Sabtu, 10 November 2018

(Ngaji of the Day) Kasus ‘Mark-Up’ Harga Jual Barang: Pembuka Memahami Tas’ir Bai’ Murabahah


Kasus ‘Mark-Up’ Harga Jual Barang: Pembuka Memahami Tas’ir Bai’ Murabahah

Tulisan ini dimaksudkan untuk mengurai tindakan bank syariah dalam menentukan harga dasar barang murabahah ketika mulai terjadi transaksi antara nasabah dan bank. Ilustrasi awal memahaminya, penulis sajikan dalam bentuk uraian kasus klasik fiqih yang umum terjadi di masyarakat.

Pak Ahmad membutuhkan air conditioner (AC) untuk rumahnya yang baru dibangun. Ia lalu mendatangi seorang pedagang elektronik properti rumah tangga. Saat terjadi dialog, Pak Ahmad menyebut-nyebut sebuah merk terkenal produk AC, karena keluarganya menghendaki AC dengan merk tersebut. Jika pedagang itu tidak punya, ia memutuskan lebih baik mencari pedagang lain yang menjual AC tersebut. Memanfaatkan kondisi Pak Ahmad yang sedemikian itu, insting pedagang yang didatangi Pak Ahmad tadi mulai bermain. Jarang-jarang ada konsumen membeli barang elektronik seperti itu. Paling-paling dua bulan sekali, itu pun belum pasti. Akhirnya, si pedagang memutuskan menjual AC tidak dengan keuntungan sebagaimana mestinya ia mengambil untung. Jika biasanya ia mengambil untung 15 persen dari total harga barang yang dijual, namun memanfaatkan  situasi sangat butuhnya Pak Ahmad, ia menaikkan keuntungan menjadi 40 persen.

Kita uji kasus di atas menurut kacamata pembeli. Bagaimana respon pembeli terhadap tindakan pedagang tersebut? Menurut kacamata pembeli bahwa apa yang pedagang lakukan merupakan tindakan mark-up [Jawa: ngenthol], yaitu tindakan menaikkan harga di saat menemui adanya pembeli yang prospektif karena didorong sangat butuh. Tindakan pedagang juga merupakan tindakan yang tidak terpuji karena di saat ada orang dalam situasi yang sangat membutuhkan, namun justru ia menaikkan harga.

Demikianlah mungkin perasaan yang ada dalam benak para pembeli seandainya mereka tahu bagaimana niatan pedagang tersebut dalam menaikkan harga. 

Lantas bagaimana kasus di atas jika menurut kacamata pedagang? Pasti, pedagang tersebut akan menanggapi kasus dengan perspektif yang berbeda. Ia menganggap bahwa mencari keuntungan dalam dagang adalah diperbolehkan asal caranya benar. Pedagang harus pandai membaca peluang. Dan kedatangan Pak Ahmad ke tokonya adalah merupakan salah satu peluang yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Sementara syariat juga tidak melarang mengambil untung dagang. 

Satu kasus direspon oleh dua pihak yang berbeda posisi menurut kacamata masing-masing. Sudah pasti, respon dan tanggapan mereka akan berbeda. Maka, dari itulah kemudian berlaku kebutuhan hadirnya pihak ketiga (qadli) untuk membantu memecahkan persoalan mark-up (perspektif pembeli) dan keuntungan (ribhun perspektif pedagang). Dengan demikian tugas qadli dalam hal ini adalah menimbang persoalan keduanya tanpa merugikan hajat salah satu pihak. Peran utamanya adalah penentuan harga yang berimbang (tas’ir).

Dalil pokok kebolehan mengambil untung adalah Q.S. Al-Baqarah ayat 180 yang mana risiko halalnya jual beli juga berarti halalnya mengambil keuntungan. Adapun dalil larangan menaikkan harga sehingga keluar dari batasan umum mengambil keuntungan -  sebagaimana bunyi teks Fiqihnya, adalah bila keuntungan yang tidak umum pedagang diambil dalam kondisi masyarakat sedang dalam kondisi pailit, sementara barang yang ia jual merupakan hajat orang banyak. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut:

عن أنس قال : غلا السعر على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالوا : يا رسول الله لو سعرت ؟ ، فقال : { إن الله هو القابض الباسط الرازق المسعر ، وإني لأرجو أن ألقى الله عز وجل ولا يطلبني أحد بمظلمة ظلمتها إياه في دم ولا مال } رواه الخمسة إلا النسائي وصححه الترمذي

Artinya: Dari Anas radliyallahu ‘anhu, ia berkata: Telah terjadi krisis harga pada masa Rasulullah SAW. Lalu para sahabat mengadu: “Ya Rasulallah, seandainya ada ketetaan tuan soal harga [barang pokok]?” Beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha menjamin, Dzat Yang Maha Membeber Anugerah, Maha Pemberi Rezeki, dan Maha Menghargai. Sementara sesungguhnya aku hanyalah yang berharap agar Allah tidak menimpakan bala’ kepadaku, berharap seseorang tidak menuntutku karena telah berperilaku dhalim kepadanya, terhadap darahnya dan juga terhadap hartanya.” HR. Imam lima, kecuali Al-Nasaiy, dan dishohihkan oleh Al-Tirmidzi. (Lihat Muhammad bin Ali bin Muhammad as-Syaukani, Nail al-Authar, Beirut : Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, Juz V, h. 220)

Hadits ini ditafsiri oleh Al-Syaukani, bahwa hendaknya pemerintah atau jajarannya yang bertugas di bidang pasar, bergerak untuk menetapkan harga pasar (tas’ir) bagi masyarakatnya. 

التسعير هو أن یأمر سلطان أو نوابه أو كل من ولى من أمور المسلمین أمر اھل السوق أن لایبیعوا أمتعتھم إلا سعر كذا فیمنع من الزیادة علیه أو النقصان لمصلحة

Artinya : “Tas’ir itu adalah perintah penguasa atau wakilnya atau setiap orang yang bertugas mengurusi urusannya orang muslim atau pelaku pasar agar tidak menjual asetnya kecuali dengan harga yang telah ditetapkan, sehingga berlaku larangan melebihkan atau membanting harga demi kemaslahatan.” (Lihat Muhammad bin Ali bin Muhammad as-Syaukani, Nail al-Authar, Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, juz V, h. 220)

Pendapatnya Imam Al-Syaukany ini mengandung beberapa akibat hukum:

1. Pemerintah berkewajiban menentukan harga dan memaksa

2. Al-Syaukany menyebut dengan lafadh amti’ah yang berarti properti/aset yang cakupannya lebih luas dari sekedar kebutuhan pokok masyarakat.

3. Tujuan tas’ir adalah tercapainya kemaslahatan baik terhadap masyarakat maupun pedagang

4. Tindakan melebihkan atau membanting harga melampaui ketetapan harga pokok dari pemerintah merupakan tindakan yang bisa membawa kemudlaratan. 

Dengan demikian, berdasarkan ibarat di atas, kesimpulan dari permasalahan perilaku pedagang yang menaikkan harga demi melihat hajatnya Pak Ahmad terhadap AC tersebut adalah hal yang tidak diperkenankan oleh syariat selagi pemerintah telah menetapkan harga jual standartnya. 

Bagaimana dengan kebijakan penentuan harga barang dalam kasus bai’ murabahah oleh perbankan syariah? Bisakah tindakan menaikkan harga oleh Bank disebut mark-up? Simak tulisan berikutnya!

Wallahu a’lam

[]

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, JATIM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar