Hukum Menqadha Shalat
Sunnah
Saat meninggalkan shalat fardhu, baik karena
lupa, tertidur maupun disengaja, kita diwajibkan untuk mengqadhanya saat
teringat. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim.
مَنْ
نَامَ عَنْ صَلَاةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّيْهَا إِذَا ذَكَرَهَا، لاَ
كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَالِك
Artinya, “Siapa yang lupa mengerjakan shalat
atau tertidur, maka ia wajib mengerjakan ketika teringat. Dan tidak ada hukuman
kecuali hal itu (mengerjakan shalat saat ingat).” (HR Bukhari-Muslim)
Lalu bagaimana jika yang ditinggalkan shalat
sunnah? Bolehkan kita mengqadhanya agar kita tetap mendapatkan
keutamaan-keutamaannya, khususnya shalat sunnah rawatib?
Menurut Aisyah, dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, Rasulullah Saw selalu mengqadha shalat
sunnah empat rakaat sebelum dhuhur dan melakukannya setelah shalat dhuhur.
عَنْ
عَائِشَةَ رضي الله عنها أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم: كَانَ إِذَا لَمْ
يُصَلِّ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ صَلَّاهُنَّ بَعْدَهَا
Artinya: “Dari Aisyah Ra bahwa jika
Rasulullah Saw tidak mengerjakan shalat sunnah empat rakaat sebelum dhuhur,
Rasul mengerjakannya setelah dhuhur.”
Dari hadits ini bisa disimpulkan bahwa
Rasulullah tidak pernah melewatkan shalat sunnah, khususnya shalat sunnah
rawatib. Walaupun beliau tidak sempat mengerjakannya, Rasul mengqadhanya di
waktu yang lain.
Bahkan al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfatul
Ahwadzi menjelaskan bahwa hadits di atas merupakan dalil kesunnahan menjaga
shalat sunnah, walaupun dengan menqadhanya.
والحديث
يدل على مشروعية المحافظة على السنن التي قبل الفرائض وعلى امتداد وقتها إلىاخر
وقت الفريضة وذلك لأنها لو كانت أوقاتها تخرج بفعل الفرائض لكان فعلها بعدها قضاء
Artinya: “Hadits tersebut menunjukkan dalil
disyariatkannya menjaga shalat-shalat sunnah sebelum shalat fardhu serta
menunjukkan dalil lamanya waktu mengerjakan shalat tersebut hingga akhir shalat
fardhu. Karena walaupun waktu mengerjakan shalat tersebut di luar waktu
mengerjakan shalat fardhu, maka mengerjakannya dihukumi qadha’.” (Muhammad Abdurrahman
bin Abdurrahim al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’ at-Tirmidzi,
Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, t.t, j. 2, h. 412.)
Dalam hadits riwayat Tirmidzi yang lain juga
disebutkan bahwa Nabi menganjurkan orang yang tidak mengerjakan dua rakaat
sebelum subuh untuk mengqadhanya setelah matahari terbit.
مَنْ
لَمْ يُصَلِّ رَكْعَتَي الْفَجْرِ فَلْيُصَلِّهِمَا بَعْدَ مَا تَطْلُعَ الشَّمْسُ
Artinya, “Siapa yang tidak mengerjakan shalat
dua rakaat fajar maka hendaknya ia mengerjakannya setelah matahari terbit.”
Dalam riwayat lain, Nabi bahkan pernah
mengqadha shalat dua rakaat ba'diyah dhuhur setelah shalat Ashar berdasarkan
riwayat Ummu Salamah dalam Sahih Bukhari dan Muslim.
أن
النبي صلى الله عليه وسلم قضى الركعتين اللتين بعد الظهر بعد صلاة العصر لما شغله
ناس من بني عبد القيس
Artinya: “Sesungguhnya Nabi pernah shalat dua
rakaat bakdiyah dhuhur (dan dilakukan) setelah shalat Ashar karena disibukkan
oleh urusan Bani Abdil Qais.”
Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah-nya juga
menjelaskan bahwa diperbolehkan mengqadha shalat sunnah, berdasarkan hadits
yang diriwayatkan Qais bin Fahd.
عَنْ
قَيْسِ بْنِ فَهْدٍ: رَآنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا
أُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الصُّبْحِ، فَقَالَ: مَا هَاتَانِ الرَّكْعَتَانِ
يَا قَيْسُ»؟ فَقُلْتُ: إِنِّي لَمْ أَكُنْ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ،
فَسَكَتَ عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
فَفِيهِ
دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ قَضَاءِ الْفَوَائِتِ، فَرْضًا كَانَ أَوْ تَطَوُّعًا
بَعْدَ الصُّبْحِ، وَبَعْدَ الْعَصْرِ.
Artinya, “Dari Qays bin Fahd: Rasulullah
menyaksikan saya ketika sedang shalat dua rakaat setelah shalat subuh. Kemudian
beliau bertanya, “Shalat apa itu wahai Qays?” Kemudian saya menjawab,
“Sesungguhnya aku belum mengerjakan shalat dua rakaat fajar.” Kemudian Rasul shallallahu
‘alaihi wasallam diam.
Hal ini sebagai dalil kebolehan mengqadha
shalat-shalat yang terlewatkan, baik shalat fardhu maupun shalat sunnah setelah
Subuh dan sesudah Ashar. (Abu Muhammad al-Husein bin Masud bin Muhammad bin
al-Fara’ al-Baghawi, Syarh Sunnah, Beirut: al-Maktab al-Islami, 1983,
j.3, h. 335.)
Menguatkan pendapat al-Baghawi, Imam
an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh Muhadzzab juga menjelaskan akan kesunnahan
mengqadha shalat sunnah rawatib yang terlewat.
ذكرنا
أن الصحيح عندنا استحباب قضاء النوافل الراتبة وبه قال محمد والمزني وأحمد في
رواية عنه وقال أبو حنيفة ومالك وأبو يوسف في أشهر الرواية عنهما لا يقضي دليلنا
هذه الاحاديث الصحيحة
Artinya, “Kami menyebutkan bahwa pendapat
yang sahih menurut mazhab Syafi'i adalah sunnahnya mengqadha shalat sunnah
rawatib. Ini merupakan pendapat dari Imam Muhammad, Muzanidan Ahmad dalam satu
riwayat. Sedangkan pendapat Abu Hanifah, Imam Malik, dan Abu Yusuf dalam
riwayat yang masyhur menjelaskan bahwa tidak perlu diqadha. Adapun dalil kami
(Syafiiyah, terkait kesunahan menqadha shalat sunnah) berdasarkan hadits-hadits
sahih.” (Abu Zakariya Muhyiddin an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh Muhadzzab,
Beirut: Darul Fikr, t.t, J. 4, h. 43.)
Dari beberapa penjelasan di atas, kita bisa
mengambil kesimpulan bahwa disunnahkan untuk mengqadha shalat sunah rawatib
yang terlewat. Adapun waktunya bisa dilaksanakan kapan saja, bahkan bisa
dilaksanakan di waktu-waktu yang dimakruhkan shalat, seperti setelah shalat
Ashar. Wallahu A’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar