Yang
Penting Mereka Berdialog
Oleh: KH.
Abdurrahman Wahid
Dalam
perjalanan ke New York baru-baru ini, penulis dibacakan sebuah berita yang
sangat menarik. Akhirnya, Perdana Menteri (PM) Ariel Sharon dari Israel
mengirim Menteri Luar Negeri (Menlu) Silvan Shalom untuk bertemu Presiden
Mubarak di Roma. Pada saat yang sama, pihak Palestina -melalui Menteri
Keuangannya-, mengemukakan sebuah paket berisikan antara lain bantuan dua
milyar dollar AS lebih untuk pembangunan ekonominya. Sekembali penulis dari New
York (NY), dalam perjalanan ia mengikuti berita bahwa ada sejumlah konsesi
Israel kepada pihak Palestina, termasuk penyerahan tiga buah kawasan pemukiman
(settlements) kepada pihak Palestina. Adakah orang-orang Yahudi yang menjadi
penduduknya “ditarik” ke kawasan-kawasan pemukiman yang lain di Israel, tidak
begitu jelas. Namun, pada saat yang sama diumumkan bantuan militer dan ekonomi
AS kepada Israel sebesar lebih dari sembilan milyar dollar AS.
Ini
adalah perkembangan yang sangat menggembirakan, karena sejak tiga tahun
terakhir ini perundingan antara Israel dan Palestina mengalami kemacetan luar biasa.
Sebabnya, karena kedua pihak tetap berkeras pada pendirian masing-masing.
Ditambah pula kemarahan Israel atas serangkaian peledakan bom bunuh diri
(suicidal bombings) yang sudah menewaskan lebih dari 100 nyawa di Israel,
sehingga tidak ada kawasan yang boleh dikata aman di Israel. Pemboman bunuh
diri itu tidak dapat dikuasai oleh Yasser Arafat, pemimpin Palestina yang tidak
mampu menguasai kelompok-kelompok radikal di kalangan bangsa Palestina
–seperti, Hammas, Hizbullah dan lain-lain, yang umumnya terdiri dari para
pemuda Palestina. Karena kelemahan-kelemahan Arafat itu, bahkan Ariel Sharon
sudah kehilangan kepercayaan kepadanya. Ini adalah pangkal dari sikap Sharon
untuk “memecat” Arafat dari kedudukannya sebagai pemimpin bangsa Palestina.
Ini
penulis rasakan sendiri, ketika berkunjung ke rumah Ariel Sharon di Jerusalem
bulan Juni yang lalu, bersama Michael Gorbachev dan F. W. de Klerk untuk sebuah
kunjungan kehormatan (courtesy call). Kunjungan yang direncanakan hanya 30
menit itu di mulai jam 22.00 waktu Israel, ternyata berlanjut terus hingga jam
1.30 dini hari. Sebabnya, karena Sharon bersikeras Arafat harus “dibuang”
(kicked out) dari jabatannya, sementara Gorbachev mempertahankan Arafat sebagai
“perwakilan sah” bangsa Palestina dalam sebuah perundingan internasional
mengenai sengketa Israel-Palestina. Begitu rupa perbedaan pendapat itu
berkembang, sehingga penulis melihat sangat kecil kemungkinan untuk terlaksana.
Seperti
biasa, penulis sengaja “menyimpan” pendiriannya, agar di kemudian hari tidak
“mati jalan”, jika harus turut serta dalam konferensi yang sebenarnya. Di
sinilah terletak perbedaan antara pendekatan penulis dengan pandangan
Gorbachev. Ia sudah tidak melihat jalan untuk menjadi “penengah” dalam sengketa
antara kedua bangsa itu. Karena itu, ia terbuka untuk mengemukakan pandangan
secara apa adanya. Penulis masih melihat peluang Indonesia untuk turut serta
dalam mencapai perdamaian antara kedua bangsa “serumpun” itu. Itulah sebabnya,
penulis hanya meminta ketegasan baik Sharon maupun Gorbachev, mengenai beberapa
hal. Dengan itu, penulis dapat mengembangkan sendiri
pandangan-pandangannya, yang mungkin saja dapat membantu penyelesaian sengketa
tersebut secara damai. Ternyata perkembangan baru itu sekarang mulai terjadi, dan
penulis turut bergembira karenanya.
*****
Ada dua
buah pendapat yang berkembang mengenai sengketa itu. Di satu pihak, pendapat
beberapa orang agamawan yang tergabung dalam IIFWP (International
Inter-religious Federation on World Peace), yang bermarkas besar di NY. Menurut
wakil Sekretaris Jenderal-nya, Taj Hamad, seorang muslim dari Sudan, sebab dari
sengketa tersebut adalah rasa marah bangsa Yahudi (serta lembaga-lembaga
keagamaannya) bahwa mereka telah dijadikan “kambing hitam” bagi semua hal yang
tak benar yang terjadi di dunia. Umpamanya saja, mereka masih marah terhadap
sikap orang-orang Kristen yang menganggap Yesus Kristus sebagai messiah (juru
selamat), yang kemudian oleh orang-orang Kristen itu dianggap sebagai anak
Tuhan. Sedangkan orang-orang Yahudi tidak pernah mengakuinya sebagai messiah.
Rasa marah itu disebabkan oleh dua hal yang bersamaan: anggapan bahwa orang
Yahudi “bersalah” atas disalibnya Yesus Kristus, yang kini dianggap oleh
semua orang Kristen sebagai penebusan dosa. Padahal tidak semua kalangan
Kristen setuju dengan hal itu, bahkan mereka itu tidak percaya bahwa hal itu
memang terjadi.
Kedua,
sikap menyalahkan orang-orang Yahudi itu juga “merembet” ke bidang-bidang lain
dalam kehidupan. Padahal mereka justru menderita karena selalu
dipersekusi/dituduh oleh orang-orang Kristen dan Islam. Contoh yang paling
nyata bagi Yahudi dalam hal ini adalah diaspora (paksaan untuk
berpencar-pencar) dan Holocaust (pembinasaan secara biadab) oleh NAZI
Jerman dalam Perang Dunia II, yang menghabiskan nyawa lebih dari 35
juta jiwa orang Yahudi. Sikap dunia yang tidak pernah “memperhatikan
perasaan orang Yahudi” dalam hal ini, membuat mereka marah. Untuk itu, mereka
lalu mendirikan sebuahh Museum Diaspora dan sebuah Museum Holocaust di tanah
air mereka (Israel), dan Museum Holocaust di New York, yang antara lain
menyimpan ratusan ribu sepatu milik orang Yahudi yang “dihukum mati” dengan
gas.
Karena
itu penulis selalu menunjukkan simpati kepada bangsa Yahudi karena penderitaan
mereka itu. Penulis juga mendampingi orang-orang Yahudi yang mencoba
“menegakkan” perdamaian antara orang-orang Yahudi dengan bangsa-bangsa lain.
Karena itulah, penulis menjadi salah seorang pendiri pusat perdamaian Simon
Perez yang berkantor di Tel Aviv. Karena lembagai itu melihat bahwa upaya orang
Yahudi untuk menolong dan mengabdi kepada bangsa Palestina sebagai sebuah cara
untuk “menebus dosa” segala macam kesalahan di masa lampau kepada orang lain.
Dan sebagai persyaratan jika tidak ingin dikatakan sebagai orang yang mau
“menang sendiri” atas bangsa-bangsa lain. Karean itulah penulis mendukung
gagasan itu. Sekarang motivasi-motivasi lembaga dengan pimpinan yang bersifat
internasional itu, telah menjadi “langkah pendamai” bagi bangsa Israel dan
Palestina. Penulis merasa bangga atas sikapnya itu, yang dulu hingga saat ini
pun dianggap “salah” oleh sementara kalangan.
*****
Tanpa
berupaya mencari mana yang benar dan mana yang salah di antara kedua
pandangan itu, penulis mencoba menyertai para pemimpin yang “menyalahkan”
Israel itu, dan atau sikap Israel yang tidak mau mengakui hal itu. Penulis
mencoba untuk meyakinkan para pemimpin Israel, bahwa sikap mereka untuk
berunding itu, pada akhirnya adalah sesuatu yang bijaksana. Untuk itulah
penulis akan turut serta dalam demo (long march) para pemimpin agama
besar-besaran di Jerusalem minggu ini, yang meminta bangsa Yahudi “mengubur”
kemarahan mereka. Dan sebaiknya mencari jalan-jalan baru untuk mencari
penyelesaian damai dan lebih bersungguh-sungguh dalam berunding dengan para
pemimpin Palestina, untuk mencari penyelesaian permanen melalui negosiasi.
Hanya dengan cara tidak menggunakan tindak kekerasan terhadap siapapun,
penyelesaian damai dapat dilakukan. Tentu saja sejumlah pemimpin radikal yang
melakukan tindak kekerasan di antara kedua pihak pun harus dihukum.
Di sini
perlu ditekankan, keikutsertaan penulis dalam demo (long march) tersebut, yang
diperkirakan akan mencapai jumlah 300.0000 orang di Jerusalem (sesuatu yang
jarang terjadi di Timur Tengah. Ini tidak berarti penulis berpihak kepada
siapapun, kecuali kepada penyelesaian damai yang permanent atas sengketa
Israel-Palestina. Dalam hal ini, sikap ‘netral’ memang merupakan kunci yang
harus kita pegang teguh. Dan yang terpenting adalah bagaimana menciptakan
mekanisme perdamaian di kawasan yang selalu penuh dengan pertentangan itu. Ini
yang sering dilupakan orang, akibatnya timbul kecurigaan dari keduabelah pihak.
Hanya dengan negosiasi antara bangsa Yahudi dan Palestina melalui mekanisme
perundingan berkepanjangan, dapat ditimbulkan rasa saling percaya-mempercayai
antara kedua belah pihak yang menjadi persyaratan utama bagi sebuah
“penyelesaian damai” antara mereka. Mudah dikatakan, namun sulit
dilaksanakan, bukan? []
Paris, 12
Desember 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar