Kiblat di Tangan Para Tiran (II)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Sudah sekitar 40 tahun saya tidak percaya lagi kepada sistem
kerajaan, khususnya yang berkuasa di negeri Muslim, sekalipun ulama masih saja
mendukungnya, sebuah dukungan yang tidak bisa dipisahkan dari kepentingan
duniawi. Kritik Iqbal terhadap raja-raja Muslim puluhan tahun yang lalu, tetap
menyengat sampai hari ini: “Tatapan raja-raja Muslim masa lampau semata-mata
pada kepentingan dinasti mereka. Selama kepentingan itu terjamin, mereka tanpa
ragu menjual negeri-negeri mereka kepada pihak penawar yang paling tinggi.”
(Lihat: Annnemarie Schimmel, Gabriel’s
Wing: A Study into the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal.
Leiden: E.J. Brill, 1963, hlm. 178).
Kelakuan para raja Muslim kontemporer ini tidak banyak bedanya
dengan pendahulu mereka yang haus kekuasaan selain bergumul dengan pola hidup
mewah dengan biaya negaranya masing-masing, termasuk sembilan raja di Malaysia.
Raja-raja Arab Saudi sepenuhnya berada dalam kategori Iqbal itu.
Jika ada di antara mereka yang sedikit cerah, mungkin hanya Raja
Faisal bin ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdurrahaman al-Sa’ud (1964-1975), tetapi dibunuh
oleh keponakannya Faisal bin Musaid pada 25 Maret 1975 yang baru saja pulang
dari Amerika. Raja Faisal dikenal sebagai pemimpin visioner yang tidak selalu
taat kepada Amerika, menyimpang dari para pendahulunya. Juga sikap
anti-Zionismenya sangat kuat dan berani. Sangat berbeda dengan penguasa
sekarang, apalagi dengan kelakuan MBS.
Jika disandingkan dengan kritik alm Prof DR Abdullah Mohammad
Sindi (warga Saudi kelahiran Makkah, 1944) terhadap dinasti Saud yang sangat
mendasar, tajam, dan argumentatif, kritik Khashoggi terhadap kebijakan MBS,
tidak ada apa-apanya, hanya ecek-ecek,
tetapi mengapa harus dibunuh? Sindi sebagai pakar politik dan hubungan
internasional sebelum wafat beberapa tahun yang silam masih diberi peluang
mengajar pada beberapa univeritas di Arab Saudi, seperti di Jeddah dan Riyadh.
Dia diberi kebebasan dan tidak dibunuh. Artinya, rezim sebelum MBS lebih
toleran dibandingkan pangeran yang ugal-ugalan ini, tetapi mengapa ayahnya Raja
Salman diam saja?
Saya harus menyarankan kepada pembaca untuk menyimak sendiri
artikel Sindi, tahun 2004 yang masih segar dan releven tentang rezim Saudi
dalam sumber berikut ini: “Britain, the Rise of Wahhabism, and the House of
Saud,” (dalam Kana’an Bulletin, Vol. IV, No. 361, 16 Jan. 2004). Sebagai warga
Saudi, Sindi telah membidik jantung kerajaan dengan tembakan analisis yang
sungguh tepat sasaran. Sekali lagi, mohon dibuka internet untuk membaca artikel
penting ini secara utuh!
Untuk sekadar memancing minat pembaca, saya terjemahkan alinea
terakhir artikel Sindi itu: “Ikatan yang erat Wahhabisme dengan dan dukungan
dari Dinasti Saud, yang secara luas telah diakui menjadi salah satu kelas
penguasa di dunia yang paling brutal, korup, anti-demokrasi, dan feodal,
menjadikan akuannya sebagai ‘mewakili bentuk Islam yang terbaik.’ Ini telah
jadi sasaran cemooh dan ejekan Muslim. Sekarang banyak orang Arab yang terdidik
dan kaum Muslimin merasa bahwa Wahhabisme memberikan Islam sebuah nama yang
buruk, menggambarkan sebuah belenggu reaksioner yang menghalangi orang Arab dan
Muslim untuk maju. Sungguh, di kalangan sarjana-sarjana Sunni selama 250 tahun
yang silam, baik yang konservatif maupun yang liberal, di seluruh dunia Muslim
yang membentang dari Maroko sampai ke Indonesia, sebagaimana juga golongan
Syi’ah dan Sufi, telah menolak Wahhabisme sejak kelahirannya sebagai suatu
perubahan bentuk Islam yang mengerikan.”
Khashoggi yang malang itu tidak pernah menulis artikel yang
sedahsyat ini. Dia masih sangat Saudian, mencintai kerajaannya dengan sepenuh
hati, tetapi harus dibayarnya dengan nyawa. Apakah ada kebiadaban yang lebih
kumuh dari tragedi ini?
Mata dunia tak diragukan lagi tertuju ke episentrum dari kejahatan
ini terpusat pada kekuatan pengawal Ka’bah yang menjadi arsitek utamanya. Para
eksekutor yang sengaja diterbangkan dari Riyadh tidak lebih dan tidak kurang
hanyalah bertindak sebagai pesuruh belaka.
Akhirnya, dunia Muslim tidak boleh lagi tertipu oleh propaganda
Wahhabisme yang telah semakin mengacaukan situasi yang memang sudah telanjur
kacau. Kesaksian seorang Prof Abdullah Mohammad Sindi harus dipertimbangkan
untuk meneropong corak Islam dalam kungkungan Wahhabisme yang aneh dan
menyimpang itu. Atau dalam istilah Sindi: “a horrible deformation of Islam.”
Dan khusus untuk Saudi, setidaknya untuk masa transisi, kita berharap akan
muncul seorang pemimpin seperti Raja Faisal bin ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdurrahman
al-Saud, jika kerajaan itu masih bisa bertahan. []
REPUBLIKA, 13 November 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar