Khalifah al-Muthi’ Lillah: Menguatnya Syi’ah di Kekhilafahan Sunni
Oleh: Nadirsyah Hosen
Nama lengkapnya Abul Qasim al-Fadhl bin al-Muqtadir bin
al-Mu’tadhid. Dia menjadi Khalifah ke-23 dari Dinasti Abbasiyah. Dia
menggantikan sepupunya, Khalifah al-Mustakfi, yang diturunkan paksa oleh Mu’iz
d-Dawlah, yang mencongkel matanya, dan memenjarakannya. Bagaimana kemudian
nasib Khalifah yang baru ini, yang punya gelar mentereng: al-Muthi’ Lillah (yang
taat kepada Allah)? Simak, yuk, lanjutan ngaji sejarah politik Islam.
Diceritakan sebelumnya betapa Dinasti Abbasiyah pada periode ini
telah berada dalam genggaman Bani Buwaihi. Mu’iz ad-Dawlah dari Bani Buwaihi
berkuasa penuh sebagai Amir al-Umara, sedangkan Khalifah diposisikan sebagai
simbol belaka. Mu’iz ad-Dawlah pula yang mengatur bahwa belanja harian buat
Khalifah hanya sebesar 100 dinar. Sungguh kasihan sekali kondisi Khalifah
Abbasiyah.
Ibn Katsir dalam kitabnya, al-Bidayah
wan Nihayah, bercerita proses al-Muthi’ menjadi khalifah, bagaimana
al-Muthi’ ini disembunyikan dari Khalifah al-Mustakfi, yang berusaha mencarinya
namun gagal. Kemudian al-Muthi’ bertemu secara rahasia dengan Mu’iz ad-Dawlah,
dan tercapailah kesepakatan di antara al-Muthi’ dan Mu’iz ad-Dawlah.
Kemudian al-Muthi’ menerima bai’at sebagai Khalifah. Namun
demikian, menurut Ibn Katsir, posisi al-Muthi’ sebagai Khalifah ini sangat
lemah hingga tidak tersisa satu pun kekuasaan baginya.
Ibn Khaldun mengomentari dengan tajam situasi semacam ini dalam
kitabnya yang sangat terkenal, al-Muqaddimah:
“Dengan kebiasaan hidup yang penuh kemewahan, maka para penguasa meyakini bahwa
tugas utama mereka hanyalah duduk manis di singgasana, memberikan pengesahan
dan tanda-tangan, menyampaikan pidato, duduk manis bersama para selir cantik
yang mengitarinya. Sedangkan pencarian solusi, membangun relasi, instruksi dan
larangan, mengontrol keuangan dan militer diserahkan kepada Amir.”
Dalam konteks al-Muthi’, menurut Ibn Katsir, kondisi ini
diperparah dengan kesewenang-wenangan Bani Buwaihi yang menguasai jalannya
pemerintahan. Hal ini dikarenakan Bani Buwaihi memandang bahwa Dinasti Abbasiyah
telah merampas hak Bani Alawiyyin (keturunan Imam Ali).
Bani Buwaihi ini pengikut Syi’ah. Dan pertentangan antara
Abbasiyah dan Alawiyyin (yang sebetulnya mereka sama-sama keluarga Nabi
Muhammad SAW) ini berlangsung sejak mereka mengambil alih kekuasaan dari Bani
Umayyah. Abul Abbas as-Saffah, Khalifah pertama Abbasiyah, dianggap ingkar
janji dan malah memarjinalkan posisi Alawiyyin setelah dia berkuasa.
Akan tetapi Bani Buwaihi sendiri tidak mau merampas kekhilafahan
dari tangan Abbasiyah. Salah satu sebabnya adalah rakyat masih percaya dengan
hadits “al-aimmah min
quraisy”. Bahwa pemimpin itu harus dari suku Quraisy. Khulafa
ar-Rasyidin, Umayyah, dan Abbasiyah semua nasabnya berasal dari suku Quraisy.
Sedangkan Bani Buwaihi tidak demikian. Mereka bernasab kepada keturunan Persia.
Nanti belakangan, setelah suku Quraisy semakin pudar pengaruhnya,
barulah para ulama seperti Ibn Khaldun mulai melakukan penafsiran ulang
terhadap hadits di atas: bahwa yang dimaksud itu adalah pemimpin yang memiliki
pengaruh dan karakter seperti suku Quraisy; tidak harus dari suku Quraisy
sendiri. Begitulah pemikiran politik itu, bisa sangat dinamis, kan?
Nasib tragis juga dialami penduduk Baghdad pada masa Khalifah
al-Muthi’. Imam Suyuthi dalam kitabnya, Tarikh al-Khulafa, melaporkan bahwa pada
tahun pemerintahan al-Muthi’ terjadi kelaparan yang amat sangat di Baghdad,
sehingga sebagian penduduk memakan bangkai dan kotoran ternak. Sering didapati
mayat penduduk tergeletak di jalan raya akibat kelaparan, sehingga anjing pun
memakan mayat tersebut.
Untuk membeli dua potong roti, misalnya, penduduk harus menukarnya
dengan perabotan rumah tangga mereka. Anak-anak kecil dibakar untuk disantap
oleh orang miskin.
Brengseknya, Mu’iz ad-Dawlah justru memanfaatkan kondisi semacam
ini untuk memperkaya dirinya. Penduduk yang mau membeli tepung gandum harus
membayar kepadanya 20 ribu dirham. Dan Khalifah al-Muthi’ tidak bisa berbuat
apa-apa.
Setelah Mu’iz ad-Dawlah mengeskploitasi ekonomi dan pasar untuk
kepentingannya, barulah dia kemudian menempatkan polisi dan pengawas pasar.
Imam Suyuthi dengan getir menulis “falaa
kaana Allah ‘aafaahu” (Semoga Allah tidak memberi ampunan
kepadanya).
Salah satu catatan baik dari kondisi karut marut ini adalah
kembalinya Hajar Aswad dari tangan pemberontak Qaramithah. Sekitar 22 tahun
Hajar Aswad mereka curi dan sembunyikan (baca: Al-Muqtadir: Remaja 13 Tahun yang Menjadi Khalifah dan Hilangnya Hajar
Aswad)
Namun, kondisi Hajar Aswad dikabarkan memprihatinkan. Sudah tidak
lagi utuh. Yang semula terdiri dari satu batu besar, akhirnya hanya terpecah
menjadi 7 potong. Kemudian diikat dengan perak dan dikembalikan ke Ka’bah.
Menurut Ibn Katsir, yang mencuri itu namanya Abu Thahir Sulaiman bin Abi Sa’id
al-Husin al-Janabi. Perlu kita bacakan doa apa, nih, untuk dia?
Pengaruh Syi’ah tertera jelas dalam kebijakan Mu’iz ad-Dawlah
ketika pada Hari Asyura dia mewajibkan setiap penduduk menutup semua toko dan
tidak memasak makanan. Dia perintahkan pula kaum perempuan keluar rumah dengan
rambut kusut sebagai tanda berduka atas wafatnya Sayidina Husein di Karbala.
Inilah pertama kalinya Hari Asyura, peringatan wafatnya Sayidina Husein,
diratapi di Baghdad.
Tidak hanya sampai di sana, pada 12 Dzulhijah tahun yang sama juga
diselenggarakan peringatan Ghadir Kum yang dilakukan dengan menabuh gendang.
Peristiwa Ghadir Kum adalah kejadian yang, menurut saudara kita kelompok
Syi’ah, Nabi Muhammad telah mengangkat Sayidina Ali sebagai pemimpin umat
Islam. Ini salah satu topik perdebatan antara Sunni dan Syi’ah selama
berabad-abad. Nah, peristiwa Ghadir Kum ini yang dirayakan oleh Mu’iz ad-Dawlah
di Baghdad pada masa Dinasti Abbasiyah yang Sunni.
Orang-orang Syi’ah jelas mendapat angin dari kondisi tersebut.
Maka, mereka menuliskan kutukan di pintu-pintu masjid terhadap Mu’awiyah
(pendiri Dinasti Umayah, yang pernah berperang melawan Sayidina Ali dalam Perang Shiffin).
Kalau hanya berhenti pada mengutuk Mu’awiyah, Dinasti Abbasiyah
pun gemar melakukannya. Namun, orang-orang Syi’ah melangkah lebih jauh dengan
juga menuliskan kutukan kepada orang yang mereka anggap merampas hak Siti
Fatimah az-Zahra (putri Nabi) di tanah Fadak. Jelas kutukan ini ditujukan
kepada Khalifah Abu Bakar as-Siddiq yang memang punya kebijakan tersendiri
dalam hal tanah Fadak.
Orang-orang Syi’ah juga mengutuk mereka yang melarang Sayidina
Hasan dikuburkan bersama kakeknya (Rasulullah SAW). Pernyataan ini jelas
ditujukan kepada Marwan bin Hakam. Terakhir
mereka mengutuk orang yang mengasingkan seorang sahabat Nabi bernama Abu Dzar
dari Madinah. Kali ini yang kena sasaran mereka adalah Khalifah Utsman bin
Affan.
Malam harinya tulisan yang berisi kutukan di pintu masjid itu
dihapus oleh kaum Sunni yang merasa kecewa karena kutukan itu juga menyasar
kepada para sahabat Nabi. Mu’iz ad-Dawlah yang dilaporkan adanya penghapusan
kutukan itu menjadi marah dan memerintahkan untuk menuliskannya ulang. Ini
indikasi kuat bahwa dia setuju dengan apa yang tertera di pintu masjid. Namun,
dia menerima nasihat untuk tidak memanaskan suasana ketegangan antara Sunni dan
Syi’ah.
Sebagai gantinya, dituliskan di pintu Masjid kalimat yang lebih
netral: “Semoga Allah melaknat setiap orang yang melakukan kezaliman terhadap
keluarga Rasulullah.”
Lima tahun setelah itu, Mu’iz ad-Dawlah wafat. Beliau digantikan
oleh anaknya yang bernama Bakhtiar. Setahun kemudian pemberontak Qaramithah
membuat ulah kembali. Kali ini mereka menguasai Damaskus. Tidak ada seorang pun
yang bisa melaksanakan perjalanan naik haji pada tahun 357 Hijriah, baik dari
jalur Syiria maupun Mesir. Bahkan dikabarkan mereka akan segera menguasai kota
Kairo.
Pernah saya ceritakan bahwa, selain Khilafah Abbasiyah, juga ada
dua penguasa lain di dunia Islam yang mengaku sebagai khalifah, yaitu Dinasti
Umayyah II di Cordoba, Spanyol, dan Dinasti Fatimiyyah di Afrika Utara
(Baca: Khalifah Ar-Radhi Billah: Awal Kehancuran Dinasti Abbasiyah).
Penduduk Mesir meminta bantuan al-Mu’iz penguasa Dinasti
Fatimiyyah di Ifriqiyah (Afrika Utara) yang kemudian memerintahkan pasukannya
menjaga Mesir di bawah pimpinan Jauhar. Mereka mampu menguasai Mesir dan
membangun kota Kairo. Setelah itu, istana dibangun, dan dicabutlah doa-doa
untuk Bani Abbasiyah dari mimbar Jum’at, serta jamaah dilarang menggunakan
pakaian hitam. Pakaian hitam adalah ciri Dinasti Abbasiyah.
Sejak itu para khatib memakai pakaian putih dan diperintahkan
untuk membaca doa dalam khutbah Jum’at. Ini doa mereka:
اللهم
صل على محمد المصطفى، وعلى علي المرتضى، وعلى فاطمة البتول، وعلى
الحسن والحسين سبطي الرسول، وصل على الأئمة آباء أمير المؤمنين المعز
بالله،
الحسن والحسين سبطي الرسول، وصل على الأئمة آباء أمير المؤمنين المعز
بالله،
“Ya Allah sampaikan
shalawat dan salam kepada Nabi pilihan, Muhammad, dan kepada Ali, hamba yang
diridhai, dan kepada Fatimah, sang ahli ibadah, dan kepada Hasan dan Husein,
dua cucu Rasul, dan kepada para Imam bapaknya, Amirul Mukminin al-Mu’iz
Billah.”
Nuansa Syi’ah sangat kental dalam doa tersebut. Sedangkan
penyebutan nama al-Mu’iz itu merujuk kepada penguasa Dinasti Fatimiyah. Sejak
saat itu, pusat kekuasaan Dinasti Fatimiyyah pindah ke Mesir. Mereka beraliran
Syi’ah Ismailiyyah.
Pada saat itu lafaz azan di masjid Mesir pun ditambah dengan
kalimat “hayya ’ala khayril
‘amal” (mari menuju kepada amal yang paling utama). Azan versi ini
memang biasa diperdengarkan dalam tradisi Syi’ah. Pembangunan Masjid Jami’
al-Azhar juga dimulai pada masa Dinasti Fatimiyyah. Kelak masjid ini menjadi
cikal bakal berdirinya Universitas al-Azhar yang legendaris itu.
Kembali ke Baghdad. Bagaimana nasib Khalifah al-Muthi’ di tangan
Bakhtiar, yang menggantikan ayahnya, Mu’iz ad-Dawlah, sebagai Amir al-Umara?
Bakhtiar menyita harta Khalifah al-Muthi’. Sang Khalifah hanya
bisa merespons, “Saya sudah tidak punya apa-apa lagi, kecuali khutbah. Kalau
Anda mau, saya akan mundur sebagai Khalifah.” Namun, Bakhtiar mengacuhkan
omongan itu. Harta tetap disita dan al-Muthi’ terpaksa menjual kain-kainnya
untuk bisa bertahan hidup. Mengenaskan!
Pada tahun 363 H atau 974 M, al-Muthi’ diserang penyakit sehingga
lumpuh dan tidak bisa bicara. Akhirnya, dia mengundurkan diri dari jabatannya
sebagai Khalifah, dan digantikan oleh anaknya, yang bernama at-Thai’ Lillah.
Ini artinya al-Muthi’ menjadi khalifah boneka selama 29 tahun. Pengunduran
dirinya disahkan oleh Hakim Agung Ibn Syaiban.
Sejak saat itu, al-Muthi’ sebagai mantan khalifah disebut dengan
Syekh al-Fadhl. Syekh itu panggilan untuk orang tua, dan al-Fadhl itu dari nama
aslinya.
Bagaimana nasib kekhilafahan Abbasiyah di tangan khalifah yang
baru, at-Thai’ Lillah? Apakah kondisi menjadi membaik atau malah memburuk?
Sayangnya, kita harus tunda dulu kisahnya sampai saya
membolak-balik lembaran kitab klasik sejarah Islam untuk bisa meneruskan ngaji
sejarah politik Islam ini. Lanjut minggu depan? Insya Allah.[]
GEOTIMES, 06 April 2018
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan
dosen senior di Faculty of Law, Monash University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar