Politik
Trivialitas
Oleh:
Yudi Latif
Perkembangan
politik kita kian tak bermutu. Antara persoalan dan jawaban tak lagi
bersambung. Bangsa ini dirundung banyak masalah fundamental yang memerlukan
jawaban substantif secara berkesinambungan. Namun, sepak terjang politik kita
malah kian terperangkap di keriuhan remeh-temeh dalam ritual pemilihan lima
tahunan dengan daya rusak yang berkelanjutan.
Titik
rawan dunia politik kita bisa dilihat dari tiga faktor utama yang menentukan
daya sintas negara-bangsa (peradaban): faktor mental-spiritual, faktor
institusional-politikal, faktor material-teknologikal. Ranah pertama lazim
disebut ranah budaya, sedangkan ranah kedua dan ketiga lazim disebut ranah
peradaban.
Penjelasan
tentang ranah mental-spiritual bisa meminjam argumentasi Arnold Toynbee dan
Oswald Spengler. Dalam pelacakannya terhadap faktor kebangkitan dan kejatuhan
sekitar 20 peradaban, Toynbee mengaitkan disintegrasi peradaban dengan proses
melemahnya visi spiritual peradaban tersebut. Hal senada dikemukakan Spengler.
Kemunduran peradaban (Barat) disebabkan pudarnya ”jiwa” budaya (spirit, etika,
dan pola pikir) yang menjadi elan vital peradaban.
Penjelasan
tentang ranah institusional-politikal antara lain dikemukakan Daren Acemoglu
dan James A Robinson. Dalam karya bersamanya, Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and
Poverty (2012), ditengarai bahwa sebab pokok kegagalan suatu
negara-bangsa bukan karena kurang adidaya atau sumber daya, melainkan karena
salah urus alias salah desain kelembagaan dan tata kelola pemerintahan.
Penjelasan
tentang ranah material-teknologikal diajukan banyak pemikir. Menurut Karl Marx,
ide dan peradaban suatu kelompok yang dominan dalam penguasaan ekonomi dan
teknologi akan kuat memengaruhi ide dan peradaban kelompok lain. Bagi Toynbee,
kendatipun visi spiritualitas merupakan perisai terdalam ketahanan suatu
peradaban, hanya peradaban yang kuat penguasaan teknologinya yang mudah
memengaruhi peradaban lain. Lebih dari itu, para pemikir utilitarian, seperti
Jeremy Bentham, menekankan pentingnya kesejahteraan umum (greatest happiness of the greatest
number) sebagai basis keutuhan dan kebajikan publik.
Visi
Pancasila telah mengantisipasi ketiga ranah tersebut. Ranah mental-spiritual
(kultural) basis utamanya adalah sila pertama, kedua, dan ketiga. Ranah institusional-politikal
basis utamanya sila keempat. Ranah material-tenologikal basis utamanya sila
kelima.
Pengembangan
mental-spiritual diarahkan untuk menjadi bangsa yang berkepribadian dengan
daya-daya spiritualitas yang berperikemanusiaan, egaliter, mandiri, amanah dan
terbebas dari berhala materialisme-hedonisme, serta sanggup menjalin persatuan
(gotong royong) dengan semangat pelayanan (pengorbanan).
Pengembangan
institusi sosial-politik diarahkan untuk menjadi bangsa berdaulat dengan
demokrasi yang bercita kerakyatan, cita permusyawaratan, dan cita
hikmat-kebijaksanaan dalam suatu rancang bangun institusi-institusi demokrasi
yang dapat memperkuat persatuan (negara persatuan) dan keadilan sosial (negara
kesejahteraan).
Pengembangan
material-teknologikal diarahkan untuk menjadi bangsa yang mandiri dan
berkesejahteraan umum dengan mewujudkan perekonomian merdeka, berlandaskan
usaha tolong-menolong, disertai penguasaan negara atas ”karunia kekayaan
bersama” (commonwealth)
seraya memberi nilai tambah atas karunia yang terberikan dengan input
pengetahuan dan teknologi.
Pengembangan
ketiga ranah tersebut memerlukan keandalan tiga agensi sosial: rezim pendidikan
dan pengetahuan, rezim politik-kebijakan, rezim ekonomi-produksi. Dalam konteks
persoalan Indonesia hari ini, ketiga rezim mengemban prioritas tugas sebagai
berikut.
Prioritas
rezim pendidikan dan pengetahuan adalah membenahi aspek mental-spiritual dengan
merevitalisasi pendidikan budi pekerti, terutama pada tingkat pendidikan dasar.
Pendidikan budi pekerti mengupayakan bersatunya pikiran, perasaan, dan
tekad-kemauan manusia yang mendorong kekuatan tenaga yang dapat melahirkan
penciptaan dan perbuatan yang baik, benar, dan indah. Budi pekerti diharapkan
mampu melahirkan generasi baru Indonesia yang berkarakter dan kreatif.
Prioritas
rezim politik-kebijakan adalah menata ulang sistem demokrasi dan pemerintahan
dalam kerangka memperkuat persatuan nasional dan keadilan sosial. Demokrasi
padat modal harus dihentikan, otonomi daerah harus ditata ulang, sistem
perwakilan harus lebih inklusif dengan memulihkan eksistensi majelis
permusyawaratan bersama yang mengakomodasi liberal-individual rights (DPR), communitarian rights (utusan
golongan), dan territorial
rights (utusan daerah), serta memperkuat rezim negara
kesejahteraan bersemangat gotong royong.
Prioritas
rezim ekonomi-produksi adalah mengembangkan semangat tolong-menolong
(kooperatif) dalam perekonomian. Jangan sampai mata rantai produksi dari hulu
ke hilir terkonsentrasi di satu tangan. Inklusi ekonomi juga bisa didorong
melalui pengembangan penguasaan teknologi berbasis potensi dan karakteristik
keindonesiaan. Untuk itu, pengembangan teknologi harus beringsut dari lembaga
riset negara menuju ranah industri-perusahaan; terintegrasi ke dalam sektor
produktif.
Perhatian
terhadap tiga ranah dan tiga agensi sosial utama tersebut merupakan pertaruhan
nasib negara-bangsa di masa depan. Sayang sekali semua itu cenderung luput dari
agenda kontestasi politik, tenggelam di bawah gunungan sampah kebohongan dan
pertikaian. []
KOMPAS,
22 November 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar