Syarat dan Urutan yang
Berhak Jadi Wali Nikah
Keberadaan wali merupakan satu dari lima
rukun nikah. Wali sendiri ialah sebutan untuk pihak lelaki dalam keluarga atau
lainnya yang bertugas mengawasi keadaan atau kondisi seorang perempuan,
khususnya dalam bab nikah.
Definisi tersebut senada dengan pernyataan
Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha, Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab
al-Imam al-Syâfi’i (Surabaya: Al-Fithrah, 2000), juz IV, hal. 60:
الولاية
في اللغة: تأتي بمعنى المحبة والنصرة. …والولاية في الشرع: هي تنفيذ القول على
الغير، والإشراف على شؤونه
“Perwalian secara bahasa bermakna cinta atau
pertolongan…perwalian secara syariat ialah menyerahkan perkataan pada orang
lain dan pengawasan atas keadaannya”
Mengenai siapa saja yang diprioritaskan
menjadi wali, Imam Abu Suja’ dalam Matan al-Ghâyah wa Taqrîb (Surabaya:
Al-Hidayah, 2000), hal. 31, menjelaskannya sebagai berikut:
وأولى
الولاة الأب ثم الجد أبو الأب ثم الأخ للأب والأم ثم الأخ للأب ثم ابن الأخ للأب
والأم ثم ابن الأخ للأب ثم العم ثم ابنه على هذا الترتيب فإذا عدمت العصبات
ف…الحاكم
“Wali paling utama ialah ayah, kakek (ayahnya
ayah), saudara lelaki seayah seibu (kandung), saudara lelaki seayah, anak
lelaki saudara lelaki seayah seibu (kandung), anak lelaki saudara lelaki
seayah, paman dari pihak ayah, dan anak lelaki paman dari pihak ayah.
Demikianlah urutannya. Apabila tidak ada waris ‘ashabah, maka…hakim.”
Dari penjelasan di atas, bisa kita
pahami bahwa yang berhak menjadi wali adalah para pewaris ‘ashabah dari
calon mempelai wanita. Urutan penyebutan dalam keterangan Abu Sujak itu
merupakan urutan prioritas yang berhak menjadi wali nikah. Urutannya adalah:
1.
Ayah
2.
Kakek. Kakek yang dimaksud dalam hal ini ialah kakek dari pihak ayah.
3.
Saudara lelaki kandung. Yakni saudara lelaki mempelai wanita yang tunggal ayah
dan ibu. Ia bisa merupakan kakak maupun adik.
4.
Saudara lelaki seayah. Yakni saudara lelaki mempelai wanita yang tunggal ayah
namun beda ibu.
5.
Paman. Paman yang dimaksud di sini ialah saudara lelaki ayah. Baik yang lebih
tua dari ayah (jawa: pak de), ataupun lebih muda (jawa: pak lik), dengan
memprioritaskan yang paling tertua diantara mereka.
6.
Anak lelaki paman dari pihak ayah.
Jika ternyata keenam pihak keluarga di
atas tidak ada, maka alternatif terakhir yang menjadi wali ialah wali hakim.
Syarat Wali dan Saksi
Tidak sembarang orang bisa menjadi wali dan
saksi dalam pernikahan. Ada beberapa persyaratan tertentu yang harus dipenuhi.
Dikutip pula dari Imam Abu Suja’ dalam Matan al-Ghâyah wa Taqrîb:
ويفتقر
الولي والشاهدان إلى ستة شرائط: الإسلام والبلوغ والعقل والحرية والذكورة والعدالة
“Wali dan dua saksi membutuhkan enam
persyaratan: islam, baligh, berakal, merdeka, lelaki, dan adil”.
Dari pemaparan di atas, bisa kita pahami
bahwa wali dan dua orang saksi dalam pernikahan harus memiliki 6 persyaratan
sebagai berikut:
Pertama, Islam. Seorang wali
ataupun saksi nikah harus beragama islam. Dengan demikian apabila wali tersebut
kafir, maka pernikahan tidak akan sah, kecuali dalam beberapa kasus yang akan
diterangkan di tempat terpisah.
Kedua, baligh. Arti
mendasar wali ialah seseorang yang dipasrahi urusan orang lain, yang dalam hal
ini adalah perempuan yang akan menikah. Adalah tidak mungkin menyerahkan urusan
tersebut pada anak yang masih kecil dan belum baligh. Oleh karena itu syariat
mewajibkan wali dan dua orang saksi dalam pernikahan haruslah orang yang sudah
baligh
Ketiga, berakal. Berakal di
sini pengertiannya sama seperti kriteria “berakal” dalam bab lainnya semisal
bab shalat.
Keempat, lelaki. Dengan
persyaratan ini, maka pernikahan dianggap tidak sah apabila wali atau saksi
adalah perempuan atau seorang waria yang berkelamin ganda.
Kelima, adil. Adil yang
dimaksud di sini ialah sifat seorang muslim yang menjaga diri dan martabatnya.
Kebalikan dari adil ialah fasiq.
Demikian, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam
bi shawab.
[]
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar