NU Bukan ‘Satpam’
Biasa
Judul
: NU Penjaga NKRI
Penulis
: Agus Sunyoto, dkk
Editor
: Iip D Yahya
Kata
pengantar
: Mgr Ignatius Suharyo
Kata
Penutup
: KH Said Aqil Siroj
Penerbit
: Kanisius
Tebal
: xviii +
365 Halaman
Peresensi
: Mahbib Khoiron, penikmat buku, tinggal di Bogor
Dalam sebuah ceramah,
KH Ahmad Mustofa Bisri atau akrab dipanggil Gus Mus bercerita tentang curhatnya
kepada KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuth
Thalibin ini mengeluh ke Gus Dur ikhwal pangkat NU yang tidak kunjung naik:
jadi satpam terus. Jika ada bahaya, NU maju ke depan. Namun begitu bahaya itu
hilang, NU kembali duduk di pojokan sambil rokok-an.
Dalam obrolan
tersebut, Gus Dur yang saat itu tiduran di lantai melontarkan jawaban singkat
namun mengentikan omongan: "Lha, apa kurang mulia menjadi
satpam?"
Jawaban Gus Dur
menunjukkan bahwa NU bukan satpam biasa. Perannya menembus kepentingan golongan
dengan skala jangka pendek. Memang NU adalah sekuriti bagi sebuah rumah indah
namun menyimpan banyak tantangan, bernama Indonesia. Ya, NU adalah penjaga bagi
kelangsungan hidup bangsa yang sangat majemuk dengan segenap risiko perpecahan
di dalamnya.
“Satpam mulia” yang
dikemukakan Gus Dur adalah afirmasi dari besarnya kekuatan NU dalam menopang
keutuhan negara kepuluan terbesar di dunia ini. Sejarah mencatat, dalam momen
perlawanan terhadap penjajah era pra-kemerdekaan hingga berbagai
gonjang-ganjing pemberontakan sejumlah kelompok di tanah air, NU tidak pernah
absen. Kiprahnya sangat menentukan bagi masa depan bangsa.
Tapi tentu saja
ucapan Gus Dur tak lantas membenarkan tingkah sebagian elite yang hanya
memanfaatkan ormas Islam terbesar ini sekadar sebagai “pemadam
kebakaran”—meskipun tugas ini juga tidak negatif. Sebagai bagian dari bangsa,
NU punya beban moral untuk senantiasa terlibat mengatasi permasalah di negeri
ini, diminta maupun tidak diminta. Memang, tanggung jawab kebangsaan adalah
satu persoalan, sementara kelakuan elite adalah persoalan lain.
Buku “NU Penjaga
NKRI” mengungkap perihal tugas penjaga ini secara lebih luas. Secara tersirat
tertangkap pesan bahwa fungsi penjaga bukanlah peran sekunder layaknya satpam
rumah yang bekerja kepada pemilik rumah. Ini tugas primer sebagaimana seorang
ayah yang bertanggung jawab melindungi istri dan anak-anaknya. Wajahnya pun
multidimensi: bisa ketika menjadi kekuatan sipil (civil society), saat menjadi
bagian dari pemerintahan, atau kala berperan pada dua ranah itu sekaligus.
Komitmen tersebut berangkat dari kesadaran-memiliki yang tinggi karena merasa
berkontribusi mendirikan republik ini. Artinya, NU menjadi penjaga karena dia
memang (salah satu) pemilik.
Buku kumpulan tulisan
dari para pemikir NU dan tokoh lintas agama ini membeberkan, antara lain, akar
sejarah mengapa NU begitu kuat mencintai dan membela tanah airnya. Sejarawan
Agus Sunyoto, misalnya, mengurai tentang menyatunya ajaran Islam dalam tubuh
masyarakat Indonesia melalui kejeniusan dakwah Wali Songo. Pendekatan kultural
dalam bersyiar bukan hanya membuat Muslim pribumi tidak anti-tradisi tapi juga
mengakar kuat dengan lokalitasnya. Fase-fase tersebut menentukan fakta apa yang
Agus sebut sebagai “eksistensi Islam Nusantara”. Inilah buah pribumisasi Islam
yang mendapat sorotan khusus dalam buku ini melalui tulisan Trisno S Susanto
dalam Gus Dur, Pribumisasi Islam, dan Pancasila.
Buku ini juga
mengulas seputar pernak-pernik keterlibatan NU dalam melindungi minoritas yang
tertindas. Temuan riset Amin Mudzakir menampik tuduhan bahwa agama selalu
menjadi biang konflik. Ketika kelompok kecil Ahmadiyah dan Syiah didiskriminasi,
diperkusi, bahkan diserang secara fisik oleh sebagian umat Islam, NU sebagai
umat Islam itu sendiri justru tampil memberikan advokasi dan perlindungan. Hal
ini setidaknya terlihat pada upaya pendampingan pada jemaat Ahmadiyah di
Tasikmalaya dan Mataram, serta komunitas Syiah di Pasuruan dan Sampang. Usaha
memulihkan hak-hak sipil dan kemanusiaan warga minoritas banyak diperankan
anak-anak muda NU yang aktif di Gerakan Pemuda Ansor dan Lakpesdam NU.
Setelah disuguhi
sejumlah artikel tentang NU, pesantren, dan pergulatannya di dalam negeri,
pembaca juga diajak untuk melihat NU di kancah dunia. Ada yang menjelaskan
bagaimana warga NU di Mesir tetap kukuh dalam mengoperasikan manhajul fikr
an-nahdliyah (metode berpikir ke-NU-an) dalam melihat pluralitas,
negara-bangsa, dan kemaslahatan. Selain Mesir (Afrika), pembaca juga diajak
mengunjungi aktivitas NU di Philadelphia (Amerika Serikat), Jerman (Eropa),
Jepang (Asia), dan Brisbane (Australia). Paparan-paparannya berpusat pada
betapa beragam dan dinamisnya tantangan NU di luar negeri, tapi Nahdliyin yang
tengah berdiaspora itu sepakat bahwa model keberagamaan NU yang menjunjung
tinggi moderatisme (tawasutiyah) kompatibel di berbagai kawasan dan karenanya
bukan mustahil gagasan Islam Nusantara bakal mendunia.
Kembali ke dalam
negeri, apresiasi terhadap NU ditunjukkan oleh Romo Katolik Franz
Magnis-Suseno. Ia merasa bersyukur di tahun-tahun geger pada senja Orde Baru
dan permulaan reformasi 1996-2000 NU menjadi unsur penentram dalam diri bangsa
yang sedang “panas”. Mengambil sikap konstruktif, bukan obstruktif. Hanya saja,
sebagai ormas Islam yang kuat, NU akan selalu menghadapi tantangan baru.
Menurut Magnis, Indonesia—termasuk NU—sedang menghadapi masalah setidaknya
dalam dua hal: ekstremisme agama dan kebusukan korupsi dalam kelas politik yang
kian merajalela.
Tentu masih banyak
sekali tantangan NU yang belum diungkap dalam buku 365 halaman ini. Misalnya
tentang bagaimana kritik NU terhadap kesenjangan ekonomi, kedaulatan pangan,
tata urus pengelolaan sumber daya alam, atau sejenisnya. Meski frekuensi
kemunculannya kalah sering dengan isu konflik identitas, sektro-sektor tersebut
bisa jadi merupakan akar dari beragam masalah gawat yang membahayakan NKRI.
Kita berharap NU memimpin proses pemecahan solusi itu.
Sebagaimana kumpulan
tulisan pada umumnya, sulit mendapat koherensi utuh antara satu tulisan dengan
tulisan yang lain dalam buku ini, dari awal hingga akhir. Terlebih para penulis
terdiri dari latar belakang yang berbeda-beda. Sebagian penulis ada yang fokus
pada sudut sejarah, refleksi atas kawasan yang singgahi, testimoni ketokohan
orang, potensi lembaga yang ia pimpin, dan seterusnya. Tidak semua tulisan
merupakan hasil riset mendalam, bahkan sebagian merupakan bentuk transkripsi
wawancara. Terlepas dari beberapa kelemahannya, buku ini setidaknya menyuguhkan
kesegaran baru di tengah problem di Indonesia yang masih terus menghimpit,
mulai dari ekonomi, politik, keagamaan, hingga budaya. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar