Demokrasi,
Oh Demokrasi!
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Sistem
demokrasi telah menjadi pilihan Indonesia jauh sebelum proklamasi kemerdekaan.
Hampir tanpa kecuali para pendiri bangsa yakin bahwa Indonesia merdeka harus
ditegakkan di atas sistem politik yang memperlakukan semua warga negara secara
adil dengan prinsip egalitarianisme. Itulah demokrasi yang sebenarnya.
Lain
cita-cita, lain pula yang ditemui dalam realitas politik. Sekalipun demikian,
seorang Hatta sebagai bapak demokrasi Indonesia, dalam teori dan praktik, tidak
pernah ragu tentang demokrasi sebagai sistem politik yang tepat bagi Indonesia.
Keyakinan Hatta itu dalam sekali, tidak pernah goyah, sekalipun demokrasi di
Indonesia timbul tenggelam, kemudian timbul lagi.
Selama
lebih dari 73 tahun pascaproklamasi, kita dapat menyaksikan dengan terang
benderang proses demokrasi yang timbul tenggelam itu. Bukan karena sistem itu
punya cacat sejak lahir, melainkan lebih karena politisi pendukungnya tidak mau
naik kelas menjadi negarawan, sebagaimana sudah berkali saya tuliskan dalam
Resonansi ini.
Tipologi
politisi sumbu pendek inilah yang menjadi perintang utama bagi mekarnya sebuah
bangunan demokrasi yang sehat dan kuat di taman sari Indonesia merdeka.
Dalam
tenggat selama lebih dari tujuh dasawarsa, kita telah mengenal corak demokrasi
yang bervariasi di Indonesia. Ada demokrasi liberal, ada demokrasi terpimpin
yang minus demokrasi itu, ada demokrasi Pancasila yang tidak banyak berbeda
dengan demokrasi terpimpin dalam hal terpasungnya kebebasan berpendapat, demi
dalih pembangunan dan stabilitas nasional.
Apa yang
disebut sebagai demokrasi Pancasila ini bertahan paling lama dalam sejarah
modern Indonesia, yaitu 32 tahun, untuk kemudian berantakan dengan luka politik
dan luka ekonomi yang diwariskannya. Tetapi, pandaikah bangsa ini belajar dari
pengalaman penuh luka itu?
Kemampuan
dan kesediaan belajar itulah yang terasa lemah sekali setelah kita mengalami
era reformasi selama 20 tahun sejak 1998. Dengan slogan demokrasi yang tanpa
nama ini, kita gulirkan gagasan-gagasan segar untuk membenahi masalah bangsa
dan negara maritim ini yang serbakompleks ini.
Dibentuklah
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), MK (Mahkamah Konstitusi), KY (Komisi
Yudisial), PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan). Semua
lembaga ini adalah produk gerakan reformasi yang sangat positif, sekalipun
dalam praktik ada di antaranya yang lupa daratan lupa lautan seperti yang
berlaku pada KPK dan MK, karena pimpinannya tidak taat asas. Namun, kedua
lembaga kembali berbenah diri agar kepercayaan publik kepadanya tidak hancur.
KY dan
PPATK relatif aman dalam menjaga martabatnya hingga hari ini, sekalipun tidak
selalu efektif dalam mengemban fungsinya. Kultur politik yang kumuh tidak
jarang menjadi faktor yang memengaruhi lembaga-lembaga di atas untuk
menjalankan tugasnya dengan baik dan bebas. Lain halnya MA (Mahkamah Agung)
yang lahir bersama lahirnya negara ini sering mendapat kecaman keras dari
publik pencari keadilan.
MA sering
ditengarai tidak peka terhadap tuntutan keadilan masyarakat. Kasus yang masih
hangat, misalnya MA mengabulkan tuntutan seseorang yang melegalkan pimpinan
partai politik untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD. Padahal, keputusan
MK telah melarangnya.
Akibatnya,
publik jadi bingung: dua lembaga peradilan berseteru dalam mengambil
keputusannya. Ini sangat tidak sehat. Nalar publik jelas berpihak kepada MK,
tetapi MA tidak beranjak dari pendiriannya. Bagi demokrasi, fenomena konflik
dua lembaga peradilan ini sangat merusak sistem politik yang masih
tertatih-tatih dalam proses mencari jati dirinya yang senapas dengan ruh
Pancasila.
Gerakan
reformasi juga didorong oleh semangat anti-KKN yang sangat kuat dan kental.
Tetapi ironisnya, virus KKN ini pulalah yang telah menggerogoti batang
tubuhnya, bahkan bisa menggali kuburan masa depannya.
Akhirnya,
demokrasi, oh demokrasi, kapan kau terbebas dari segala penyakit sumbu pendek
yang tetap saja merintangi kau untuk terbang tinggi? []
REPUBLIKA,
27 November 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar