Ketika Para Sahabat Nabi Berharap Menjadi
Kaya
Sekelompok sahabat datang menemui Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah para sahabat yang secara ekonomi
tidak tergolong mampu. Kepada beliau mereka menyampaikan, betapa enaknya
menjadi orang yang kaya raya, bisa mendapatkan begitu banyak pahala.
“Orang-orang yang punya banyak harta shalat
sebagaimana kami shalat. Mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Namun
mereka bisa bersedekah dengan limpahan harta yang mereka miliki, sedang kami
yang miskin tak bisa melakukan itu.” Demikian mereka mengadu.
Atas keluhan mereka ini Rasulullah kemudian
menyampaikan solusi bagaimana mereka bisa mendapatkan banyak pahala dengan
melakukan beberapa amalan yang pahalanya sama dengan pahala sedekah yang
dilakukan oleh orang-orang kaya.
Kisah di atas direkam oleh para ulama hadits
dalam kitab-kitab hadits mereka di antaranya oleh Imam Muslim dalam kitab
Shahîh-nya dari Abu Dzar:
أَنَّ
نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا رَسُولَ اللهِ، ذَهَبَ أَهْلُ
الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ، يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي، وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ،
وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ، قَالَ: " أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ
اللهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ؟ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ
تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً، وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ
صَدَقَةً، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ،
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيَأتِي
أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: «أَرَأَيْتُمْ لَوْ
وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا
وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
Artinya: “Ada beberapa sahabat Nabi berkata
kepada beliau, ‘Ya Rasulullah, orang-orang kaya mendapat banyak pahala. Mereka
shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan
mereka bisa bersedekah dengan kelebihan harta mereka.’ Rasul bersabda,
‘Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian apa-apa yang bisa kalian
sedekahkan? Sesungguhnya setiap bacaan tasbih adalah sedekah, setiap takbir
adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah,
memerintahkan yang ma’ruf adalah sedekah, mencegah kemunkaran adalah sedekah,
dan dalam kemaluan kalian ada sedekah.’ Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasul,
apakah bila salah seorang di antara kami melampiaskan syahwatnya ia mendapatkan
pahala?’ Rasul menjawab, ‘Apa pendapat kalian, bila ia melampiaskan syahwatnya
pada yang haram bukankah ia mendapat dosa? Maka demikian pula bila ia
melampiaskannya pada yang halal ia mendapat pahala.’ (Muslim bin Hajjaj
An-Naisaburi, Shahîh Muslim, Kairo: Darul Ghad Al-Jadid, 2008, jilid IV, juz.
7, halaman 83).
Dari hadits di atas dapat diambil pelajaran
penting dan pendidikan luhur yang bisa menjadi teladan bagi kaum muslimin saat
ini. Darinya diketahui bahwa keinginan para sahabat rasul untuk memiliki banyak
harta bukanlah untuk bersenang-senang menikmatinya, agar dengan banyaknya uang
mereka bisa memiliki rumah yang megah, membeli perabot rumah tangga yang mahal
dan berkualitas, memiliki kendaraan yang nyaman, bisa berwisata ke
negeri-negeri seberang yang indah, dan kemewahan duniawi lainnya. Bukan yang
demikian motivasi keinginan mereka untuk memiliki banyak harta.
Yang mendorong mereka berkeinginan menjadi
kaya hingga memberanikan diri mengadu kepada Rasulullah adalah keinginan untuk
bisa mendulang sebanyak mungkin pahala. Bagi mereka dengan melimpahnya harta
mereka bisa bersedekah sebanyak dan sesuka hati sehingga didapatlah banyak
pahala yang pada akhirnya berharap mendapat surga dan keridhan Allah ta’ala.
Kondisi ekonomi yang lemah tidak
menghilangkan keridhan mereka atas apa yang telah ditetapkan Allah. Sedikitnya
harta tidak menjadikan mereka berkeluh kesah tentang sulitnya menjalani
kehidupan di dunia. Namun keinginan kehidupan di akherat yang lebih baik begitu
kuat mendorong mereka untuk memiliki banyak harta agar dengannya bisa digunakan
untuk sebanyak mungkin mendulang pahala.
Bagi para sahabat nabi kekayaan yang mereka
dambakan bukanlah tujuan, namun sarana untuk meraih tujuan hidup yang
sebenarnya; ridha Allah ta’ala.
Dari hadits itu pula dapat diambil satu
pelajaran bahwa sedekah tidak selamanya harus dengan harta. Ada banyak cara
bagi seorang muslim untuk mendapat pahala sedekah tanpa harus memiliki banyak
harta. Di dalam banyak hadits dituturkan banyak hal yang bisa dijadikan sarana
mendapat pahala sedekah. Membaca kalimat-kalimat thayibah, menyingkirkan duri
di jalanan, membantu orang lain menaikkan barang bawaannya ke atas kendaraan,
hingga persetubuhan yang dilakukan sepasang suami istri adalah sebagian dari
sekian banyak cara untuk mendapat kemuliaan itu.
Tentunya banyaknya cara untuk mendapatkan
pahala sedekah itu tidak menggugurkan cara bersedekah yang semestinya dilakukan
oleh orang yang mampu secara ekonomi. Mereka yang diberi kelebihan harta oleh
Allah tentunya bersedekah dengan harta yang ia miliki, tidak memilih bersedekah
dengan cara termudah dan termurah saja lalu meninggalkan bersedekah dengan
harta yang dimampuinya seraya berkata, “saya sudah bersedekah dengan membaca
kalimat thayibah.”
Pun orang yang memiliki kemampuan untuk
bersedekah dengan harta bukan pula berarti ia tidak boleh bersedekah dengan
amalan-amalan kecil sebagaimana dilakukan oleh mereka yang tak mampu bersedekah
dengan harta.
Ibnu Rajab dalam kitabnya Jâmi’ul Ulûm wal
Hikam (Beirut, Muassasah Ar-Risalah, 1999, juz II, halaman 59) menuturkan bahwa
setelah para sahabat yang fakir itu menerima amalan-amalan dari Rasulullah yang
bernilai sebagaimana sedekah, mereka kembali menghadap kepada Rasul dan
melaporkan, “Saudara-saudara kami yang kaya raya mengetahui amalan yang kami
lakukan, maka mereka pun ikut mengamalkannya.” Atas laporan ini Rasulullah
menyatakan, “Itu adalah anugerah Allah yang diberikan kepada siapa saja yang
dikehendaki-Nya.”
Ibnu Rajab juga menuliskan sebuah riwayat
dari Ibnu Mardawaih dari Ibnu Umar sebagai hadits marfu’:
مَنْ
كَانَ لَهُ مَالٌ، فَلْيَتَصَدَّقْ مِنْ مَالِهِ، وَمَنْ كَانَ لَهُ قُوَّةٌ،
فَلْيَتَصَدَّقْ مِنْ قُوَّتِهِ، وَمَنْ كَانَ لَهُ عِلْمٌ، فَلْيَتَصَدَّقْ مِنْ
عِلْمِهِ
Artinya: “Barang siapa yang memiliki harta
maka bersedekahlah dengan hartanya, barang siapa yang memiliki kekuatan maka
bersedekahlah dengan kekuatannya, dan barang siapa memiliki ilmu maka
bersedekahlah dengan ilmunya.”
Dari sini dapat dipahami bahwa anjuran
bersedekah itu disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing
orang, bukan dengan kemauan setiap orang. Bersedekah itu semampunya, bukan
semaunya. Karena Allah memberi potensi yang berbeda bagi setiap hamba-Nya, maka
Allah memberikan pula kesempatan bersedekah dengan cara berbeda sesuai dengan
potensinya, meski hanya dengan menyingkirkan duri dari jalanan atau sekedar
bermuka ceria ketika bertemu sesama.
Sebagai contoh, ketika di sebuah masyarakat
ada gotong royong pembangunan sebuah masjid maka mereka yang berduit bersedekah
dengan uangnya. Yang memiliki ilmu pembangunan bersedekah dengan memberikan masukan
dan pertimbangan tentang bagaimana bagusnya konstruksi bangunan masjid
didirikan. Yang memiliki keahlian sebagai arsitek bersedekah dengan gambarnya.
Yang memiliki tenaga bersedekah dengan tenaganya, dan seterusnya.
Di kehidupan nyata banyak dijumpai
orang-orang yang tulus bersedekah dengan potensi yang mereka punyai. Meski tak
seberapa namun itu dilakukan secara istiqamah. Ada penjual beras kecil-kecilan
yang diam-diam selalu menambahkan segenggam beras setiap kali ada orang kampung
yang membeli berasnya, dengan niat sebagai sedekah. Ada pemilik warung yang
selalu menambahkan sesendok gula pasir setiap kali ia menimbang melayani
pembelinya, untuk sedekah niatnya. Ada pula yang menawarkan diri untuk
membersihkan mushala setiap minggu sekali tanpa mau dibayar sedikitpun. Ia
beralasan, ini yang bisa saya sedekahkan.
Wallâhu a’lam. []
(Yazid Muttaqin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar