Perda Agama
Oleh: Azyumardi Azra
Isu tentang peraturan daerah berbasis agama (perda syariah atau
perda injil) sebenarnya nyaris tidak lagi menjadi wacana di ruang publik dalam
beberapa tahun terakhir. Hal ini terutama terkait kecenderungan penurunan
signifikan penetapan perda berbasis agama di sejumlah daerah di Indonesia sejak
2007 atau 2013 sesuai temuan beberapa kajian ilmiah-akademis.
Oleh karena itu, agak mengagetkan kehebohan yang muncul karena
pernyataan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie bahwa
partainya menolak mendukung perda yang dilandasi tafsir keagamaan, baik perda
syariah maupun perda injil. Pernyataan Grace ini dianggap kalangan tertentu
sebagai ”penistaan agama” dan kemudian melaporkannya ke kepolisian.
Ini adalah kasus pertama di mana seseorang (dalam hal ini Grace
Natalie) dianggap kalangan tertentu sebagai melakukan ”penodaan agama” karena
tidak mendukung perda yang dilandasi tafsir keagamaan. Sejak maraknya perda
jenis ini pada 1999, tidak satu pun di antara penentangnya yang pernah
dilaporkan ke kepolisian.
Kegaduhan akibat pernyataan Grace Natalie tampak terkait dengan
politik menjelang Pemilu 2019. Menjadi salah satu pendukung pasangan calon
presiden-calon wakil presiden Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin, isu pernyataan Ketua
Umum PSI tentang perda ini boleh jadi dapat dikapitalisasi untuk
mendiskreditkan pasangan calon nomor urut 01.
Dinamika dan kepentingan politik menjadi salah satu penyebab
adopsi perda berbasis agama yang disebut Robin Bush dalam kajiannya (Regional Sharia Regulations in
Indonesia: Anomaly or Symptom?”, 2008) sebagai religion-based local regulation atau religion-influenced regional regulation.
Perda berbasis syariah (shari’ah-by
laws) mulai diadopsi sejumlah daerah sejak 1999. Sepanjang periode
1999-2007, Bush mencatat ada 78 perda berbasis syariah yang diberlakukan di
beberapa provinsi dan kota/kabupaten.
Lebih jauh, Bush mengemukakan, sejak saat itu, perda berbasis
syariah mengalami peningkatan dan kemerosotan; mencapai puncaknya pada 2003
dengan 23 perda, 15 perda pada 2004, 5 perda pada 2005, kemudian 5 perda pada
2006, dan tidak ada pada 2007.
Jumlah perda syariah lebih besar diberikan Dani Muhtada dalam
disertasinya (2013). Dia mencatat, ada 422 ”perda syariah” sampai pertengahan
2013. Namun, cakupan perda syariah yang dia kemukakan sangat luas, mencakup
bukan hanya perda, melainkan juga instruksi dan surat edaran kepala daerah.
Oleh karena itu, perlu penelitian lebih lanjut mengenai dinamika
perda berbasis agama dengan pengertian dan cakupan lebih jelas. Dengan
pengertian, pemilahan tipologi dan kategorisasi lebih jelas dapat dirumuskan
respons, langkah, dan kebijakan dari pihak terkait, khususnya Kementerian Dalam
Negeri.
Perda antimaksiat, seperti pelacuran, judi, dan minuman keras,
sering disebut sebagai perda syariah. Padahal, perda semacam ini lebih terkait
dengan pemeliharaan ketertiban umum, yang menjadi kepedulian semua agama dan
umatnya, organisasi masyarakat sipil dan pemerintah.
Perda yang dapat disebut sebagai berbasis syariah pada dasarnya
lebih terkait dengan, pertama, ketentuan tentang pemakaian busana
muslim/muslimah di lembaga milik negara, seperti sekolah negeri atau kantor
pemerintahan. Tercakup pula perda tentang perlunya kecakapan membaca Al Quran
untuk pengangkatan dan promosi dalam posisi pemerintahan.
Selain itu, masih ada perda yang bisa diperdebatkan, apakah
termasuk perda berbasis syariah atau tidak. Perda-perda semacam ini terkait
dengan pengumpulan zakat, infak, dan sedekah yang merupakan turunan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Lalu, ada pula
perda tentang pendidikan Islam yang merupakan turunan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Perda-perda antimaksiat pada satu pihak dan perda-perda berbasis
syariah tentang pemakaian busana muslim dan kecakapan membaca Al Quran dapat
menimbulkan diskriminasi, baik intra-Muslim maupun dengan penganut agama
non-Muslim.
Pertama, perda antimaksiat mengandung bias dan prasangka terhadap
perempuan sebagai sumber maksiat. Sementara perda tentang pemakaian busana
muslim mendiskriminasikan sebagian Muslim yang karena alasan tertentu—termasuk
dalil agama—tidak memakai busana muslim atau sebaliknya non-Muslim yang
”terpaksa” memakai busana muslim, khususnya jilbab, karena tekanan lingkungan.
Hukum agama bersama hukum adat dan hukum warisan kolonial dapat
menjadi sumber material hukum nasional. Namun, penerimaannya menjadi ketentuan
hukum nasional mesti melalui legislasi di DPR. Penetapan dan pemberlakuan perda
yang bertentangan dalam substansi dan semangat tata hukum nasional tidak bisa
dibenarkan.
Oleh karena itu, pemerintah—dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri
serta Kementerian Hukum dan HAM—sepatutnya menginventarisasi perda-perda
berbasis agama. Kemendagri telah mencabut atau merevisi 3.143 perda yang
umumnya menghambat kemajuan ekonomi dan investasi. Mengingat perda-perda
berbasis agama dapat menimbulkan perpecahan, semestinya Kemendagri meneliti,
mencabut, atau merevisi perda jenis itu. []
KOMPAS, 29 November 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar