Cara Memahami Hadits-hadits
yang Bertentangan
Dalam kajian hadits, seseorang akan sangat
banyak membaca riwayat dalam satu kitab. Untuk satu tema saja, bisa terdapat
sekian banyak lafal hadits yang diriwayatkan oleh berbagai perawi hadits. Belum
lagi dengan hadits yang ditemukan dalam kitab lainnya.
Ketika membaca kitab-kitab hadits, seseorang
bisa bingung ketika ada hadits-hadits yang saling bertentangan. Sebagai contoh,
hadits tentang larangan melakukan ziarah kubur bagi perempuan. Dalam beberapa
hadits disebutkan bahwa Nabi melaknat perempuan yang berziarah kubur, sebagai
contoh:
عَنْ
ابن عباس ،أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَائراتِ
القُبُور
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa
Nabi Muhammad SAW melaknat perempuan yang berziarah kubur.”
Hadits tersebut diriwayatkan dalam Sunan
an-Nasa’i dan Sunan Abu Dawud melalui sahabat Abdullah bin Abbas. Selain itu
ada pula riwayat lain dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin
Hanbal, Imam at Tirmidzi dan beberapa ulama lainnya.
Jika hanya membaca riwayat hadits tersebut,
seseorang bisa sampai kepada kesimpulan bahwa ziarah kubur itu terlarang bagi
perempuan. Inilah yang menjadi kesulitan dari para pelajar yang hanya membaca
hadits tertentu tanpa mengetahui redaksi dari riwayat lainnya. Padahal terkait
larangan ziarah kubur bagi perempuan itu, banyak hadits yang menyatakan
kebolehannya.
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا ، فَإِنَّهَا
تُذَكِّرُكُمُ الْمَوْتُ
Artinya: Dari Anas bin Malik berkata bahwa
Rasulullah Saw. bersabda: dulu aku pernah melarang kalian berziarah kubur, maka
sekarang berziarahlah, karena ia dapat mengingatkan akan kematian.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin
Hanbal dan Imam al Hakim. Hadits ini menyatakan kebolehan ziarah kubur, baik
untuk perempuan maupun laki-laki. Jika sebelumnya Nabi menyebutkan pernah
melarang, namun sekarang sudah dibolehkan.
Dari kedua hadits tersebut, para ulama
menyimpulkannya sebagai hadits yang shahih, sehingga bisa menjadi dasar hukum.
Nah, bagaimana jika ada hadits-hadits yang bertentangan seperti itu?
Para ahli hadits menyebutkan cara memahami
hadits-hadits tersebut adalah ilmu mukhtalaful hadits, atau ilmu tentang
hadits-hadits yang saling bertentangan. Terkait cara dan contoh dalam ilmu ini,
Anda bisa merujuk karya terkait hadits-hadits bertentangan seperti Ikhtilaful
Hadits karya Imam as-Syafi’i dan Ta’wil Mukhtalafil Hadits karya Imam Ibnu
Qutaibah.
Ulama menyebutkan beberapa cara untuk
mengurainya. Berikut penjelasannya:
Pertama, mengumpulkan riwayat (al-jam’u).
Langkah ini diupayakan untuk bisa mengurai masalah perbedaan lafal yang ada,
apalagi riwayat-riwayat yang bertentangan ini status hukumnya termasuk hadits
yang sahih. Suatu hadits akan dikaji dan dibandingkan satu sama lain, baik dari
segi kebahasaan maupun kaitannya dengan hadits lainnya.
Saat mempelajari hadits, maka sebisa mungkin
untuk tidak berkesimpulan dahulu sebelum menemukan hadits lain yang ternyata
memberikan riwayat lain yang memiliki maksud berbeda dari hadits tersebut.
Informasi tunggal, dalam hadits yang sangat begitu banyaknya, kurang baik jika
dipahami sepotong-potong, tanpa mempertimbangkan adanya hadits-hadits lain.
Kedua, mengetahui kemungkinan nasikh dan
mansukh dari suatu hadits. Menurut ulama, semisal larangan Rasulullah SAW
terkait satu hal bisa dibolehkan jika ada keterangan baru yang menyebutkan
kebolehannya.
Oleh sebagian ulama, hadits di atas tentang
larangan ziarah kubur di atas termasuk dalam nasikh dan mansukh hadits. Selain
melalui pernyataan Nabi sendiri, keterangan nasikh dan mansukh ini bisa
diketahui dari keterangan sahabat, catatan sejarah atau ijma’ ulama terkait hal
itu.
Ketiga, melakukan tarjih riwayat hadits. Hadits
satu dan yang lain, selagi masih bisa diupayakan untuk membandingkan tingkat
kesahihan, atau membandingkan riwayat satu dengan yang lain dalam lafalnya. Hal
ini tentu dalam tingkatan yang dilakukan para ahli hadits yang sangat mumpuni.
Ketika para ulama tidak menemukan jalan
keluar dari tiga metode di atas, para ulama mengambil sikap untuk tidak
memberikan kesimpulan terlebih dahulu, atau tawaqquf, sampai ada keterangan
lebih lanjut dari orang yang sudah meneliti pertentangan tersebut. Tapi hal ini
konon jarang terjadi.
Mengetahui bahwa ternyata dalam periwayatan
hadits banyak sekali adanya pertentangan, perlu dipahami bahwa dalam belajar
agama, utamanya hadits, tidak dapat hanya sekedar mengenal satu hadits saja,
melainkan juga harus mengetahui lainnya.
Dengan demikian, kesimpulan hukum agama
tentang satu hal tidak diambil terburu-buru, apalagi didakwahkan seakan-akan
agama menjadi kaku. Ulama terdahulu telah mengajarkan kepada kita, bahwa dalam
mempelajari agama, tidak bisa hanya mengandalkan informasi tunggal yang tidak
dicermati benar-benar. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar