Senin, 19 November 2018

(Buku of the Day) NU Penjaga NKRI


NU Bukan ‘Satpam’ Biasa


Judul                            : NU Penjaga NKRI
Penulis                         : Agus Sunyoto, dkk
Editor                           : Iip D Yahya
Kata pengantar              : Mgr Ignatius Suharyo
Kata Penutup                : KH Said Aqil Siroj
Penerbit                        : Kanisius
Tebal                            : xviii + 365 Halaman
Peresensi                      : Mahbib Khoiron, penikmat buku, tinggal di Bogor

Dalam sebuah ceramah, KH Ahmad Mustofa Bisri atau akrab dipanggil Gus Mus bercerita tentang curhatnya kepada KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuth Thalibin ini mengeluh ke Gus Dur ikhwal pangkat NU yang tidak kunjung naik: jadi satpam terus. Jika ada bahaya, NU maju ke depan. Namun begitu bahaya itu hilang, NU kembali duduk di pojokan sambil rokok-an.

Dalam obrolan tersebut, Gus Dur yang saat itu tiduran di lantai melontarkan jawaban singkat namun mengentikan omongan:  "Lha, apa kurang mulia menjadi satpam?"

Jawaban Gus Dur menunjukkan bahwa NU bukan satpam biasa. Perannya menembus kepentingan golongan dengan skala jangka pendek. Memang NU adalah sekuriti bagi sebuah rumah indah namun menyimpan banyak tantangan, bernama Indonesia. Ya, NU adalah penjaga bagi kelangsungan hidup bangsa yang sangat majemuk dengan segenap risiko perpecahan di dalamnya.

“Satpam mulia” yang dikemukakan Gus Dur adalah afirmasi dari besarnya kekuatan NU dalam menopang keutuhan negara kepuluan terbesar di dunia ini. Sejarah mencatat, dalam momen perlawanan terhadap penjajah era pra-kemerdekaan hingga berbagai gonjang-ganjing pemberontakan sejumlah kelompok di tanah air, NU tidak pernah absen. Kiprahnya sangat menentukan bagi masa depan bangsa.

Tapi tentu saja ucapan Gus Dur tak lantas membenarkan tingkah sebagian elite yang hanya memanfaatkan ormas Islam terbesar ini sekadar sebagai “pemadam kebakaran”—meskipun tugas ini juga tidak negatif. Sebagai bagian dari bangsa, NU punya beban moral untuk senantiasa terlibat mengatasi permasalah di negeri ini, diminta maupun tidak diminta. Memang, tanggung jawab kebangsaan adalah satu persoalan, sementara kelakuan elite adalah persoalan lain.

Buku “NU Penjaga NKRI” mengungkap perihal tugas penjaga ini secara lebih luas. Secara tersirat tertangkap pesan bahwa fungsi penjaga bukanlah peran sekunder layaknya satpam rumah yang bekerja kepada pemilik rumah. Ini tugas primer sebagaimana seorang ayah yang bertanggung jawab melindungi istri dan anak-anaknya. Wajahnya pun multidimensi: bisa ketika menjadi kekuatan sipil (civil society), saat menjadi bagian dari pemerintahan, atau kala berperan pada dua ranah itu sekaligus. Komitmen tersebut berangkat dari kesadaran-memiliki yang tinggi karena merasa berkontribusi mendirikan republik ini. Artinya, NU menjadi penjaga karena dia memang (salah satu) pemilik.

Buku kumpulan tulisan dari para pemikir NU dan tokoh lintas agama ini membeberkan, antara lain, akar sejarah mengapa NU begitu kuat mencintai dan membela tanah airnya. Sejarawan Agus Sunyoto, misalnya, mengurai tentang menyatunya ajaran Islam dalam tubuh masyarakat Indonesia melalui kejeniusan dakwah Wali Songo. Pendekatan kultural dalam bersyiar bukan hanya membuat Muslim pribumi tidak anti-tradisi tapi juga mengakar kuat dengan lokalitasnya. Fase-fase tersebut menentukan fakta apa yang Agus sebut sebagai “eksistensi Islam Nusantara”. Inilah buah pribumisasi Islam yang mendapat sorotan khusus dalam buku ini melalui tulisan Trisno S Susanto dalam Gus Dur, Pribumisasi Islam, dan Pancasila.

Buku ini juga mengulas seputar pernak-pernik keterlibatan NU dalam melindungi minoritas yang tertindas. Temuan riset Amin Mudzakir menampik tuduhan bahwa agama selalu menjadi biang konflik. Ketika kelompok kecil Ahmadiyah dan Syiah didiskriminasi, diperkusi, bahkan diserang secara fisik oleh sebagian umat Islam, NU sebagai umat Islam itu sendiri justru tampil memberikan advokasi dan perlindungan. Hal ini setidaknya terlihat pada upaya pendampingan pada jemaat Ahmadiyah di Tasikmalaya dan Mataram, serta komunitas Syiah di Pasuruan dan Sampang. Usaha memulihkan hak-hak sipil dan kemanusiaan warga minoritas banyak diperankan anak-anak muda NU yang aktif di Gerakan Pemuda Ansor dan Lakpesdam NU.

Setelah disuguhi sejumlah artikel tentang NU, pesantren, dan pergulatannya di dalam negeri, pembaca juga diajak untuk melihat NU di kancah dunia. Ada yang menjelaskan bagaimana warga NU di Mesir tetap kukuh dalam mengoperasikan manhajul fikr an-nahdliyah (metode berpikir ke-NU-an) dalam melihat pluralitas, negara-bangsa, dan kemaslahatan. Selain Mesir (Afrika), pembaca juga diajak mengunjungi aktivitas NU di Philadelphia (Amerika Serikat), Jerman (Eropa), Jepang (Asia), dan Brisbane (Australia). Paparan-paparannya berpusat pada betapa beragam dan dinamisnya tantangan NU di luar negeri, tapi Nahdliyin yang tengah berdiaspora itu sepakat bahwa model keberagamaan NU yang menjunjung tinggi moderatisme (tawasutiyah) kompatibel di berbagai kawasan dan karenanya bukan mustahil gagasan Islam Nusantara bakal mendunia.

Kembali ke dalam negeri, apresiasi terhadap NU ditunjukkan oleh Romo Katolik Franz Magnis-Suseno. Ia merasa bersyukur di tahun-tahun geger pada senja Orde Baru dan permulaan reformasi 1996-2000 NU menjadi unsur penentram dalam diri bangsa yang sedang “panas”. Mengambil sikap konstruktif, bukan obstruktif. Hanya saja, sebagai ormas Islam yang kuat, NU akan selalu menghadapi tantangan baru. Menurut Magnis, Indonesia—termasuk NU—sedang menghadapi masalah setidaknya dalam dua hal: ekstremisme agama dan kebusukan korupsi dalam kelas politik yang kian merajalela.

Tentu masih banyak sekali tantangan NU yang belum diungkap dalam buku 365 halaman ini. Misalnya tentang bagaimana kritik NU terhadap kesenjangan ekonomi, kedaulatan pangan, tata urus pengelolaan sumber daya alam, atau sejenisnya. Meski frekuensi kemunculannya kalah sering dengan isu konflik identitas, sektro-sektor tersebut bisa jadi merupakan akar dari beragam masalah gawat yang membahayakan NKRI. Kita berharap NU memimpin proses pemecahan solusi itu.

Sebagaimana kumpulan tulisan pada umumnya, sulit mendapat koherensi utuh antara satu tulisan dengan tulisan yang lain dalam buku ini, dari awal hingga akhir. Terlebih para penulis terdiri dari latar belakang yang berbeda-beda. Sebagian penulis ada yang fokus pada sudut sejarah, refleksi atas kawasan yang singgahi, testimoni ketokohan orang, potensi lembaga yang ia pimpin, dan seterusnya. Tidak semua tulisan merupakan hasil riset mendalam, bahkan sebagian merupakan bentuk transkripsi wawancara. Terlepas dari beberapa kelemahannya, buku ini setidaknya menyuguhkan kesegaran baru di tengah problem di Indonesia yang masih terus menghimpit, mulai dari ekonomi, politik, keagamaan, hingga budaya. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar