Menyehatkan Perbedaan
Oleh: Yudi Latif
Persoalan genting politik Indonesia saat ini tidaklah terletak
pada perbedaan yang mengarah pada polarisasi politik, tetapi pada cara
komunitas politik memandang perbedaan tersebut. Perbedaan kerangka dukungan,
seperti menjelma dalam poros pendukung petahana versus oposisi, bisa
konstruktif sejauh perbedaan tersebut disikapi dalam spirit ”yin dan yang”.
Seperti memandang kehadiran malam (gelap) dan siang (terang)—dua
hal yang tampak berbeda, tetapi saling melengkapi sebagai bagian dari kesatuan
kesempurnaan kehidupan.
Dalam semangat seperti itu, perbedaan pengelompokan politik dengan
segala turunan perbedaan pilihan, platform, perilaku, dan identitas kolektifnya
bisa membuat setiap pihak terpacu mengembangkan kompetisi yang sehat. Kritik
dan konter argumen pihak lawan bisa menjadi batu uji untuk mengetahui dan
mengatasi kelemahan sendiri demi penyempurnaan visi, misi, dan program politik
yang diusung untuk kebajikan publik.
Perbedaan bisa destruktif manakala disikapi dengan spirit
”Manichaean” yang memandang pihak lawan dalam kerangka pertempuran ”Ahuramazda”
(kekuatan terang) versus ”Ahriman” (kekuatan gelap). Dua kekuatan yang tidak
bisa didamaikan sehingga persaingan harus diakhiri dengan jalan yang satu
mematikan yang lain.
Dengan spirit seperti itu, kritik diproduksi dan dipandang sebagai
cara menjatuhkan. Apa pun argumen dan program lawan dianggap salah. Politik
kehilangan daya refleksivitasnya karena tidak menemukan cermin untuk mengaca
kelemahan dan kekurangan sendiri dari perspektif yang berbeda. Sikap politik
seperti itu memuluskan jalan menuju fasisme: untuk keberadaan suatu warna
politik, warna lain harus dilenyapkan.
Perkembangan ke arah spirit politik ”Manichaean” merupakan
disrupsi besar dalam ideal-ideal budaya politik Indonesia. Budaya politik
bangsa ini diidealisasikan bertumpu di atas nilai-nilai kegotongroyongan: satu
untuk semua, semua untuk satu. Perbedaan garis politik dimungkinkan, tetapi
tetap dalam kerangka semangat kekeluargaan yang dinamis.
Budaya politik gotong royong tersebut merupakan pancaran dari
dunia kosmologi religi primordial di Tanah Air yang pada umumnya bercorak
iluminasionisme. Bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini merupakan
pasangan-pasangan yang saling mengidentifikasi, saling melengkapi, dan saling
bergantung yang terpancar dari sumber yang sama.
Berbeda dengan logika Aristotelian, yang menolak adanya kebenaran
pada kedua sisi yang saling bertentangan, logika primordial suku-suku bangsa
Indonesia cenderung bersifat monodualisme atau monopluralisme. Bahwa hidup
berkembang dalam logika dwitunggal, loro ning atunggal (dua yang menyatu):
siang-malam, laki-perempuan, terang-gelap, dan seterusnya.
Bahkan, yang ”beragam itu” (bhinna ika), pada dasarnya bisa
dilihat sebagai ”satu itu” (tunggal ika). Segala keragaman yang saling
bergantung itu merupakan pancaran (iluminasi) dari ”Yang Esa” (Tuhan), yang
tidak bergantung (Sumardjo, 2014).
Dengan pandangan hidup seperti itu, etos budaya Nusantara bersifat
adaptif, gradualistik, estetik, dan toleran. Perbedaan bukan sesuatu yang harus
ditolak atau paling jauh hanya bisa ditoleransi selama tidak membahayakan.
Sebaliknya, perbedaan harus diterima secara riang gembira sebagai
bagian dari kesempurnaan hidup, yang menimbulkan semangat untuk saling
menyerap, saling berbagi, dan saling menghormati.
Pergeseran dalam menyikap perbedaan itu merupakan akumulasi dari
krisis yang berlangsung pada ranah mental-kultural (karakter bangsa), ranah
institusional, dan ranah material. Bahwa perkembangan ketiga ranah tersebut
telah melenceng dari imperatif moral Pancasila.
Berlandaskan semangat moral Pancasila, pengembangan
mental-kultural diarahkan untuk menjadikan bangsa yang berkepribadian
berlandaskan (terutama) sila pertama, kedua, dan ketiga.
Harmoni dalam perbedaan bisa diraih manakala kita mampu
mengembangkan hubungan welas asih dengan Sang Pencipta, yang memancarkan
semangat ketuhanan yang berkebudayaan, lapang dan toleran; welas asih dengan
sesama manusia, yang memancarkan semangat kemanusiaan yang adil dan beradab;
welas asih dalam hubungan manusia dengan ruang hidup (tanah air) dan pergaulan
hidupnya (kebangsaan), yang memancarkan semangat persatuan dalam keragaman
bangsa.
Pengembangan institusi sosial-politik diarahkan untuk menjadi
bangsa yang berdaulat dalam politik berlandaskan (terutama) sila keempat.
Caranya melalui cita kerakyatan, cita permusyawaratan, dan cita
hikmat-kebijaksanaan dalam suatu rancang bangun institusi-institusi demokrasi
yang dapat memperkuat persatuan (negara kekeluargaan) dan keadilan sosial
(negara kesejahteraan); yang termanifestasi dalam kehadiran pemerintahan negara
yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan.
Pengembangan ranah material diarahkan untuk menjadi bangsa yang
mandiri dan berkesejahteraan umum dalam perekonomian berlandaskan (terutama)
sila kelima. Caranya dengan mewujudkan perekonomian merdeka; berlandaskan usaha
tolong-menolong (semangat kooperatif), penguasaan negara atas cabang- cabang
produksi yang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak, serta atas bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya; memberi nilai tambah atas
keunggulan komparatif yang dimiliki dengan input pengetahuan dan teknologi;
seraya memberi peluang bagi hak milik pribadi dengan fungsi sosial.
Hanya dengan jalan mengusahakan transformasi mental-kultural,
institusional, dan material berlandaskan Pancasila, kita bisa mencegah
perluasan spirit ”Manichaean” dalam jagat politik kita. Spirit yang bisa
merobohkan rumah kita bersama. []
KOMPAS, 1 November 2018
YUDI LATIF | Pengurus
Aliansi Kebangsaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar