres nomor dua.

Sedemikian masifnya pengaruh politik ini sehingga hampir semua obrolan, ujung-ujungnya masuk pilihan politik praktis. Sebuah perdebatan menjadi semakin sensitif ketika dibumbui dengan preferensi keagamaan.

Bahkan bendera bertulis kalimat syahadat saja menjadi pertikaian seru ketika ditarik ke ranah politik. Gesekan yang muncul tidak sebatas antarparpol peserta pemilu, tetapi juga ormas-ormas pendukung yang berafiliasi politik.

Aspek politik dari situasi ini adalah rakyat mulai terkondisikan terlibat dalam proses politik nasional. Rakyat mulai melek politik dan memiliki kebebasan berekspresi.

Situasi ini sangat jauh berbeda dibandingkan zaman Orde Baru. Dulu, untuk mengadakan seminar saja mesti izin ke aparat keamanan dan ada intel yang diam-diam mengawasi.

Untuk ceramah agama sekalipun pembicara mesti hati-hati jangan sampai mengkritik pemerintah. Salah-salah bisa dianggap merongrong wibawa negara atau subversi yang berujung ke penjara. Kebebasan berbicara ini merupakan salah satu prestasi reformasi yang paling fenomenal.

Adapun negatifnya, kita dibuat lelah ketika para politisi dan partai politik tidak dewasa serta cerdas dalam mengisi ruang kebebasan. Lewat parpol sesungguhnya rakyat bisa menyalurkan aspirasinya untuk ikut serta mengatur pemerintahan dan negara. Sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, di mana seleksi dan rekrutmennya melalui mekanisme kepartaian secara fair dalam alam demokrasi.

Idenya sangat bagus dan mulia, tetapi praktiknya kedodoran. Berpolitik miskin gagasan dan modal. Hal yang mengemuka kemudian perebutan kekuasaan dengan modal jumlah suara dan mengandalkan uang untuk membeli suara rakyat serta ongkos operasional parpol yang amat mahal.

Dari mana uang didapat? Dari para pengusaha yang ingin membeli kebijakan publik untuk kepentingan bisnisnya, bukan untuk rakyat.

Mengingat kekuatan uang tidak menjamin kemenangan untuk meraih suara, maka masih ada dua senjata lainnya, yaitu para tokoh selebritas yang dikenal luas masyarakat agar mau bergabung ke parpol untuk maju jadi calon legislatif (caleg), dengan harapan popularitas mereka akan mendongkrak suara. Tetapi, kelihatannya peran selebritas ini sudah menurun. Lalu dimainkanlah sentimen dan identitas keagamaan. []

KORAN SINDO, 16 November 2018
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar