Senin, 19 November 2018

Helmy Faishal Zaini: Hidup Bersama Peluk Indonesia


Hidup Bersama Peluk Indonesia
Oleh: A Helmy Faishal Zaini

Dalam sebuah perbincangan serius dengan Greg Fealy—pengamat Indonesia dan politik Islam—beberapa waktu lalu, saya menangkap guratan kekhawatiran yang sangat besar akan masa depan demokrasi di Indonesia.

Ia melihat gelombang populisme dan juga arus konservatisme yang semakin hari kian membesar. Kondisi yang demikian memang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di hampir seluruh dunia. Kendati demikian, yang menarik untuk didiskusikan adalah optimisme indonesianis yang peduli pada bidang antropologi politik dan isu keagamaan ini bahwa masa depan Indonesia, utamanya menyangkut keberlangsungan konsensus berbangsa dan bernegara, ada di pundak kalangan pesantren.

Pernyataan ini, bagi saya, memiliki daya kejut yang besar. Bukan karena jawabannya, melainkan karena ia keluar dari seorang yang memiliki konsepsi imajinatif dan juga demografis yang berbeda dengan kita. Pendapat itu menjadi sangat menarik untuk dikaji karena dikeluarkan oleh salah satu di antara mereka yang memandang Indonesia dari jauh. Menjadi lain jika yang berpendapat itu adalah pengamat atau peneliti yang memang secara kultur, latar sosial, dan juga kultural berasal dari Indonesia.

Santri dan pesantren

Jauh sebelum Greg berpendapat sebagaimana di atas, Nurcholish Madjid mengatakan bahwa masa depan Indonesia berada di genggaman para santri. Tentu saja agar tidak terjebak dengan perdebatan yang tidak perlu, dalam konteks ini yang saya maksud dengan terminologi santri bukanlah terminologi yang didefinisikan oleh Greetz (1988) yang mentrikotomikannya dengan abangan, dan juga priayi. Bukan pula merujuk konsepsi longgar yang dirumuskan KH Ahmad Mustofa Bisri (2016) bahwa santri adalah mereka yang belajar agama Islam dan memiliki akhlak yang baik. Sebuah konsepsi yang mencoba memberikan semacam kelonggaran definisi. Santri yang saya pakai dalam tulisan ini adalah mereka yang hidup dan pernah hidup di lingkungan pesantren. Dalam konteks ini, tentu yang dirujuk adalah konsepsi KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (2001) dalam artikel ”Pesantren sebagai Subkultur” (lihat juga artikel Abdurrahman Wahid di harian ini, ”Pesantren, Profil Sebuah Subkultur” (Kompas, 11 Maret 1972).

Mengapa harus meminjam konsep santri dari Gus Dur? Sebab, karakter santri yang diandaikan bisa menjawab tantangan arus konservatisme di atas tentu saja mereka yang pernah merasakan kehidupan pesantren. Iklim pesantren sangat penting dalam konteks menjadi kawah pendadaran paham kebangsaan santri. ”Dengan pola kehidupan yang unik, pesantren mampu bertahan selama berabad-abad untuk mempergunakan nilai-nilai hidupnya sendiri. Karena itu, dalam jangka panjang pesantren berada dalam kedudukan kultural yang relatif lebih kuat daripada masyarakat sekitarnya. Kedudukan ini dapat dilihat dari kemampuan pesantren untuk melakukan transformasi total dalam sikap hidup masyarakat sekitarnya, tanpa ia sendiri harus mengorbankan identitas dirinya,” demikian Gus Dur mengatakan.

Sejarah mencatat, peran santri dalam memperjuangkan kemerdekaan tidak bisa diragukan lagi. Santri memiliki andil besar dalam menggelorakan semangat untuk merdeka. Rekaman sejarah, termasuk perlawanan-perlawanan kecil yang dipeyoratifkan dengan istilah pemberontakan, terbukti dimotori oleh kalangan pengikut tarekat yang tentu saja sangat berafiliasi dengan tradisi pesantren.

Akar perjuangan santri sesungguhnya bukan semata terlihat sebatas pada momentum merebut kemerdekaan, jauh sebelum itu, akar perjuangan santri sudah ada sejak Islam masuk ke Nusantara. Ketika Islam masuk ke Indonesia sudah berdiri tempat-tempat peribadatan agama lain yang sudah berlangsung sangat lama. Islam tidak merusak Candi Borobudur. Islam tidak merusak Candi Prambanan. Islam juga tidak merusak tempat peribadatan umat lain seperti wihara dan pura. Yang dilakukan justru mengembangkan sebuah dakwah dan pembelajaran dengan cara memberikan contoh melalui nilai-nilai kebaikan, tolong-menolong, cinta kasih antar-sesama dan juga memberikan rasa aman. Itulah yang oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asyari dijadikan sebagai manhajul fikr (metodologi berpikir), sebagai sebuah khasais di mana nilai Islam melebur dengan budaya lokal yang baik yang melahirkan spirit wathoniyyah atau kebangsaan.

Tatkala Islam masuk di Indonesia, Walisongo melakukan harmoni dengan budaya-budaya setempat. Budaya masyarakat yang baik diteruskan dengan memberikan serta memasukkan nilai-nilai serta spirit ajaran Islam. Budaya-budaya yang sangat bertentangan dengan agama, seperti mabuk-mabukan, seks bebas, judi, dan membunuh, dihilangkan.

Menolak ”pokrol bambu”

Seorang pemikir besar Ahmad Amin (1980) mengatakan bahwa konsep kedatangan Islam—di mana pun berada—adalah konsep pembebasan. Semangat Islam adalah menghalau belenggu yang mengerangkeng manusia. Tentu saja belenggu yang dimaksudkan Amin memiliki dimensi yang sangat luas, misalnya belenggu kebodohan, kemunafikan, primitif dalam akhlak dan moral, serta banyak aspek kehidupan lainnya.

Konsep dasar ini tentu saja merupakan fundamen dan ”kredo” nyata bagi siapa saja yang mengaku mewarisi ajaran Nabi, termasuk mereka yang mendakwahkannya. Ulama yang notabene adalah ahli waris para nabi memiliki tugas untuk menyebarkan ajaran Islam yang, sebagaimana disebutkan di atas, memiliki semangat untuk membebaskan.

Dalam konteks dewasa ini, jika kita mendapati realitas yang sebaliknya, yakni ketika semakin banyak pendakwah yang mengaku menyampaikan ajaran Islam, tetapi justru pesan-pesan yang disampaikannya semakin membuat kaku dalam beribadah, maka tidak bisa tidak tentu ada yang salah dalam soal ini. Semangat Islam yang membebaskan, di tangan-tangan para pendakwah kekinian, menjadi sedemikian membelenggu umat. Agama seketika berubah jadi ensiklopedia halal-haram. Lebih celaka lagi, dalam kehidupan seperti ini—menurut para pendakwah itu—lebih dominan haramnya dibandingkan halalnya.

Bung Karno dalam bukunya, Islam Sontoloyo: Pikiran-pikiran Progresif Pemikiran Islam (2017), dengan tajam menulis seperti ini: ”Umat Islam terlalu menganggap fikih itu satu-satunya tiang keagamaan. Kita lupa, atau kita tidak mau tahu, bahwa tiang keagamaan ialah terutama sekali terletak di dalam ketundukan kita punya jiwa kepada Allah. Kita lupa fikih itu, walaupun sudah kita saring semurni-murninya, belum mencukupi semua kehendak agama Islam. Maka, benarlah perkataan Helide Edib Hanoum, bahwa Islam di zaman akhir-akhir ini ’bukan lagi pemimpin hidup, melainkan agama pokrol bambu’. Janganlah kita kira diri kita sudah mukmin, tetapi hendaklah kita insaf, bahwa banyak di kalangan kita yang Islamnya masih Islam sontoloyo.”

Pernyataan Bung Karno kurang lebih memiliki relevansi dengan apa yang kita hadapi sekarang ini. Kemerdekaan yang didengungkan oleh Islam, di tangan juru dakwah yang tidak kompeten, berubah menjadi larangan, kungkungan, ancaman, bahkan anti-toleran. Umat diajak bersifat represif kepada orang lain. Padahal, sebaliknya, dulu Walisongo memilih dakwah yang lebih toleran dan kompromistis serta penuh kelonggaran dan kemerdekaan. Inilah cara santri memeluk Indonesia.

Maka, penting bagi kita untuk kembali merenungkan dan mengkaji makna spirit kemerdekaan ala santri yang dibawa oleh Islam: baik dalam konteks pribadi maupun dalam konteks berbangsa dan bernegara. Menjadi merdeka adalah menjadi pribadi yang membebaskan, bukan malah memandang yang lain sebagai pihak yang selalu salah sehingga perlu mengungkung dan melarang-larang mereka.
Inilah esensi Islam. Dalam konteks berbangsa dan bernegara kita juga harus menjaga ukhuwwah Islamiyyah menuju ukhuwwah wathoniyyah, yang dibingkai dengan spirit ukhuwwah insaniyyah, sehingga kita bisa hidup rukun damai dan harmoni dalam wadah NKRI. Inilah beragama dan bernegara dengan cara santri. []

KOMPAS, 17 November 2018
A Helmy Faishal Zaini | Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar