Tas’ir
Bai’ Murabahah ‘Adiyah di Lembaga Berbasis Syariah
Akad bai’ murabahah
merupakan sebuah akad jual beli suatu barang dengan jalan menegaskan harga
belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai
laba (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid: 2/229). Syariat tidak menetapkan
bahwa apakah pembeli ini harus berupa seorang person atau yang diserupakan
dengan person seperti badan usaha atau instansi, baik formal atau informal.
Wilayah yang menjadi titik tekan syariat (wilayah ashliyyah) dalam kebolehan
pihak pelaku jual beli, hanyalah pada aspek kepemilikan, yaitu apakah suatu
barang merupakan milik langsung dari penjual atau tidak.
Adapun yang menjadi
pihak yang diberi kewenangan dalam jual beli, syariat membaginya sebagai
kewenangan langsung dan tidak langsung. Untuk kewenangan langsung berarti yang
melakukan akad adalah pihak penjual dan pembeli itu sendiri. Sementara pada
kewenangan tidak langsung (al-wilayah al-niyabiyyah) merupakan pihak wakil dari
pembeli atau wali atas pemilik barang/aset yang diperjualbelikan.
Terkait dengan aset
yang diperjualbelikan (mutsman/mabi’) merupakan imbangan dari harga pertukaran
dengan tsaman (uang). Hubungan antara penjual dengan aset yang diperjualbelikan
ini adakalanya langsung dimiliki oleh penjual kemudian ditawarkan kepada calon
pembelinya (bai’ al-murabahah al-‘adiyah), namun adakalanya masih berupa aset
pesanan calon pembeli dengan janji pembeli akan membelinya setelah barang
tersebut ada (bai’ al-murabahah li al-amiri bi al-syira’). Bai’ murabahah li
al-amiri bi al-syira’, dicirikan sebagai transaksi jual beli di mana seorang
nasabah datang kepada pihak bank untuk membelikan sebuah komoditas dengan
kriteria tertentu, dan ia berjanji akan membeli komoditas/barang tersebut
secara murabahah, yakni sesuai harga pokok pembelian (ra’su al-maal) ditambah
dengan tingkat keuntungan yang disepakati kedua pihak, dan nasabah akan
melakukan pembayaran secara cicilan berkala (taqshith) sesuai dengan kemampuan
finansial yang dimiliki.
Untuk transaksi yang
kedua ini, para ulama’ berbeda pendapat mengenai kebolehannya. Ulama’ yang
menyatakan kebolehannya, antara lain Sami Hamud, Yusuf Qardhawi, Ali Ahmad
Salus, Shadiq Muhammad Amin, Ibrahim Fadhil, dan lainnya. Sementara ulama’ yang
menyatakan keharamannya, antara lain: Muhammad Sulaiman al-Asyqar, Bakr bin
Abdullah Abu Zaid, Rafiq al-Mishri dan lainnya. Alasan utama dari ulama’ yang
mengharamkan adalah karena pada dasarnya akad tersebut dianggap hanya sebagai
hilahmuharramah untuk menghindari bunga. Adapun ulama’ yang membolehkan
praktiknya, mensyaratkan adanya instrumen yang kelak akan di tulisan-tulisan
berikutnya.
Murabahah ‘adiyah, ia
merupakan sejenis transaksi yang sudah ada sejak zaman Nabi (murabahah ashly)
dan sudah banyak dibahas di berbagai kitab fiqih klasik. Murabahah inicukup populer
dikenaldalam transaksi perdagangan (tijarah). Ia dilakukan dengan jalan penjual
menyampaikan apa adanya soal harga pokok suatu aset kepada calon pembeli,
menurut asal ia membeli, kemudian turut serta disampaikan besar keuntungan
ma’lum yang diambil oleh penjual kepada pembeli. Ciri khas dari akad murabahah
‘adiyah ini adalah, penjual mengadakan aset (barang dagangan) dengan tanpa
memperhatikan apakah nantinya ada yang akan membeli atau tidak. Dengan
demikian, barang yang dijual lebih dahulu tersedia sebelum nasabah datang
membeli asetnya. Aset yang disediakan disesuaikan dengan jenis barang yang
banyak dibutuhkan oleh nasabah. Seperti misalnya, Lembaga Keuangan Syariah
(LKS) yang bergerak menyediakan kebutuhan bagi petani.
Ciri lain yang nampak
menonjol adalah apabila barang yang dijual sudah mulai menipis, maka penjual
akan segera melakukan pengadaan kembali untuk mengisi kekosongan asetnya.
Lembaga keuangan syariah yang memiliki skema murabahah seperti ini biasanya
lebih menyerupai toko atau minimarket.
Melihat ciri akad
murabahah ‘adiyah di atas, maka metode tas’ir (penentuan harga) adalah lebih
banyak ditentukan oleh LKS itu sendiri. Mereka biasanya menyediakan barang
dengan harga yang diambil dari harga pasaran (ra’su al-maal) ditambah laba
(ribhun). Cara pembayaran bisa dilakukan dengan tunai (haalan) dan juga bisa
dilakukan dengan jalan angsuran(muajjalan). Catatan yang perlu diperhatikan
adalah, bahwa sebelum nasabah meninggalkan majelis akad, penjual dan pembeli
harus sudah menentukan apakah barang dibeli secara tunai ataukahangsuran
(ajil).
Untuk jual beli yang
dilakukan dengan angsuran, maka akad jual beli ini sering dinamakan dengan bai’
bi al-tsamani al-ajil (deferred payment sale), yaitu jual beli dengan harga
barang dibayar tunda. Karena umumnya murabahah lebih sering digunakan untuk
jenis pembiayaan jangka pendek (kurang dari satu tahun) atau pembiayaan modal
kerja, maka pihak Lembaga Keuangan Syariah umumnya mengklasifikasikan
pembiayaannya menjadi dua, yaitu:
Pertama, untuk
pembiayaan jangka pendek, LKS memberitahukan besarnya keuntungan (margin) yang
harus dibayar oleh nasabah.
Kedua, Untuk
pembiayaan modal kerja dan pembiayaan jangka panjang (di atas satu tahun),
biasanya LKS menerapkan kebijakan tidak memberitahukan berapa margin keuntungan
LKS yang harus ditanggung oleh nasabah. Di sinilah kemudian terjadi perbedaan
pendapat di kalangan para sarjana Islam modern.
Terhadap pembiayaan
model pertama, mayoritas ulama menyatakan sepakat kebolehannya. Karena ciri
utama dari akad bai’ murabahah adalah “margin keuntungan yang diketahui.”Unsur
mengetahuinya ini bisa dilakukan dengan jalan negosiasi atau memang pihak LKS
memberitahukan kepada pelanggan, kemudian pelanggan ridla terhadap besarnya
ribhun tersebut. Inilah yang menyebabkan pihak LKS tidak begitu kesulitan dalam
melakukan transaksi murabahah jangka pendek ini, karena mudahnya penetapan
harga aset (tas’ir) mudah ditentukan.
Adapun terhadap
pembiayaan model yang kedua, yakni pembiayaan jangka panjang yang umumnya
dipakai untuk kredit rumah, mobil, modal kerja, dan lain sebagainya, letak akad
murabahah yang diperselisihkan adalah “faktor ketidaktahuan margin keuntungan
yang pasti” oleh nasabah. Perlu diketahui bahwa di beberapa negara untuk akad
bai’ murabahahbi al-tsamani al-ajil (BBA) sering disebut sebagai bai’
muajjalan. Maka dari itu, untuk mengenalinya, apakah suatu akad ditetapkan
dengan bai’ murabahah ‘adiyah atau bai’ murabahah bi al-tsamani al-ajil,
seorang nasabah “harus” mengenalinya berdasarkan uraian yang disampaikan oleh
perbankan terlebih dahulu, dan ini yang menjadi faktor tersulit dari seorang
nasabah.
Status hukum
kebolehan terhadap bai’ murabahahbi al-tsamani al-ajil ini juga diperselisihkan
oleh ulama’ kontemporer. Alasan penolakan utamanya adalah terdapat unsur hilah
dari riba dan menyamakan bai’ bi al-tsamani al-ajil sebagai bai’ u
al-inah.Penjelasan tentang konsep bai’ u al-inah bisa dilihat pada tulisan
sebelumnya. Selain itu, pada praktik bai’ bi al-tsamani al-ajil terdapat akad
ganda (hybrid transaction). Konsep akad ganda atau biasa disebut akad
murakkabah adalah kerap menjadi sorotan di kalangan fuqaha’.
Ulama yang
membolehkan transaksi bai’ bi al-tsamani al-ajil, adalah dari kalangan
Syafi’iyah dengan syarat adanya instrumen yang di setiap tahapannya harus
berlangsung sah. Fatwa DSN MUI No. 111/DSN-MUI/IX/2017 juga menetapkan
kebolehannya dengan catatan instrumen tersebut. Praktik dari bai’ bi al-tsamani
al-ajil ini bisa diikuti pada contoh kasus transaksi antara pembeli dengan
developer perumahan yang mana akad jual beli akan ditentukan kembali setelah
rumah yang dipesan oleh pembeli selesai dibangun oleh pihak pengembang.
Bagaimana liku-liku
bai’ bi al-tsamani al-ajil ini dibolehkan oleh syara’ dan bagaimana metode
tas’ir-nya serta dimana letak kontradiksinya di kalangan fuqaha’, insyaallah
akan diuraikan dalam tulisan-tulisan berikutnya. []
Muhammad Syamsudin,
Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar