Jumat, 16 November 2018

(Ngaji of the Day) Hukum Shalat Jumat di Negeri yang Mayoritas Non-Muslim


Hukum Shalat Jumat di Negeri yang Mayoritas Non-Muslim

Pertanyaan:

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.
Redaksi Bahtsul Masail NU Online, perkenalkan saat ini saya mahasiswa yang sedang tinggal di negeri yang mayoritas non-Muslim. Saya bermaksud ingin menanyakan tentang kewajiban melaksanakan shalat Jumat bagi Muslim yang tinggal di negeri mayoritas non-Muslim dan jarak masjid yang melaksanakan shalat Jumat sangat jauh. Saat ini kami tinggal di negeri yang mayoritas non-Muslim, di kota tempat tinggal kami hanya ada 3 orang Muslim. Sebagai informasi, masjid yang menyelenggarakan shalat Jumat yang terdekat dengan kami mempunyai jarak kira-kira 191 km dan 309 km dari tempat tinggal kami. Saat ini biasanya kami menyelenggarakan shalat Jumat dengan 3 orang, tapi setelah shalat Jumat saya melaksanakan lagi shalat dhuhur. Yang saya tanyakan bagaimana hukumnya ibadah shalat Jumat kami dan apakah dengan kondisi kami tersebut, kami tetap mempunyai kewajiban melaksanakan shalat Jumat? Terima kasih. Salam.

E. Susanto

Jawaban:

Wa’alaikumus salam warahmatullahi wabarakaatuh,

Mas Susanto yang budiman, semoga kita senantiasa diberi kekuatan untuk menjalankan ibadah oleh Allah .

Salah satu ketentuan yang tidak bisa lepas dari pelaksanaan Jumat adalah jumlah jamaah yang menghadiri Jumat dan status kependudukannya. Menurut pendapat kuat dalam mazhab Syafi’i, standar minimal jamaah yang sah melaksanakan Jumat adalah 40 orang yang bertempat tinggal tetap (muqim mustauthin). Sehingga jika ketentuan tersebut tidak terpenuhi, maka shalat Jumat tidak sah.

Saat kondisi tidak terpenuhinya standar bilangan dan status kependudukan sebagaimana penjelasan di atas, wajib berjumatan di daerah tetangga yang terpenuhi syarat dan ketentuan tersebut. Namun kewajiban tersebut hanya berlaku bagi orang yang mendengarkan azan Jumat daerah tetangga dari tempat tinggalnya.

Guru besar ulama mazhab Syafi’i, Syaikhul Islam Zakariyya al-Anshari mengatakan:

فإن كانوا أقل من أربعين أو أهل خيام مثلا ونداء بلد الجمعة يبلغهم لزمتهم وإن لم يبلغهم فلا لخبر الجمعة على من سمع النداء رواه أبو داود بإسناد ضعيف لكن ذكر له البيهقي شاهدا بإسناد جيد 

“Bila mereka kurang dari 40 orang atau statusnya penduduk perkemahan, sementara azan tempat berlangsungnya Jumat sampai pada mereka, maka wajib bagi mereka untuk berjumatan (ke daerah tetangga tersebut), bila tidak terdengar azan, maka tidak wajib Jumat. Karena hadits Nabi, Jumat wajib atas orang yang mendengar azan. Hadits riwayat Abu Daud dengan sanad yang lemah, namun Imam al-Baihaqi menyebutkan dalil pendukung bagi hadits tersebut dengan sanad yang baik (hasan). (Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, halaman 263)

Mengacu pada pertanyaan di atas, jarak tempuh tempat shalat Jumat yang mencapai 191 km atau lebih-lebih 309 km, jelas tidak dapat terdengar azan di tempat penanya. Maka, tidak wajib bagi penanya untuk melaksanakan Jumat menurut pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’i. Kewajibannya adalah shalat dhuhur seperti biasanya.

Apabila pelaksanaan shalat Jumat sebagaimana dijelaskan penanya dilakukan oleh orang mukim yang bertempat tinggal tidak tetap, maka hal tersebut menambah ketidakabsahan Jumatan menurut pendapat kuat mazhab Syafi’i.

Hanya saja, bila melihat pertimbangan pandangan lain, ada solusi tetap boleh melaksanakan Jumat dengan mengikuti pendapat lain yang mengesahkan shalat Jumat dilakukan kurang dari 40 orang. Dari sisi jumlah minimal jamaah shalat Jumat, ada tiga pendapat lemah dalam mazhab Syafi’i, yaitu 12,4 dan 3 orang. Tiga pendapat itu meski berstatus qaul qadim imam Syafi’i (qaul Imam Syafi’i saat beliau masih di Iraq, di mana mayoritas tidak bisa dipakai), namun pendapat-pendapat tersebut telah didukung dan dikukuhkan oleh para Ashab, sehingga bisa diamalkan.

Kamudian dari sisi status kependudukan, ada pendapat lain dari mazhab Syafi’i yang mengesahkan Jumat dilakukan oleh orang yang bermukim, meski tidak bertempat tinggal tetap (muqim ghairu mustauthin), mereka tidak hanya sah melaksanakan Jumat, namun juga mengesahkan bagi jumat mereka sendiri.

Pertimbangan-pertimbangan di atas sangat mungkin dilakukan dan bahkan merupakan langkah yang terbaik, karena ada anjuran untuk berupaya melaksanakan Jumat saat masih memungkinkan melaksanakannya dengan mengikuti pendapat-pendapat lain (meski tidak sah menurut pendapat yang kuat), selanjutnya setelah menjalankan Jumat, dianjurkan untuk mengulang shalat dhuhur dalam rangka berhati-hati (ihtiyath).

Syekh Sayyid Abu Bakr bin Syatha mengatakan:

والحاصل أن للشافعي رحمه الله في العدد الذي تنعقد به الجمعة أربعة أقوال قول معتمد وهو الجديد وهو كونه أربعين بالشروط المذكورة وثلاثة أقوال في المذهب القديم ضعيفة أحدها أربعة أحدهم الإمام والثاني ثلاثة أحدهم الإمام والثالث اثنا عشر أحدهم الإمام وعلى كل الأقوال تشترط فيهم الشروط المذكورة في الأربعين إذ علم ذلك فعلى العاقل الطالب ما عند الله أن لا يترك الجمعة ما تأتى فعلها على واحد من هذه الأقوال ولكن إذا لم تعلم الجمعة أنها متوفرة فيها الشروط على القول الأول وهو القول الجديد فيسن له إعادة الظهر بعدها احتياطا ولا يتركها فيصلي الظهر لأنه يفوته عليه خير كثير

“Simpulannya, Imam Syafi’i memiliki empat pendapat dalam hal batas minimal jumlah jamaah shalat Jumat. Pedapat yang kuat, yaitu qaul jadid, yaitu 40 orang dengan syarat-syarat yang disebutkan, dan tiga pendapat lemah menurut qaul qadim, pertama 4 orang salah satunya imam, kedua 3 orang salah satunya imam, ketiga 12 orang salah satunya imam. Masing-masing pendapat itu juga berlaku syarat-syarat yang telah disebutkan seperti halnya jamaah jumat 40 orang. Jika hal tersebut diketahui, wajib bagi orang berakal yang mengharap pahala di sisi Allah untuk tidak meninggalkan Jumat selama memungkinkan melakukannya dengan mengikuti satu dari beberapa pendapat ini, hanya saja bila tidak diketahui jumatan tersebut memenuhi syarat menurut qaul pertama yaitu qaul jadid, maka sunah mengulangi shalat dhuhur setelahnya karena berhati-hati, tidak sebaiknya meninggalkan jumat dengan mencukupkan shalat dhuhur karena seseorang akan kehilangan kebaikan yang banyak”. (Syekh Sayyid Abu Bakr bin Syatha, Jam’u al-Risalatain fi ta’addudi al-Jum’atain, halaman 23)

Berkaitan dengan jamaah muqim yang tidak bertempat tinggal menetap dapat mengesahkan Jumat, Syekh Abu Ishaq al-Syairazi mengatakan:

وهل تنعقد بمقيمين غير مستوطنين فيه وجهان قال أبو علي بن أبي هريرة تنعقد بهم لانه تلزمهم الجمعة فانعقدت بهم كالمستوطنين وقال أبو إسحاق لا تنعقد بهم لان النبي صلى الله عليه وسلم خرج إلى عرفات وكان معه أهل مكة وهم في ذلك الموضع مقيمون غير مستوطنين فلو انعقدت بهم الجمعة لأقامها

“Apakah dapat mengesahkan jumat orang mukim yang tidak bertempat tinggal menetap, ada dua pendapat. Abu Ali bin Abi Hurairah mengatakan sah, karena mereka sah melakukan jumat, sehingga mengesahkan pula jumat mereka sebagaimana mukim yang bertempat tinggal menetap. Dan Abu Ishaq mengatakan mereka tidak bisa mengesahkan, karena Nabi keluar menuju Arafah beserta penduduk Mekah, mereka mukim namun tidak bertempat tinggal menetap (dan kenyataannya Nabi tidak mendirikan Jumat), seandainya bisa mengesahkan, maka tentunya Nabi mendirikan Jumat bersama mereka. (Abu Ishaq al-Syirazi, al-Muhadzab, juz.1, halaman 110)

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Simpulannya, apa yang sudah dilakukan penanya dengan tetap menjalankan Jumat dan mengulang shalat dhuhur setelahnya merupakan langkah yang sudah sangat tepat dan terbaik sepanjang sesuai dengan penjelasan di atas (minimal dilakukan 3 orang). Semoga penanya dan segenap rekan Jumatnya selalu diberi keistiqamahan untuk menjalankannya.

M. Mubasysyarum Bih
Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar