Di Balik Keramat Kiai
Siroj Payaman
Kiai Siroj, Payaman,
Magelang yang oleh masyarakat masyhur dengan panggilan Romo Agung merupakan
orang yang dikenal kewaliannya. Namun, di balik keramat yang ia miliki, ada
ibadah yang sangat kuat, di luar kebiasaan orang pada umumnya.
Satu ketika, Kiai
Siroj berkunjung ke rumah salah satu temannya, KH Dardiri dari Tingkir, Kota
Shalatiga. Waktu itu, desa ini masih mengikuti wilayah Kabupaten Semarang.
Di rumah Kiai Dardiri
ini, selain Kiai Siroj, Payaman, ada Kiai Munajat yang turut hadir di sana.
Ketiga kiai yang berkumpul dalam satu majelis tersebut mempunyai hubungan yang
akrab.
Sesaat sebelum
melaksanakan shalat Isya', Kiai Siroj tahu bahwa tuan rumah sedang memasak,
mempersiapkan jamuan. Diperkirakan, nanti jamuan akan disajikan setelah shalat
Isya' dilaksanakan sehingga pas.
Usai shalat isya',
Kiai Siroj ternyata tidak lekas beranjak dari tempat sujudnya. Ia tidak hanya
shalat beberapa rakaat ba'diyah atau shalat witir. Ia menyambung dengan
shalat-shalat sunah. Dua kiai lain, Kiai Dardiri dan Kiai Munajat hanya
menunggu sambil berbincang bersama di luar.
Pukul 02.00 dini
hari, Kiai Siroj baru selesai melaksanakan shalat-shalatnya. Ia bertanya kepada
tuan rumah, "Lha, masakannya apa sudah matang?"
Sangat tampak, Kiai
Siroj seperti orang yang baru melaksanakan shalat lima atau sepuluh menit.
Tidak heran jika ia bertanya masakannya sudah matang apa belum. Padahal, dua
kawannya yang lain sudah menunggu berjam-berjam. Oleh Kiai Siroj dikira baru
beberapa menit.
Karena Kiai Siroj
sudah mencapai maqam kelezatan dalam beribadah, mencapai ekstase tinggi, shalat
yang begitu lama dikira baru sebentar saja.
Tidak cukup di situ.
Untuk membuktikan kewalian dan kedekatannya kepada Allah dan jauhnya hati
dengan dunia, Kiai Dardiri mencoba berbisik kepada Kiai Munajat.
"Mbah, anda
ingin membuktikan nggak bagaimana cara membedakan wali atau tidak?" tanya
Kiai Dardiri.
Sejurus, Kiai Munajat
menjawab, "Iya."
Habis itu, Kiai
Dardiri tanya langsung kepada Kiai Siroj tadi.
"Mbah, wedangnya
sudah manis apa belum?"
Kiai Siroj tidak
lekas menjawab. Padahal ia baru beberapa detik yang lalu meminumnya. Kiai Siroj
mengambil gelas, diminum, seketika itu, gelas masih dalam genggaman, Kiai Siroj
baru menjawab, "Oh ya, sudah manis"
Artinya, Kiai Siroj,
dalam urusan dunia seperti manisnya gula, selang beberapa detik saja sudah
terlupakan. Ia tidak ingat lagi. Karena hatinya penuh dengan ingat Allah. Semua
benda dunia tidak mendapat tempat di hatinya. Sebaliknya, shalat yang berjam-jam,
oleh Kiai Siroj, dikira baru beberapa menit.
Jadi, di luar keramat
yang dikenal masyarakat luas kala itu, ada dzikir dan ibadah yang perlu
kita teladani. Kita tidak boleh hanya takjub dengan keramatnya, namun abai
terhadap amalan di balik keramat yang tampak pada seorang wali.
Cerita tersebut juga
memberikan visualisasi, bagaimana Baginda Nabi Muhammad shallahu alaihi wa
sallam dulu sampai bisa shalat 100 rakaat dalam semalam. Ya, bagaimanapun kalau
landasannya adalah cinta yang mendominasi, yang berat terasa ringan.
Kerja di sawah,
menjadi tukang becak, tukang bangunan atau apa saja, rata-rata susah payah
secara fisik. Namun karena dilandasi cinta, tidak begitu terasa. Capeknya
adalah nikmat. Seperti pengantin baru yang dicubit pasangannya, sesakit apa
pun, ia tidak memandang itu sakit, tapi nikmat karena dilandasi cinta yang
kuat.
Demikian orang yang
cinta kepada Allah, capeknya shalat tidak terasa. Adapun yang shalat hanya dua
menit setengah sudah merasa capek atau justru malas melakukan, cintanya kepada
Allah perlu dipertanyakan. []
Cerita penulis
peroleh dari penuturan seorang kiai sepuh di kota Salatiga yang enggan
dipopulerkan namanya.
(Ahmad Mundzir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar