Jumat, 30 November 2018

(Ngaji of the Day) Bolehkah Dua Jumatan dalam Satu Desa?


Bolehkah Dua Jumatan dalam Satu Desa?

Tiap ibadah memang harus memenuhi ketentuan dan prosedur yang ditetapkan syari’at, tak terkecuali dalam pelaksanaan shalat Jumat. Salah satu permasalahan yang sering diperbincangkan adalah mengenai pendirian shalat Jumat lebih dari satu dalam satu desa, atau lebih dikenal dengan ta’addud al-jumat (berbilangnya Jumat). Motif dua jumatan dalam satu desa bermacam-macam, adakalanya karena keterbatasan daya tampung masjid, karena konflik di antara penduduk desa, atau sebatas meneruskan tradisi yang berlaku. Bagaimana pendapat para ulama dalam menyikapi hal tersebut?

Dalam permasalahan ini terdapat tiga pendapat sebagai berikut:

? Pendapat pertama, yaitu pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i, dua jumatan dalam satu desa tidak diperbolehkan kecuali ada hajat.

Pendapat ini bertendensi bahwa Nabi dan khulafa’ al-Rasyidin setelahnya tidak menjalankan Jumat kecuali dalam satu tempat. Nabi sendiri memerintahkan agar umatnya melakukan shalat sebagaimana shalat beliau.

Syekh abu al-Husain Yahya bin Abi al-Khair al-‘Umrani mengatakan:

دليلنا أن النبي - صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - والخلفاء من بعده، ما أقاموا الجمعة إلا في موضع واحدٍ، وقد قال النبي - صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «صلوا كما رأيتموني أصلي».

“Dalil kita adalah bahwa Nabi dan para khalifah setelahnya tidak mendirikan Jumat kecuali dalam satu tempat, dan sesungguhnya Nabi bersabda, shalatlah sebagaimana kalian melihat caraku melakukan shalat.” (Syekh Abu al-Husain Yahya bin Abi al-Khair al-‘Umrani, al-Bayan, juz 2, halaman 620).

Sedangkan jika terdapat hajat, maka diperbolehkan. Hajat yang memperbolehkan berdirinya lebih dari satu Jumat dalam satu desa ada tiga. Pertama, sempitnya tempat shalat sekiranya tidak dapat menampung seluruh jamaah Jumat. Kedua, konflik internal di antara penduduk desa. Ketiga, jauhnya jarak menuju tempat Jumatan, adakalanya karena berada pada sebuah tempat yang tidak dapat terdengar azan Jumat di tempat tersebut, atau berada pada tempat yang seandainya seseorang berangkat dari tempat tersebut setelah terbit fajar, maka ia tidak dapat menemui Jumat.

Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur menegaskan:

والحاصل من كلام الأئمة أن أسباب جواز تعددها ثلاثة : ضيق محل الصلاة بحيث لا يسع المجتمعين لها غالباً ، والقتال بين الفئتين بشرطه ، وبعد أطراف البلد بأن كان بمحل لا يسمع منه النداء ، أو بمحل لو خرج منه بعد الفجر لم يدركها ، إذ لا يلزمه السعي إليها إلا بعد الفجر اهـ

“Kesimpulan dari statemen para imam, sebab-sebab diperbolehkannya berbilangnya jumat ada tiga. Pertama, sempitnya tempat shalat, dengan sekira tidak dapat menampung jamaah jumat menurut keumumannya. Kedua, pertikaian di antara kedua kubu sesuai dengan syaratnya. Ketiga, jauhnya sisi desa, dengan sekira berada pada tempat yang tidak terdengar azah atau di tempat yang seandainya seseorang keluar dari tempat tersebut setelah fajar, ia tidak akan menemui jumat, sebab tidak wajib baginya menuju tempat jumat, kecuali setelah terbit fajar subuh.” (Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur, Bughyah al-Mustarsyidin, Beirut, Dar al-Fikr, 1995, halaman 51)

? Pendapat kedua, versi Syekh Abdul Wahhab al-Sya’rani yang menetapkan hukum boleh dengan syarat tidak menimbulkan fitnah.

Syekh al-Sya’rani berargumen bahwa ‘illat mengapa para sahabat dan khalifah terdahulu tidak melaksanakan dua Jumat satu desa karena khawatir menimbulkan fitnah, sebab keadaan pada waktu itu menuntut orang Islam bersatu dalam satu komando imam besar, sehingga apabila ada kelompok yang membuat jumatan tandingan, maka akan menimbulkan stigma negatif dan kekacauan bahwa ada kelompok yang membelot dari al-imam al-A’zham. Potensi fitnah yang demikian seiring berjalannya waktu, sudah hilang, dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan bila diadakan dua jumatan dalam satu desa. Maka, menurut al-Sya’rani pendirian dua Jumatan dalam satu desa sah-sah saja sepanjang tidak menimbulkan fitnah. Di sisi yang lain, menurut al-Sya’rani, tidak ada dalil yang secara tegas melarang pendirian dua jumat dalam satu tempat.

Beliau menegaskan:

فلما ذهب هذا المعنى الذى هو خوف الفتنة من تعدد الجمعة جاز التعدد على الأصل في إقامة الجماعة ولعل ذلك مراد داود بقوله إن الجمعة كسائر الصلوات ويؤيده عمل الناس بالتعدد في سائر الأمصار من غير مبالغة في التفتيش عن سبب ذلك ولعله مراد الشارع ولو كان التعدد منهيا عنه لا يجوز فعله بحال لورود ذلك ولو في حديث واحد فلهذا نفذت همة الشارع في التسهيل على أمته في جواز التعدد في سائر الأمصار حيث كان أسهل عليهم من الجمع في مكان واحد فافهم

“Saat substansi pelarangan ini hilang, yaitu kekhawatiran fitnah, maka diperbolehkan berbilangnya jumat sesuai dengan hukum asal pendirian shalat jamaah. Yang demikian ini barang kali yang dikehendaki Imam Daud dalam statemennya, sesungguhnya Jumat seperti shalat-shalat lainnya. Kesimpulan ini dikuatkan dengan fakta bahwa terjadi berbilangnya jumatan di sekian tempat tanpa berlebihan dalam meneliti penyebabnya, barangkali ini yang dikehendaki syari’at. Andaikan berbilangnya Jumat dilarang, niscaya tidak diperkenankan sama sekali, karena ada hadits yang melarangnya, meski hanya satu hadits. Dari pertimbangan ini, terlihat jelas esensi syariat untuk memudahkan umat Islam dalam kebolehan berbilangnya jumat di seluruh penjuru dunia, sekiranya hal tersebut lebih memudahkan mereka dibandingkan dengan berkumpul dalam satu tempat Jumat. Maka pahamlah akan hal tersebut.” (Syekh Abdul Wahhab al-Sya’rani, al-Mizan al-Kubra, Semarang, Toha Putera, tt., juz 1, halaman 209)

? Pendapat ketiga, versi Syekh Isma’il Zain diperbolehkan asalkan jamaah tidak kurang dari 40 orang di masing-masing tempat.

Syekh Isma’il al-Zain, ulama bermadzhab Syafi’i dari Yaman berargumen bahwa tidak ada dalil yang tegas atau bahkan yang mendekati tegas, yang melarang pendirian dua Jumat dalam satu desa. Bahkan semakin banyak pendirian Jumat dalam satu desa justru semakin membesarkan syi’ar Islam. Hanya saja, kebolehan pendirian dua jumat atau lebih tersebut disyaratkan masing-masing Jumat terdiri dari minimal 40 jamaah, sebab jumlah tersebut adalah yang sesuai dengan tuntunan hadits Nabi.

Dalam fatwanya, Syekh Isma’il al-Zain mengatakan:

 مسألة - ما قولكم في تعدد الجمعة في بلدة واحدة أو قرية واحدة مع تحقق العدد المعتبر في كل مسجد من مساجدها فهل تصح جمعة الجميع أو فيه تفصيل فيما يظهر لكم ؟ (الجواب) أما مسألة تعدد الجمعة فالظاهر جواز ذلك مطلقا بشرط أن لا ينقص عدد كل عن أربعين رجلا فإن نقص عن ذلك إنضموا إلى أقرب جمعة إليهم إذ لم ينقل عن النبي (أنه جمع بأقل من ذلك وكذلك سلف الصالح من بعده) والقول بعدم الجواز إلا عند تعذر الاجتماع في مكان واحد ليس عليه دليل صريح ولا ما يقرب من الصريح لا نصا ولا شبهه بل أن سر مقصود الشرع هو في إظهار الشعار في ذلك اليوم وأن ترفع الأصوات على المنابر بالدعوة إلى الله والنصح للمسلمين فكلما كانت المنابر أكثر كانت الشعارات أظهر وتبارزت عزة دين الإسلام في آن واحد في أماكن متعدد إذا كان كل مسجد عامرا بأربعين فأكثر هذا هو الظاهر لي والله ولى التوفيق اهـ

“Sebuah permasalahan, apa pendapat anda mengenai berbilangnya jumat dalam satu desa ketika sudah terpenuhinya jumlah minimal jamaah jumat di setiap masjidnya?. Apakah sah jumat mereka atau ada perincian? Beliau menjawab, permasalahan berbilangnya jumat, pendapat yang jelas menurutku adalah diperbolehkan secara mutlak dengan syarat jumlah jamaah masing-masing jumat tidak kurang dari 40 laki-laki, apabila kurang dari jumlah tersebut, maka harus dikumpulkan dengan tempat jumat terdekat, sebab tidak pernah dikutip dari Nabi dan salaf al-Shalih setelahnya bahwa Jumat kurang dari jumlah tersebut. Adapun pendapat yang tidak memperbolehkan berbilangnya jumat dalam satu tempat kecuali saat sulitnya berkumpul, tidak memiliki dalil yang tegas bahkan yang mendekati tegaspun tidak ada, baik berupa dalil nash atau yang serupanya. Bahkan rahasia dari maksud syariat berada pada memperlihatkan syiar Islam pada hari jumat tersebut dan suara-suara dinyaringkan di atas mimbar-mimbar dengan mengajak kepada Allah dan memberi nasehat kepada kaum muslimin. Saat mimbar-mimbar semakin banyak, niscaya syi’ar-syi’ar Islam semakin tampak dan kemuliaan agama Islam terlihat jelas dalam satu waktu di beberapa tempat apabila setiap masjid diramaikan dengan 40 jamaah atau lebih. Inilah pendapat yang jelas menurutku”. (Syekh Isma’il al-Zain, Qurrah al-‘Ain bi Fatawa Isma’il al-Zain, halaman 83).

Demikian ikhtilaf ulama dalam masalah pendirian dua Jumat atau lebih dalam satu desa. Masing-masing memiliki tendensi dan dalil sesuai dengan ijtihadnya. Penerapannya tinggal disesuaikan dengan yang paling mashlahat sesuai daerahnya masing-masing. Wallahu a’lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar