Maulid yang Bidah Menurut
Sayyid M Alwi Al-Maliki
Peringatan maulid tidak bisa disebut bidah
atau sunnah. Ia merupakan sarana untuk mengenang dan mengenal pribadi Nabi
Muhammad SAW dalam segala sisinya yang dapat menjadi pelajaran bagi umatnya.
Oleh karena itu, peringatan maulid sering kali disisipi dengan nilai-nilai
luhur yang dipraktikkan oleh Rasulullah SAW agar dapat diteladani masyarakat.
Peringatan maulid berada di luar kategori
bidah atau sunnah karena ia hanya tradisi atau adat. Hanya saja memang
peringatan maulid memang mengandung banyak manfaat bagi masyarakat sebagai
momentum yang perlu mendapat perhatian lebih untuk mengenang Rasulullah SAW.
Peringatan maulid ini, kata Sayyid Muhammad
bin Alwi Al-Maliki, bisa berstatus bidah bukan karena praktik ini terbilang
baru, tetapi karena keyakinan kita untuk mengenang dan menyebut Rasulullah SAW
pada waktu tertentu. Padahal, kenangan dan sebutan atas Rasulullah SAW harus
dilakukan setiap waktu, bahkan dalam setiap embusan nafas seorang Muslim.
والحاصل
أننا لا نقول بسنية الاحتفال بالمولد المذكور في ليلة مخصوصة بل من اعتقد ذلك فقد
ابتدع في الدين لأن ذكره صلى الله عليه وسلم والتعلق به يجب أن يكون في كل حين
ويجب أن تملأ به النفوس
Artinya, “Simpulannya, kami tidak mengatakan
kesunnahan peringatan maulid tersebut pada malam tertentu. Bahkan siapa saja
yang meyakini demikian, maka ia terjatuh pada bidah dalam Islam. Pasalnya,
ingatan dan kaitan diri kita terhadap Nabi Muhammad SAW wajib dilakukan pada
setiap waktu dan wajib terisi nafas kita olehnya,” (Lihat Sayyid Muhammad bin
Alwi Al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahhah, Surabaya, Haiatus Shafwah
Al-Malikiyyah, tanpa catatan tahun, halaman 341).
Keyakinan bahwa sebutan atau peringatan atas
Rasulullah SAW hanya berlaku pada hari atau bulan tertentu jelas masuk dalam
kategori bidah. Oleh karena itu, keyakinan tersebut harus dibuang jauh agar
kita tidak membatasi diri untuk menyebut dan mengaitkan diri dengan Rasulullah
SAW pada waktu-waktu tertentu saja.
Tetapi tentu saja semangat peringatan,
kenangan, atau sebutan terhadap Rasulullah SAW menguat pada bulan kelahiran
Rasulullah SAW karena perasaan kerinduan masyarakat yang meluap dan kemurahan
hati mereka pada saat itu.
نعم
إن في شهر ولادته يكون الداعي أقوى لإقبال الناس واجتماعهم وشعورهم الفياض بارتباط
الزمان بعضه ببعض فيتذكرون بالحاضر الماضي وينتقلون من الشاهد إلى الغائب
Artinya, “Tetapi pada bulan kelahiran Nabi
Muhammad SAW, dorongan untuk mengingat dan mengaitkan diri pada Rasulullah SAW
lebih kuat karena kedatangan, kumpulan, dan limpahan rasa murah hati mereka
terkait satu waktu dengan yang lain sehingga mereka mengingat orang yang hadir
di masa lalu dan perhatian mereka beralih dari yang hadir kepada sosok
yang telah tiada,” (Lihat Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Mafahim Yajibu an
Tushahhah, Surabaya, Haiatus Shafwah Al-Malikiyyah, tanpa catatan tahun,
halaman 341).
Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki ingin
mengatakan bahwa umat Islam tidak boleh “jauh” dari Rasulullah. Mereka harus
menghadirkan kenangan atas akhlak Rasulullah dan membasahi mulutnya dengan
shalawat setiap saat. Tetapi pada waktu-waktu tertentu seperti pada bulan
maulid masyarakat perlu mengenang Rasulullah lebih intensif.
Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki tidak
bermaksud untuk menyalahkan umat Islam yang mengadakan peringatan maulid pada
Bulan Rabi'ul Awwal. Ia justru mengapresiasi tradisi peringatan maulid di
masyarakat pada bulan Rabi’ul Awwal. Meski mengingat dan bershalawat pada bulan
dan hari apa saja, masyarakat meningkatkan kedekatannya kepada Nabi Muhammad
SAW pada Rabi’ul Awwal.
Pernyataan Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki
tidak berlebihan. Pasalnya, Rasulullah SAW sendiri menganjurkan kita untuk
lebih banyak bershalawat pada hari Jumat, meski setiap hari kita juga
dianjurkan untuk bershalawat. Wallahu a‘lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar