Kasus ‘Mark-Up’ Harga Jual
Barang: Pembuka Memahami Tas’ir Bai’ Murabahah
Tulisan ini dimaksudkan untuk mengurai
tindakan bank syariah dalam menentukan harga dasar barang murabahah ketika
mulai terjadi transaksi antara nasabah dan bank. Ilustrasi awal memahaminya,
penulis sajikan dalam bentuk uraian kasus klasik fiqih yang umum terjadi di
masyarakat.
Pak Ahmad membutuhkan air conditioner (AC)
untuk rumahnya yang baru dibangun. Ia lalu mendatangi seorang pedagang
elektronik properti rumah tangga. Saat terjadi dialog, Pak Ahmad
menyebut-nyebut sebuah merk terkenal produk AC, karena keluarganya menghendaki
AC dengan merk tersebut. Jika pedagang itu tidak punya, ia memutuskan lebih
baik mencari pedagang lain yang menjual AC tersebut. Memanfaatkan kondisi Pak Ahmad
yang sedemikian itu, insting pedagang yang didatangi Pak Ahmad tadi mulai
bermain. Jarang-jarang ada konsumen membeli barang elektronik seperti itu.
Paling-paling dua bulan sekali, itu pun belum pasti. Akhirnya, si pedagang
memutuskan menjual AC tidak dengan keuntungan sebagaimana mestinya ia mengambil
untung. Jika biasanya ia mengambil untung 15 persen dari total harga barang
yang dijual, namun memanfaatkan situasi sangat butuhnya Pak Ahmad, ia
menaikkan keuntungan menjadi 40 persen.
Kita uji kasus di atas menurut kacamata
pembeli. Bagaimana respon pembeli terhadap tindakan pedagang tersebut? Menurut
kacamata pembeli bahwa apa yang pedagang lakukan merupakan tindakan mark-up
[Jawa: ngenthol], yaitu tindakan menaikkan harga di saat menemui adanya pembeli
yang prospektif karena didorong sangat butuh. Tindakan pedagang juga merupakan
tindakan yang tidak terpuji karena di saat ada orang dalam situasi yang sangat
membutuhkan, namun justru ia menaikkan harga.
Demikianlah mungkin perasaan yang ada dalam
benak para pembeli seandainya mereka tahu bagaimana niatan pedagang tersebut
dalam menaikkan harga.
Lantas bagaimana kasus di atas jika menurut
kacamata pedagang? Pasti, pedagang tersebut akan menanggapi kasus dengan
perspektif yang berbeda. Ia menganggap bahwa mencari keuntungan dalam dagang
adalah diperbolehkan asal caranya benar. Pedagang harus pandai membaca peluang.
Dan kedatangan Pak Ahmad ke tokonya adalah merupakan salah satu peluang yang
tidak boleh diabaikan begitu saja. Sementara syariat juga tidak melarang
mengambil untung dagang.
Satu kasus direspon oleh dua pihak yang
berbeda posisi menurut kacamata masing-masing. Sudah pasti, respon dan
tanggapan mereka akan berbeda. Maka, dari itulah kemudian berlaku kebutuhan
hadirnya pihak ketiga (qadli) untuk membantu memecahkan persoalan mark-up
(perspektif pembeli) dan keuntungan (ribhun perspektif pedagang). Dengan
demikian tugas qadli dalam hal ini adalah menimbang persoalan keduanya tanpa
merugikan hajat salah satu pihak. Peran utamanya adalah penentuan harga yang
berimbang (tas’ir).
Dalil pokok kebolehan mengambil untung adalah
Q.S. Al-Baqarah ayat 180 yang mana risiko halalnya jual beli juga berarti
halalnya mengambil keuntungan. Adapun dalil larangan menaikkan harga sehingga
keluar dari batasan umum mengambil keuntungan - sebagaimana bunyi teks
Fiqihnya, adalah bila keuntungan yang tidak umum pedagang diambil dalam kondisi
masyarakat sedang dalam kondisi pailit, sementara barang yang ia jual merupakan
hajat orang banyak. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut:
عن
أنس قال : غلا السعر على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالوا : يا رسول الله
لو سعرت ؟ ، فقال : { إن الله هو القابض الباسط الرازق المسعر ، وإني لأرجو أن
ألقى الله عز وجل ولا يطلبني أحد بمظلمة ظلمتها إياه في دم ولا مال } رواه الخمسة
إلا النسائي وصححه الترمذي
Artinya: Dari Anas radliyallahu ‘anhu, ia
berkata: Telah terjadi krisis harga pada masa Rasulullah SAW. Lalu para sahabat
mengadu: “Ya Rasulallah, seandainya ada ketetaan tuan soal harga [barang
pokok]?” Beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha menjamin,
Dzat Yang Maha Membeber Anugerah, Maha Pemberi Rezeki, dan Maha Menghargai.
Sementara sesungguhnya aku hanyalah yang berharap agar Allah tidak menimpakan
bala’ kepadaku, berharap seseorang tidak menuntutku karena telah berperilaku
dhalim kepadanya, terhadap darahnya dan juga terhadap hartanya.” HR. Imam lima,
kecuali Al-Nasaiy, dan dishohihkan oleh Al-Tirmidzi. (Lihat Muhammad bin Ali
bin Muhammad as-Syaukani, Nail al-Authar, Beirut : Dar al-Fikr, Tanpa Tahun,
Juz V, h. 220)
Hadits ini ditafsiri oleh Al-Syaukani, bahwa
hendaknya pemerintah atau jajarannya yang bertugas di bidang pasar, bergerak
untuk menetapkan harga pasar (tas’ir) bagi masyarakatnya.
التسعير
هو أن یأمر سلطان أو نوابه أو كل من ولى من أمور المسلمین أمر اھل السوق أن
لایبیعوا أمتعتھم إلا سعر كذا فیمنع من الزیادة علیه أو النقصان لمصلحة
Artinya : “Tas’ir itu adalah perintah
penguasa atau wakilnya atau setiap orang yang bertugas mengurusi urusannya
orang muslim atau pelaku pasar agar tidak menjual asetnya kecuali dengan harga
yang telah ditetapkan, sehingga berlaku larangan melebihkan atau membanting
harga demi kemaslahatan.” (Lihat Muhammad bin Ali bin Muhammad as-Syaukani,
Nail al-Authar, Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, juz V, h. 220)
Pendapatnya Imam Al-Syaukany ini mengandung
beberapa akibat hukum:
1. Pemerintah berkewajiban menentukan harga
dan memaksa
2. Al-Syaukany menyebut dengan lafadh amti’ah
yang berarti properti/aset yang cakupannya lebih luas dari sekedar kebutuhan
pokok masyarakat.
3. Tujuan tas’ir adalah tercapainya
kemaslahatan baik terhadap masyarakat maupun pedagang
4. Tindakan melebihkan atau membanting harga
melampaui ketetapan harga pokok dari pemerintah merupakan tindakan yang bisa
membawa kemudlaratan.
Dengan demikian, berdasarkan ibarat di atas,
kesimpulan dari permasalahan perilaku pedagang yang menaikkan harga demi
melihat hajatnya Pak Ahmad terhadap AC tersebut adalah hal yang tidak
diperkenankan oleh syariat selagi pemerintah telah menetapkan harga jual
standartnya.
Bagaimana dengan kebijakan penentuan harga
barang dalam kasus bai’ murabahah oleh perbankan syariah? Bisakah tindakan
menaikkan harga oleh Bank disebut mark-up? Simak tulisan berikutnya!
Wallahu a’lam
[]
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, JATIM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar