KH Masruri Mughni dan Budaya Menghafal
Al-Qur’an Masyarakat Benda
Setiap tanggal 1 Muharam tahun Hijriyah,
masyarakat Desa Benda, Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, mengadakan Haul
Akbar al-Maghfūr lah KH Masruri Abdul Mughni (1943-2011 M) atau yang akrab
disapa Abah Masruri. Namun, sebagian masyarakat belum banyak yang tahu tentang
keunikan desa tersebut sebagai kampung yang aktif “memproduksi” Ḥāfiẓ/Ḥāfiẓah
di setiap generasinya.
Pada umumnya, Desa Benda dikenal oleh
khalayak masyarakat sebagai kampung santri karena keberadaan Pesantren
Al-Hikmah, terutama ketika di bawah kepemimpinan kharismatik Abah Masrur,
sebagai tokoh generasi kedua.
Meski tidak sepenuhnya salah, namun satu
fakta yang tidak boleh luput dari tinta sejarah adalah penisbatan Desa Benda
sebagai Dār al-Qur’ān atau desa hunian Qur’āni. Penisbatan demikian tidaklah
berlebihan dan sangat beralasan mengingat di samping desa ini memiliki tidak
kurang 7 pesantren Taḥfiẓ al-Qur’ān, desa ini juga telah bershasil menciptakan
budaya menghafal al-Qur’an bagi masyarakat setempat dan di sekitarnya.
Tujuh pesantren di Desa Benda yang dirintis
khusus pembelajaran Taḥfiẓ al-Qur’ān adalah Pesantren Al-Hikmah, Pesantren
Al-Amīn, Pesantren Al-ʻIzzah, Pesantren Manārul Qur’ān, Pesantren Al-Istiqāmah,
Pesantren Nūr al-Qur’ān, dan muncul belakangan adalah Pesantren Al-Hikmah 1.
Oleh karenanya tidak sedikit para ulama dan
tokoh nasional yang sempat berkunjung ke Desa Benda selalu menyebutnya sebagai
Dār al-Qur’ān atau Desa Al-Qur’ān yang layak masuk rekor MURI. Fakta
demikian semakin diperkuat dengan data statistik tahun 2013 yang mencatat bahwa
jumlah Ḥāfiẓ/Ḥāfiẓah penduduk desa Benda (non-santri) sebanyak 165 orang (JQH
Brebes, 2013). Jumlah ini menurun drastis dibandingkan dengan tahun-tahun
sebelumnya.
Berdasarkan wawancara peneliti dengan
ʻIzzuddīn Masruri, Putra Abah Masrur sekaligus Pengasuh Pesantren Taḥfiẓ
al-Qur’ān Al-Hikmah, diperoleh sebuah informasi bahwa pendidikan Taḥfiẓ
al-Qur’ān di Desa Benda tidak sekonyong-konyong ada, tetapi melalui sebuah
proses panjang pengenalan al-Qur’ān kepada masyarakat yang dimulai dari
era Kiai Nasir sampai Kiai Suhaimi.
Kiai Nasir adalah orang yang pertama kali
memperkenalkan bacaan al-Qur’ān kepada masyarakat Benda meski dari segi
kualitas bacaan tidak sempurna seperti pengucapan yā ḥayyu menjadi yā
kayyu,walāḍḍāllīn menjadi walā lalin dan sebagainya, sampai dengan datangnya
Kiai Khalīl bin Maḥallī. Maka perlu dicatat bahwa orang yang pertama kali
mereformasi bacaan al-Qur’ān secara tepat dan benar berdasarkan kaidah tajwid
adalah Kiai Khalīl sampai dengan lahirnya budaya menghafal al-Qur’ān di
era Kiai Suhaimi 11 tahun kemudian (1922 M).
Abah Masrur adalah cucu pendiri Pondok
Pesantren Al-Hikmah (1911 M), KH. Cholil bin Mahali. Ulama yang menjadi Rais
Syuriah PWNU Jawa Tengah hampir dua periode ini dikenal khalayak sebagai kiai
kharismatik yang ʻālim hampir di semua bidang ilmu keagamaan sebagaimana menu
harian yang dibaca untuk santrinya mulai dari Fatḥ al-Wahāb, Tafsir
Jalālain, Sharaḥ Ibn ʻAqīl sampai Ihyā ‘Ulūm al-Dīn.
Khusus bagi santri yang belajar di Madrasah
Mu’allimīn dan Muʻallimāt akan mendapat servis plus darinya dengan materi ilmu
tafsir, ilmu ‘arūḍ dan ilmu falak. Waktunya hampir habis untuk mengajar
para santri yang dimulai dari baʻda subuh hingga tengah malam dan itu dilakukan
dengan istiqāmah hingga menjelang wafatnya.
Tidak berlebihan jika sebagian masyarakat
menisbatkan tarekatnya sebagai tarekat taʻlīmiyah. Atau bahkan ada yang
menisbatkannya dengan tarekat mbanguniyah karena di eranya lah, Al Hikmah
mengalami perkembangan pesat dalam ranah pendidikan yang dibarengi dengan
pembangunan sarana dan prasarana yang tak bertepi.
Dalam konteks budaya menghafal, kiprah dan
kontribusi Abah tidak dapat diabaikan. Meski tidak secara langsung membawahi
Pesantren Taḥfiẓ al-Qur’ān, sebagai generasi kedua, peran Abah sangat krusial
dan substansial. Abah tidak pernah merasa sungkan untuk selalu memberi motivasi
kepada khalayak masyarakat khususnya santri untuk menjadi Ahl al-Qur’ān dengan
menghafalkannya.
Bahkan di setiap pengajian-pengajian majlis
taʻlim, Abah tidak jarang memberikan tawaran beasiswa kepada siapa saja yang
mau menghafal al-Qur’ān dan di manapun pesantren yang diinginkan. Sebuah
terobosan yang juga dilakukan pendahulunya, Kiai Suhaimi yang tidak sungkan
untuk menjemput bola dan mengajak orang untuk menghafal al-Qur’ān.
Semangat Abah bukan tanpa alasan tetapi
terinspirasi oleh ajaran fiqh yang menghukumi Farḍu Kifāyah di dalam menghafal
al Qur'ān, yakni harus ada sebagian umat Islam yang hafal Al Qur’ān. Ia melihat
selama ini belum ada lembaga yang menyatakan sanggup menjaga ketentuan fardlu
kifayah yang satu ini. Untuk itu, melalui pondok pesantrennya, ia ingin sebisa
mungkin menjaga ketentuan ini.
“Jangan sampai pada suatu masa nanti, tidak
ada lagi satu pun umat Islam yang hafal kitab suci yang terbagi dalam 6 ribu
lebih ayat, 114 surat dan 30 juz itu”(Profil Pondok Pesantren Al-Hikmah, t.t.).
Bahkan dengan para penghafal al-Qur’ān, Abah tidak segan mengungkapkan jargon
“Afḍal al-Ṭarīqah Ṭarīqah Al-Qur’ān”.
Motivasi Abah ini memiliki pengaruh luar
biasa di dalam menjaga budaya menghafal al-Qur’an bahkan berhasil melakukan
terobosan ke arah pengembangan. Bertambahnya jumlah Pesantren Taḥfiẓ al-Qur’ān
di Desa Benda disertai massifnya generasi penerus penghafal al-Qur’an,
merupakan fakta yang menggembirakan.
Untuk menyebut dari sekian generasi penerus
dan beberapa pesantren yang lahir kemudian seperti Ustāẓ ʻAbdul Hādi (menantu
dan penerus Kiai Fatih), KH. Abdul Rauf, KH. Abdur Rasyid dan KH. Mustofa
(ketiganya merupakan anak dan penerus KH. Aminuddin), KH. Izzuddin dan Nyai Hj.
Minhah (keduanya adalah penerus KH. Alī Ashʻāri).
Sedangkan beberapa Pesantren Taḥfiẓ al-Qur’ān
yang lahir kemudian adalah Pesantren Al-Istiqāmah di bawah asuhan KH. Abdul
Jamil, Pesantren Nūr al- Qur’ān di bawah Asuhan Kiai Nashroh, Pesantren
Al-Izzah di bawah asuhan Ny. Hj. Minhah (isteri KH. Alī ʻAshʻārī) beserta
puteranya Ustaẓ Faiq Muʻin dan terkahir pesantren Al-Hikmah I yang diasuh Ustaẓ
Ḍiyāulhaq (cucu Kiai Suhaimi dari garis KH. Shodik Suhaimi).
Dengan meningkatnya jumlah generasi penerus
dan berkembangnya jumlah pesantren Tahfidz al-Qur’ān, merupakan lompatan besar
sebagai keberhasilan kaderisasi yang dilakukan generasi sebelumnya. Dan
semuanya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh Abah sebagai tokoh sentral
masyarakat Desa Benda.
Namun demikian, bertambahnya jumlah pesantren
dan jumlah generasi tidak berbanding lurus dengan semangat budaya menghafal
al-Qu’ān masyarakat Desa Benda. Hal ini dapat dilihat dari keengganan
masyarakat untuk menghafal al-Qur-ān akhir-akhir ini karena sudah dianggap
tidak prospektif atau meminjam istilah Kiai Ahsin Sakho sebagai kelompok “masa
depan suram”.
Di sinilah makna kerinduan motivasi, laiknya
motivasi dari seorang Abah dibutuhkan. Motivasi sebagai suntikan ampuh untuk
masyarakat dan khususnya masyarakat Desa Benda agar semakin mencintai al-Qur’ān
dan menghafalnya kembali. Setidaknya untuk membuktikan kepada khalayak umum
bahwa seorang ḥāfiẓ/ḥāfiẓah tidak lagi identik dengan kelompok masa depan suram
tetapi kelompok yang menjaga kalimat Allah dan tentunya membawa pencerahan.
*****
Referensi :
1. Agus Irfan, Kontekstualisasi Pendidikan
Tahfidz al-Qur’ān, Penelitian DIPA Kopertais, Kemenag, 2013.
2. Profil Pondok Pesantren Al-Hikmah, t.t.
3. Laporan Jam’iyat al-Qurrā wa al-Ḥuffāḍ
(JQH), Kabupaten Brebes, 2013.
4. Wawancara dengan Izzudin Masruri, 2013 dan
2018
[]
Agus Irfan, alumni Al-Hikmah,
Pengurus Ansor Jawa Tengah dan Pengasuh Pesantren Mahasiswa Sultan
AgungUNISSULA Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar