Sejarah Nabi Muhammad (3): Keteladanan Manusia
Paling Luhur
Rasulullah sebagai suri teladan yang harus
diikuti kaum Muslimin. Beliau memiliki akhlak yang agung dan luhur. Dengan
keluhuran akhlak itulah beliau berdakwah, mengajak manusia menuju jalan yang
diridhai oleh Allah Dengan akhlak yang mulia pula, dakwah beliau berhasil
dengan gilang gemilang. Hanya dalam kurun waktu kurang dari 23 tahun, beliau
berhasil merombak tatanan masyarakat yang dungu dan bodoh menjadi masyarakat
yang maju dan berperadaban tinggi. Dalam waktu teramat singkat itu, beliau
mengangkat kehidupan suatu bangsa yang tidak dikenal sejarah menjadi umat yang
menentukan sejarah dunia.
Mengenai keluhuran akhlak Nabi, Allah
berfirman:
وَإِنَّكَ
لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi
pekerti yang agung. (QS. al-Qalam, 68: 4).
Sebagian dari akhlak Nabi yang terpuji ialah
sikap pemaaf dan kasih sayang terhadap sesama. Meskipun beliau sering dicemooh,
dihina, difitnah, dan disakiti orang lain, beliau tetap tabah dan menerima
perlakuan mereka dengan lapang dada. Bahkan beliau membalas perlakuan kasar
mereka dengan lemah lembut dan kasih sayang serta mendoakan mereka agar segera
menerima petunjuk dari Allah Hal ini sebagaimana dilansir dalam ayat suci
al-Qur’an:
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ
لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ
فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu
berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu,
ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran, 3:159).
Selain bersikap pemaaf, Nabi juga dikenal
sebagai orang yang sangat menyayangi sesamanya. Beliau selalu mengasihi fakir
miskin, anak-anak yatim, dan wanita-wanita jompo. Dalam berbagai kegiatan
dakwahnya, beliau memulai kebaikan dari dirinya sendiri dan keluarganya. Ia
senantiasa mengusahakan kebaikan dan memelihara umatnya dari kehancuran dan
kenistaan. Dalam hal ini, Allah berfirman:
لَقَدْ
جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ
عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul
dari kalanganmu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat
menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. al-Taubah, 9:128).
Dalam al-Qur’an Surat al-A’raf ayat 199
disebutkan bahwa sekurang-kurangnya ada tiga macam sikap atau budi pekerti
luhur, yaitu pemaaf, memerintahkan kebaikan, dan berpaling dari orang-orang
jahil.
خُذِ
الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang
mengerjakan yang ma`ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS.
al-A’raf, 7: 199).
Banyak riwayat dalam sejarah Islam yang
menjelaskan sikap pemaaf Nabi terhadap umatnya. Beliau dengan ikhlas memberi
maaf terhadap musuh-musuhnya yang mau bertobat dan mengakui kesalahan yang
dilakukannya, meskipun pada awalnya mereka membuat hidup beliau menderita dan
teraniaya.
Pada awal perkembangan Islam di Makkah, ada
dua orang bersaudara kakak beradik bernama Ka’ab bin Zuhair dan Bujair bin
Zuhair. Bujair telah masuk Islam terlebih dahulu, ia berjuang bersama Nabi
dalam membela kebenaran dan ikut berhijrah ke Madinah. Sedangkan saudaranya,
Ka’ab, termasuk kelompok radikal yang menolak agama Islam, ia bersama komplotannya
dengan gencar melakukan intimidasi terhadap kaum Muslimin ketika itu.
Sedemikian kerasnya permusuhan Ka’ab terhadap umat Islam, sehingga setelah
Bujair adiknya berhijrah ke Madinah, ia masih tetap mengecam umat Islam dengan
surat-suratnya yang dikirimkan kepada saudaranya tersebut.
Melihat sikap Ka’ab yang membahayakan
eksistensi umat Islam, akhirnya Nabi memasukkan namanya ke dalam daftar hitam,
yaitu golongan penghianat yang senantiasa berbuat kerusakan dan memusuhi kaum
Muslimin secara keseluruhan. Mengetahui hal itu, Bujair segera mengirimkan
surat kepada saudaranya tentang pencatuman namanya pada daftar hitam tersebut.
Dalam suratnya, ia juga menjelaskan mengenai sikap pemaaf Nabi dan akhlaknya
yang luhur terhadap sesamanya. Akhlak beliau tersebut sekaligus menjadi suri
teladan bagi umatnya. Bujair juga menceritakan dengan lengkap kehidupan kaum
Muslimin di Madinah. Mereka berada dalam ketenangan, kedamaian, dan senantiasa
dibimbing oleh Allah dengan perantaraan Rasul-Nya yang mulia. Setelah Ka’ab
menerima surat itu di Makkah lalu memperhatikan dengan seksama isinya,
tiba-tiba ada dorongan kebenaran dengan kuat yang mengetuk kalbunya. Ia segera
bertobat dari kesalahan masa lalunya. Ia berniat untuk pergi meninggalkan
Makkah menuju Madinah sesegera mungkin demi menemui Nabi dan menyatakan diri
untuk bergabung dengan barisan kaum Muslimin di sana.
Setibanya di Madinah, Ka’ab bin Zuhair segera
menemui Nabi di masjid dengan diantar oleh Ali bin Abi Thalib, seorang sahabat
setia sekaligus menantu Nabi Sampai di masjid, Ka’ab segera menyatakan diri
untuk masuk agama Islam. Nabi pun menerima kehadirannya dengan tulus, bahagia,
dan penuh bersyukur. Masuk islamnya Ka’ab sekaligus dicoretnya nama Ka’ab dari
daftar hitam. Dengan serta merta, Nabi dan para sahabatnya mengampuni semua
kesalahan Ka’ab di masa lalu, tanpa menyisakan perasaan dendam sedikitpun di
dada mereka.
Begitu pula ketika Nabi beserta para
sahabatnya memasuki Kota Makkah pada tahun ke-8 H. Saat itu, beliau datang
sebagai pemenang yang menaklukkan semua penduduk Makkah. Dengan penuh
keikhlasan, beliau memaafkan semua kesalahan penduduk Makkah di masa lalu.
Nama-nama mereka yang tertulis dalam daftar hitam, pada hari itu semuanya
dimaafkan, termasuk Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan, yang pernah
mencabik-cabik dada Pamandanya Hamzah bin Abdul Muthalib di perang Uhud dan
mengunyah hatinya. Nabi dan para sahabatnya datang ke Kota Makkah, kota
kelahirannya dengan membawa pengampunan agung, tidak ada setetes pun, darah
balas dendam yang tumpah di sana.
Nabi adalah Rasulullah, pemimpin umat,
penghulu para Nabi, bahkan panutan seluruh alam, tetapi beliau tidak mau
membanggakan diri dan bersikap sombong. Sebaliknya, beliau bersikap rendah
hati. Kepada para sahabatnya, beliau meminta agar tidak dikultuskan dan dipuja
seperti halnya orang-orang Nasrani memuja Isa putera Maryam. “Aku adalah hamba
Allah Sebut sajalah hamba Allah dan Rasul-Nya.” Beliau adalah seorang yang
rendah hati. Suatu ketika, para sahabat menghormati Nabi secara berlebihan begitu
melihat Nabi datang. Maka beliau menegurnya agar tidak diperlakukan layaknya
orang-orang ajam (non Arab) yang ingin diagungkan. Apabila mengunjungi
sahabat-sahabatnya, beliau pun duduk di mana saja ada tempat yang kosong.
Beliau bergurau dan bergaul dengan mereka. Anak-anak merekapun diajaknya
bermain-main dan didudukkannya mereka di pangkuannya. Dalam memenuhi undangan,
beliau tidak melihat faktor ekonomi ataupun status sosial seseorang.
Jika ada orang yang sakit, beliau langsung
menjenguknya, meskipun tempatnya jauh. Ketika bertemu dengan para sahabatnya,
beliau adalah orang pertama yang mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan
dengan mereka. Apabila ada orang yang menunggu beliau sedang shalat, maka
beliau mempercepat shalatnya lalu ditanya apa keperluannya. Setelah itu, beliau
kembali meneruskan ibadahnya. Kepada siapa saja, beliau selalu baik hati dan
murah senyum. Dalam urusan keluarga, beliau ikut memikul beban keluarga,
seperti mencuci pakaian, menjahit, mengesol sandal, melayani sendiri dan
mengurus unta. Beliau duduk makan bersama dengan pembantunya.
Beliau juga mengurus orang yang menderita,
lemah, kekurangan. Apabila melihat ada orang atau keluarga yang membutuhkan
bantuan, beliau dan keluarganya memberikannya, sekalipun mereka sendiri dalam
kekurangan dan tak ada sedikit pun makanan untuk keesokan hari. Hingga tatkala
beliau wafat, baju besinya masih tergadai di tangan seorang Yahudi, karena
untuk keperluan belanja keluarganya. Beliau selalu menepati janji dan melayani
sendiri tamu-tamu yang menghadap kepadanya. (Haekal, 1998: 228-229) Masih
banyak lagi sifat-sifat terpuji lainnya yang merupakan pengejewantahan dari
nilai-nilai al-Qur’an. Aisyah ra memberikan kabar kepada seorang sahabat yang
ingin mengetahui perilaku Nabi Ia mengatakan:
كَانَ
خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
“Budi pekertinya adalah al-Qur’an.” (HR.
Ahmad: 24139)
Nabi merupakan manusia berakhlak mulia yang
menjadikan dirinya sebagai orang pertama yang menerjemahkan al-Qur’an dalam
kehidupannya. Sejatinya setiap mukmin mencontoh dan menjadikan beliau sebagai
suri teladan, sebagaimana Allah berfirman:
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS.
al-Ahzab, 33: 21). []
Dr. KH. Zakky Mubarak, MA, Rais Syuriyah PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar