Mengenal Bendera Islam (I):
Nama-nama dan Fungsinya
Akhir-akhir ini marak pembahasan tentang
topik bendera Islam yang dianggap simbol umat Islam seluruhnya. Namun,
tampaknya informasi yang sampai pada masyarakat hanya sepotong-sepotong
sehingga beberapa orang meyakini bahwa “bendera Islam” itu mempunyai bentuk,
warna dan motif tertentu dan dianggap baik untuk dibawa ketika melakukan
aksi-aksi demonstrasi atau pada acara tertentu sebagai syiar Islam. Padahal
bila kita membaca sejarah, tidak demikian ceritanya. Bagaimana sebenarnya
bendera Islam ini? Dan bahkan pertanyaan intinya apakah benar agama Islam
mempunyai bendera khusus?
Untuk menjawab banyak pertanyaan seputar
bendera ini, berikut penulis sajikan secara ringkas dalam beberapa poin pahasan
yang terbagi dalam tiga artikel bersambung sebagaimana berikut:
Nama-nama Bendera Islam:
Ada beberapa nama yang dikenal dalam sejarah
Islam sebagai kata yang menunjukkan makna bendera, yakni al-Liwâ’, ar-Râyah,
al-‘Alam dan al-Uqâb. Dalam keterangan Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Liwâ’,
ar-Râyah dan al-‘Alam adalah satu hal dengan sebutan berbeda. Beliau berkata:
اللِّوَاءُ
بِكَسْرِ اللَّامِ وَالْمَدِّ هِيَ الرَّايَةُ وَيُسَمَّى أَيْضًا الْعَلَمُ
“Al-Liwâ’ dengan huruf lam yang dibaca kasrah
dan waw panjang adalah ar-Râyah (bendera) dan disebut juga dengan al-‘Alam.”
(Ibnu Hajar, Fath al-Bâri, juz VI, halaman 126)
Indikasi kesamaan makna antara al-Liwâ’ dan
ar-Râyah menurut Ibnu Hajar juga dapat diketahui dari redaksi pernyataan Rasul
yang dalam satu redaksi mengatakan: “Aku akan memberikan ar-Râyah pada seorang
lelaki yang dicintai Allah dan Rasul-Nya”, tetapi dalam redaksi lainnya
mengatakan: “Aku akan menyerahkan al-Liwâ’ pada seorang lelaki yang dicintai
Allah dan Rasul-Nya.” Menurutnya, hal ini mengindikasikan bahwa al-Liwâ’ dan
ar-Râyah adalah sama. Selain ketiga nama di atas juga ada istilah al-Uqâb,
yakni bendera persegi empat yang berwarna hitam. (Ibnu Hajar, Fath al-Bâri, juz
VI, halaman 127)
Namun, beberapa ulama membedakan antara
al-Liwâ’ dan ar-Râyah. Misalnya Abu Bakr Ibnu al-Arabi yang menyatakan:
أَبُو
بَكْرِ بْنُ الْعَرَبِيِّ اللِّوَاءُ غَيْرُ الرَّايَةِ فَاللِّوَاءُ مَا يُعْقَدُ
فِي طَرَفِ الرُّمْحِ وَيُلْوَى عَلَيْهِ وَالرَّايَةُ مَا يُعْقَدُ فِيهِ
وَيُتْرَكُ حَتَّى تَصْفِقَهُ الرِّيَاحُ وَقِيلَ اللِّوَاءُ دُونَ الرَّايَةِ
وَقِيلَ اللِّوَاءُ الْعَلَمُ الضَّخْمُ وَالْعَلَمُ عَلَامَةٌ لِمَحلِّ
الْأَمِيرِ يَدُورُ مَعَهُ حَيْثُ دَارَ وَالرَّايَةُ يَتَوَلَّاهَا صَاحِبُ
الْحَرْبِ
“Al-Liwâ’ adalah bendera yang diikat di ujung
tombak dan digerak-gerakkan sedangkan ar-Râyah adalah bendera yang diikat di
ujung tombak lalu dibiarkan sehingga berkibar oleh angin. Katanya, al-Liwâ’
berbeda dengan ar-Râyah. Dikatakan juga, al-Liwâ’ adalah al-‘Alam (bendera)
yang besar. Al-‘Alam adalah penanda lokasi Amir (Penguasa) yang berpindah ke
mana pun Ia pergi. Sedangkan ar-Râyah dipegang oleh pemimpin perang.” (Ibnu
Hajar, Fath al-Bâri, juz VI, halaman 126).
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa para
ulama dan demikian pula para sahabat periwayat hadits berbeda pendapat dalam
menjelaskan al-Liwâ’ dan ar-Râyah beserta fungsinya masing-masing. Yang jelas,
kesemuanya adalah bendera yang dipakai oleh Rasulullah dan para sahabat.
Konteks Pemakaian Bendera Islam
Terlepas apa pun namanya, kapankah bendera
digunakan? Apakah sewaktu dalam keadaan normal sehari-hari ataukah ketika ada
momen tertentu di mana umat Islam berkumpul? Jawabannya tidak demikian.
Sepanjang penelusuran penulis, Rasulullah atau para sahabat tidak memakai
bendera dalam acara-acara yang menyedot konsentrasi massa, para ulama pun tidak
menyarankan hal itu sehingga wajar apabila banyak umat Islam yang merasa asing
dengan bendera ini. Bendera-bendera itu hanya digunakan dalam konteks ketika
berada di medan perang saja, ada yang diikat di ujung tombak dan ada yang
dipakai di atas kepala pemimpin perang saat itu dan ada pula yang dikibarkan di
lokasi Amir (Pejabat negara) yang ikut serta memantau peperangan.
Syaikh Ibnu Batthal, salah satu pakar hadits
penyarah Shahih Bukhari, mengatakan:
قال:
(لأعطين الراية) فعرفها بالألف واللام يدل أنها كانت من سنته - (صلى الله عليه
وسلم) - فى حروبه فينبغى أن يسار بسيرته فى ذلك
“Redaksi ‘Aku akan memberikan
ar-Râyah menggunakan awalan alif dan lam menunjukkan bahwa memakai bendera
termasuk tradisi Nabi dalam peperangan-peperangannya. Maka seyogianya jejak
beliau diikuti dalam hal itu.” (Ibnu Batthal, Syarh Shahîh al-Bukhâri, juz V,
halaman 141)
Demikian juga Imam Ibnu Hajar menjelaskan:
وَفِي
هَذِهِ الْأَحَادِيثِ اسْتِحْبَاب اتِّخَاذ الألوية فِي الحروب وَأَنَّ اللِّوَاءَ
يَكُونُ مَعَ الْأَمِيرِ أَوْ مَنْ يُقِيمُهُ لِذَلِكَ عِنْدَ الْحَرْبِ
“Dalam beberapa hadits ini ada kesunnahan
memakai bendera dalam peperangan-peperangan dan bahwa al-Liwâ’ dipegang oleh
Amir (pemimpin negara) atau orang yang dia posisikan untuk memimpin ketika
perang.” (Ibnu Hajar, Fath al-Bâri, juz VI, halaman 127).
Dalam hal ini, kita bisa tahu bahwa tradisi
membawa-bawa “bendera Islam” di luar konteks peperangan bukanlah hal yang
diajarkan oleh Rasulullah ataupun dicontohkan para sahabat. Pemakaian bendera
di luar konteks yang disunnahkan justru akan membuat bendera tersebut berubah
fungsi menjadi simbol lain bagi kelompok pembawanya, tak sekadar sebagai
“simbol Islam” semata sebagaimana asalnya. Apalagi bila bentuknya tidak
merepresentasikan apa yang menjadi tradisi Rasulullah, sebagaimana nanti akan
dibahas pada bagian selanjutnya.
Bersambung ....
[]
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember
dan Tim Ahli Aswaja NU Center Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar