Etika
Menyambut Hari Jumat yang Mulia
Tulisan ini akan
menyampaikan hal-hal yang dianjurkan oleh Imam Al-Ghazali untuk kita lakukan
dalam hari Jumat. Beliau memulai dengan menyamakan persepsi, bahwa hari Jumat
adalah sayyidul ayyam (raja dari hari-hari lain) dan ‘idul mu’minin (hari raya
bagi orang yang beriman) bagi orang Islam. Di dalam hari Jumat ada suatu waktu
spesial yang dirahasiakan, yang kalau ada seorang muslim meminta sesuatu pada
Allah di waktu spesial itu, Allah pasti akan mengabulkan permintaannya.
Bagaimana kita bisa
mendapatkan waktu itu?. Mengingat waktu itu dirahasiakan oleh Allah, maka yang
bisa kita lakukan adalah melakukan amal-amal shaleh selama hari Jumat, bahkan
sejak Kamis petang.
Dalam beberapa
keterangan ulama, hari Kamis petang (atau yang bisa disebut malam Jumat oleh
orang Indonesia) memiliki keutamaan yang sama dengan hari Jumat. Oleh karena
itu, kita bisa mulai memperbanyak tasbih, istighfar, dan melakukan dzikir lain
sejak waktu tersebut. Masih dalam rangkaian memuliakan hari Jumat dan berusaha
mendapatkan waktu spesial tadi, kita dianjurkan untuk berpuasa pada hari Jumat.
Namun, karena ada hadits yang menyampaikan larangan berpuasa hanya pada hari
Jumat, maka kita bisa menambahkan puasa pada hari sebelumnya (Kamis) atau
sesudahnya (Sabtu). Akan lebih baik lagi jika kita berpuasa di tiga hari
tersebut; Kamis, Jumat, dan Sabtu.
Hal lain yang juga
dianjurkan oleh Imam Al-Ghazali untuk kita lakukan adalah menyambut hari Jumat
dengan membersihkan diri. Beliau menambahkan keterangan bahwa baju putih adalah
baju yang paling disukai oleh Allah. Terlebih jika kita menggunakan wewangian
dan melakukan berbagai cara membersihkan diri; mencukur rambut, memotong kuku,
bersiwak, dan lain sebagainya. Setelah memantaskan diri secara fisik, kita juga
dianjurkan untuk bergegas ke masjid dalam keadaan tenang.
Untuk menegaskan poin
ini beliau menyampaikan sebuah hadis yang merekam sabda Rasulullah SAW:
“Siapapun yang mendatangi shalat Jumat di waktu yang pertama, ia akan dicatat
seolah berkurban unta. Jika di waktu yang kedua, ia berkurban sapi. Jika di
waktu ketiga, ia berkurban kambing. Jika di waktu keempat, ia berkurban ayam.
Jika di waktu kelima, ia seperti bersedekah telur. Setelah itu, saat imam
berjalan menuju mimbar, malaikat akan menutup buku dan menarik alat tulis
mereka, untuk kemudian duduk di dekat mimbar dan mendengarkan dzikir”. Seorang
ulama bahkan mengatakan bahwa jauh-dekatnya seseorang ketika melihat Allah di
surga nanti ditentukan oleh bergegas tidaknya ia untuk mendatangi shalat Jumat.
Tidak cukup pada poin
ini, Imam al-Ghazali juga memberikan penjelasan tentang cara memilih tempat
duduk dan melewati orang yang telah duduk di masjid terlebih dahulu. Beliau
menganjurkan untuk memillih tempat duduk yang sekiranya tidak menjadi tempat
lalu lalang jama’ah. Ini berkaitan dengan anjuran beliau agar orang yang baru
datang tidak melangkahi leher ketika harus melewati orang lain untuk mencari
tempat duduk.
Setelah mendapatkan
tempat duduk yang layak, kita dianjurkan untuk shalat tahiyyatal masjid, empat
rakaat. Apakah beliau memberikan anjuran tentang surat yang sebaiknya dibaca di
tiap rakaatnya? Beliau bahkan memberi tiga pilihan. Pilihan pertama adalah
membaca surat Al-Ikhlas lima puluh (50) kali di tiap rakaat. Anjuran ini
berhubungan dengan hadits yang mengatakan bahwa “seseorang yang melakukan hal
itu (membaca Al-Ikhlas lima puluh kali di tiap raka’at shalat tahiyyatal masjid)
pasti akan melihat atau diperlihatkan jatahnya di surga sebelum ia meinggal”.
Pilihan kedua adalah
membaca surat Al-An’am, Al-Kahf, Taha, dan Yasin secara berurutan di raka’at
pertama, kedua, ketiga, dan keempat. Pilihan ketiga adalah Yasin, Alif Lam Mim
Sajdah, Ha Mim Dukhan, dan Al-Mulk, juga berurutan. Selain itu, semua surat ini
(Al-Ikhlas, Al-An’am, Al-Kahf, Taha, Yasin, Alif Lam Mim Sajdah, Ha Mim Dukhan,
dan Al-Mulk) juga dianjurkan untuk dibaca pada malam Jumat.
Hal yang tidak kalah
penting untuk disampaikan adalah bahwa cara yang baik untuk memperingatkan
orang lain agar diam saat pelaksanaan ibadah Shalat Jumat adalah dengan
isyarat. Ini karena hanya dengan mengatakan “diamlah!” kita sudah dianggap
mengucapkan sesuatu dan oleh karenanya termasuk orang-orang yang lagha (yang
tidak mendapatkan pahala shalat Jumat dengan sempurna).
Setelah selesai
shalat, sebelum kita mengucapkan satu patah kata pun, kita dianjurkan untuk
membaca Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan Al-Nas masing-masing tujuh kali.
Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa orang yang melakukan demikian akan dijaga oleh
Allah dari kesempatan untuk berbuat dosa sampai hari Jumat di pekan
selanjutnya. Kemudian, kita dianjurkan membaca doa : "Allahumma ya ghaniy
ya hamid, ya mubdi’ ya mu’id, ya rahim ya wadud, aghnina bi halalik ‘an
haramik, wa bi ta’atik ‘an ma’siyatik, wa bi fadlik ‘amman siwak". Setelah
itu kita melakukan shalat sunnah dua, empat, atau enam raka’at dengan sekali
salam setiap dua raka’at.
Imam al-Ghazali juga
mengingatkan agar kita hanya mengikuti kelompok yang bisa memberi kita ilmu
yang bermanfa’at. Menarik untuk dicatat bahwa Imam Al-Ghazali memaknai ilmu
yang bermanfaat sebagai ilmu yang membuat kita lebih takut pada Allah dan lebih
bisa mengurangi ketergantungan pada dunia. Jika ilmu yang ditawarkan pada kita
malah membawa kita pada posisi yang sebaliknya, maka ketidaktahuan kita akan
ilmu tersebut lebih baik.
Melengkapi semua ini,
kita juga dianjurkan untuk bersedekah semampu kita dan memperbanyak membaca Al
Qur’an. Merangkum semuanya, Imam Al-Ghazali menganjurkan kita untuk menjadikan
hari Jumat ini hari yang khusus kita dedikasikan untuk akhirat, dengan harapan
ia bisa menjadi kaffarah, pengganti, kekhilafan kita di hari-hari lain. []
Muhammad Nur Hayid,
Pengurus LDNU PBNU dan Pengasuh Pesantren Skill Jagakarsa, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar