Khalifah
at-Thai’: Tak Punya Kuasa, tak Punya Asa
Oleh:
Nadirsyah Hosen
Abu Bakar
Abdul Karim bin al-Muthi’. Begitu nama lengkap Khalifah ke-24 Dinasti
Abbasiyah. Beliau berkuasa dari tahun 974 M sampai dengan 991 M. Gelar yang
disematkan padanya adalah Khalifah at-Thai’ Lillah. Bagaimana kisah Khalifah
yang diangkat saat berusia 43 tahun versi Imam Suyuthi atau 48 tahun versi Ibn
Katsir ini? Mari kita simak lanjutan ngaji sejarah politik Islam.
Kondisi
negara masih belum banyak berubah. Pemerintahan sehari-hari masih dijalankan
oleh Amir al-Umara, yang juga diberi gelar Sultan, dan dikuasai oleh Bani
Buwaihi. Bakhtiar atau yang bergelar ‘Izz ad-Dawlah melanjutkan posisinya.
Bakhtiar ini kerjanya memang hanya berfoya-foya dengan dikelilingi perempuan
dan minuman.
Dikisahkan
sebelumnya, Khalifah al-Muthi’ terserang penyakit lumpuh dan tidak bisa bicara.
Maka, kepala rumah tangga istana (al-Hajib) yang bernama Sabuktakin mengusulkan
al-Muthi’ diganti oleh anaknya, yaitu at-Thai’. Khalifah at-Thai’ kemudian
memberi Sabuktakin panji kehormatan dan bahkan memberikannya posisi Sultan dan
memberinya pula gelar Nashir ad-Dawlah.
Kelihatannya,
sebagai Khalifah baru, at-Thai’ tidak terlalu paham peta politik. Diberikannya
posisi Sulthan dan panji kehormatan kepada Sabuktakin membuat ‘Izz ad-Dawlah
marah. Sabuktakin berasal dari Turki, sedangkan ‘Izz ad-Dawlah berasal dari
Iran. Keduanya akhirnya bertempur berebut pengaruh dan kuasa.
Sabuktakin
berusaha melakukan negosiasi dengan menawarkan wilayah sebelah selatan Irak
kepada ‘Izz ad-Dawlah, sementara Sabuktakin tetap mengendalikan Bagdad. Tawaran
ditolak, maka terjadilah pertempuran di daerah Wasith.
Sabuktakin
memanggil sekutunya para militer Turki. Harap diingat bahwa sebelum
kekhilafahan dikontrol oleh Bani Buwaihi, pada masa al-Mu’tashim (khalifah kedelapan
Abbasiyah) sampai periode al-Mu’tamid (khalifah ke-15),
militer Turki sangat berkuasa penuh. Ini peluang militer Turki untuk kembali
berkuasa. Di samping itu, Sabuktakin ini bermazhab Sunni.
Pada
titik ini, kita melihat potensi konflik yang bisa sangat meluas, yaitu
melibatlan unsur etnik (Iran-Turki) dan juga politik aliran
(Sunni-Syi’ah). Bagaimana respons ‘Izz ad-Dawlah?
‘Izz
ad-Dawlah tidak tinggal diam. Dia meminta bantuan kepada ‘Adhud ad-Dawlah yang
merupakan sepupunya. Bapaknya, ‘Adhud ad-Dawlah, adalah Rukn ad-Dawlah yang
merupakan Amir Senior dari Buwaihi, yang berkuasa di wilayah utara dan pusat
Iran.
Sesampainya
‘Adhud ad-Dawlah di Baghdad, ternyata dia tertarik dengan kehidupan di ibukota,
dan mulai berencana menguasai dan memilih tinggal di Baghdad. ‘Izz ad-Dawlah, dengan
bantuan sepupunya ‘Adhud ad-Dawlah, berhasil mengalahkan Sabuktakin, dan
membunuhnya. ‘Izz ad-Dawlah kembali menguasai Baghdad.
Namun,
bagaimana dengan rencana ‘Adhud ad-Dawlah untuk mengambil alih Baghdad?
Sayangnya, sang ayah, Rukn ad-Dawlah, tidak setuju terjadi perpecahan sesama
keluarga Buwaihi.
Mendengar
kemarahan ayahnya, ‘Adhud menulis surat yang menjelaskan bahwa ‘Izz tidak cakap
memimpin Baghdad. Dan ‘Adhud siap menyerahkan upeti 30 juta dirham per tahun ke
wilayah Irak yang dikuasai Rukn ad-Dawlah. Akan tetapi, tulis ‘Adhud dalam
suratnya, kalau ayahnya punya kebijakan lain dalam hal siapa yang mengelola
Baghdad, maka dia rela pergi ke Iran.
Akhirnya
Rukn ad-Dawlah memutuskan bahwa ‘Izz ad-Dawlah tetap menguasai Baghdad menemani
Khalifah at-Thai’, sementara ‘Adhud ad-Dawlah diberi kekuasaan di Shiraz.
Namun,
Rukn Dawlah wafat tidak lama setelah itu. Posisi Amir Senior diberikan kepada
‘Adhud ad-Dawlah. Jadi, posisi Bani Buwaihi ini unik. Mereka punya wilayah
kekuasaan sendiri, mereka menganggap Baghdad di bawah kekuasaannya, sementara
Khalifah Abbasiyah tetap berjalan sebagai simbol belaka.
Jadi,
kira-kira kondisi Khilafah Abbasiyah saat itu seperti Kesultanan Yogyakarta
yang berkuasa secara simbolis di bawah NKRI. Perbedaanya tentu Khalifah
at-Thai’ hidup seperti tahanan dan tidak punya kuasa apa pun. Sementara Sultan
Yogyakarta diakomodir secara terhormat dengan otomatis sebagai Gubernur DIY
yang berkuasa penuh.
‘Izz
ad-Dawlah merasa dia juga berhak menggantikan Rukn ad-Dawlah sebagai Amir
Senior Dinasti Buwaihi. Maka, sekali lagi, terjadi ketegangan di antara kedua
sepupu ini. Sementara Khalifah at-Thai’ hanya bisa duduk menonton saja. ‘Adhud
melancarkan serangan dengan menguasai Baghdad dan Basrah. Abul Fatah bin Amid
pendukung ‘Izz berhasil ditangkap oleh pasukan ‘Adhud dan matanya dicongkel
hingga buta, lalu dimasukkan penjara.
Sebagai
balasannya, salah seorang menteri ‘Izz bernama Amad yang membelot ke
‘Adhud ditangkap oleh ‘Izz dan kemudian dicongkel matanya. Mata di balas mata.
Namun kedua sepupu ini kemudian melakukan negosiasi dan berdamai.
Namun,
perdamaian hanya sementara. Timbul masalah baru lagi. Imam Suyuthi menceritakan
bahwa seorang budak Turki milik ‘Izz ditawan oleh ‘Adhud. ‘Izz kemudian
mengunpulkan majelis hakim yang dipimpin Ibn Ma’ruf dan mengadukan masalah ini.
Akibat pelayannya ditawan, ‘Izz mengalami kesedihan yang mendalam. Jiwanya
tertekan. ‘Izz mengurung dirinya dan tidak mau hadir dalam berbagai pertemuan.
Lebay banget,
ya?
Entah ada
hubungan khusus apa antara pelayan lelaki yang ditawan ini dengan ‘Izz
ad-Dawlah. Yang jelas, ‘Izz sampai menulis surat kepada ‘Adhud memelas untuk
membebaskan dan mengembalikan pelayannya itu. Walhasil, bisa ditebak, ‘Izz
ad-Dawlah menjadi bahan bully-an
dan cemoohan atas sikapnya itu.
Imam
Suyuthi tidak menuliskan siapa nama pelayan lelaki kesayangan ‘Izz ad-Dawlah
ini. Jadi, maaf saya juga tidak tahu. Bagaimana kalau kita cek ke kitab al-Kamil fit Tarikh karya
Ibn Al-Atsir? Ternyata nama pelayan lelaki dari Turki ini juga tidak disebutkan
namanya. Ibn al-Atsir hanya menyatakan keheranannya saja bahwa ‘Izz sampai
menyatakan urusan ‘ghulam Turki’ ini lebih dia sukai ketimbang urusan
kenegeraan. Ajibbbb…..
‘Izz
ad-Dawlah tidak peduli akan berbagai cemoohan. Dia terus memohon agar ‘Adhud
mengembalikan pelayan lelakinya. Bahkan ‘Izz menawarkan dua budak perempuan
sebagai tebusan. Salah satu budak perempuan itu dibeli dengan sangat mahal
seharga 100 ribu dinar. Lebih dari itu, ‘Izz siap membayar lebih mahal lagi,
asalkan ‘Adhud mengembalikan pelayan lelaki itu. Amboiiiii…..
Akhirnya
‘Adhud mengembalikan pelayan ‘Izz. Cerah deh dunia….
Akan
tetapi relasi antara ‘Izz dan ‘Adhud kembali memanas. Keduanya kembali
bertempur. Apa pasal? ‘Adhud mengizinkan ‘Izz melintasi Syria, dengan syarat
tidak membuat aliansi dengan pihak Bani Hamdan. Dikisahkan sebelumnya bagaimana
pengaruh Bani Hamdan dalam konflik kekuasaan di masa Khalifah Ar-Radhi, Khalifah al-Muttaqi, dan
Khalifah Al-Mustakfi.
Tentu
wajar saja kalau ‘Adhud khawatir bahwa ‘Izz hendak menyusun kekuatan baru.
Kekhawatiran itu ternyata benar. ‘Izz ternyata menjalin kontak dan beraliansi
dengan Bani Hamdan. Akhirnya terjadilah pertempuran di Samarra. Kota Samarra
ini pernah lama menjadi ibu kota Khilafah Abbasiyah. Makanya, kota ini menjadi
salah satu kota penting untuk diperebutkan.
Pasukan
‘Izz ad-Dawlah dan Hamdan bisa dikalahkan oleh ‘Adhud ad-Dawlah. Bahkan Izz
berhasil ditawan. Dan seperti dicatat oleh Imam Suyuthi dalam kitabnya, Tarikh al-Khulafa, ‘Izz
ad-Dawlah dibunuh. Setelah itu ‘Adhud ad-Dawlah menguasai Baghdad, diberi gelar
Sultan, dan diarak berkeliling kota memakai mahkota dan membawa dua bendera
warna perak dan warna emas. Yang pertama, tanda kekuasaan sebagai Gubernur, dan
yang kedua tanda sebagai Putra Mahkota.
Bukan itu
saja. Setiap Subuh, Maghrib, dan Isya ditabuh genderang di depan rumah ‘Adhud
ad-Dawlah. Namanya juga disebutkan dalam setiap khutbah Jum’at. Gelarnya pun
bertambah, yaitu Taj al-Millah. Khalifah tidak bisa menolak dan selalu
menyetujui kehendak ‘Adhud.
Imam
Suyuthi mengatakan: “Simaklah bahasan ini. At-Thai’ adalah seorang Khalifah
yang sangat lemah, yang tidak pernah dialami oleh pemerintahan sebelumnya. Dia
telah memberikan kekuasaan yang begitu besar kepada ‘Adhud ad-Dawlah yang tak
dimiliki oleh seorang Sultan sebelumnya.”
Bahkan
kalau ‘Adhud Dawlah kembali ke Baghdad dari perjalanannya, at-Thai’-lah yang
akan menemui dan menyambutnya. Sang Khalifah berkata: “Saya akan serahkan semua
beban yang Allah berikan kepada saya dalam memimpin wilayah Barat dan Timur
kepadamu. Semua administrasi pemerintahan saya serahkan. Hanya hal-hal yang
sangat khusus saja yang masih menjadi wewenangku. Maka, embanlah tugas itu.”
‘Adhud
ad-Dawlah meninggal pada tahun 983 M. Posisinya digantikan oleh anaknya, Shamsham
ad-Dawlah, yang kemudian diberi gelar gelar Syams al-Millah. Khalifah at-Thai’
memberikannya tujuh pakaian kehormatan, memasangkan mahkota dan sekali lagi
memberinya dua bendera, seperti yang diberikan kepada ayahnya dulu. Sayangnya,
Shamsham ini tidak mewarisi kualitas ayahnya. Dia tidak cakap memimpin.
Seketar 4
tahun kemudian, saudaranya Shamsham yang bernama Syaraf ad-Dawlah menyerang
Baghdad. Tentara berpihak kepada Syaraf. At-Thai’ pun mengikuti siapa yang
menang di antara keduanya. Ketika Syaraf yang menang, maka at-Thai’ memberikan
kehormatan dan posisi Sultan kepada Syaraf ad-Dawlah.
Berikutnya,
3 tahun kemudian, Syaraf meninggal dunia. Posisinya digantikan adiknya yang
bernama Abu Nashr. Gelarnya Baha’ ad-Dawlah. Begitulah, bukan hanya posisi
khalifah yang dikuasakan turun temurun dalam keluarga Abbasiyah. Posisi Amir
al-Umara atau Sultan sebagai pihak yang menjalankan roda pemerintahan
sehari-hari juga diperebutkan dan dikuasakan turun temurun dalam keluarga
Buwaihi. Jangan tanya di mana suara rakyat saat itu. Gak ngefek sama sekali!
Akhirnya,
2 tahun setelah itu, Baha’ af-Dawlah menangkap Khalifah at-Thai’ karena marah
mendengar Khalifah berani memenjarakan kawan dekatnya, Baha’ ad-Dawlah.
At-Thai’ disekap dalam sebuah ruangan. Baha’ pun menulis surat meminta at-Thai’
mengundurkan diri. Maka, berakhirlah kekuasaan at-Thai’. Siapa yang
menggantikannya?
Ibn
Katsir dalam al-Bidayah wan
Nihayah tidak banyak menceritakan mengenai Khalifah at-Thai’. Yang
banyak dibahas dalam kitab tarikh justru soal ‘Izz dan ‘Adhud di atas. Ini saja
menunjukkan betapa tidak pentingnya posisi khalifah di masa ini. Bahkan Buya
Hamka menolak menceritakan kisah lanjutan 15 khalifah terakhir Abbasiyah dan
lompat langsung membahas khalifah terakhirnya saja, yaitu al-Musta’sim.
Bagaimana
dengan ngaji kita? Mau lanjut atau stop saja? []
GEOTIMES,
13 April 2018
Nadirsyah
Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan dosen senior di Faculty
of Law, Monash University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar