Mengabdi kepada Doa
Kiai NU
Suatu malam di awal
di bulan puasa tahun 2013 saya mengikuti pengajian KH Zezen Zainal Abidin Bazul
Asyhab (selanjutnya Ajengan Zezen). Pengajian yang diikuti orang tua dan anak
muda itu berlangsung selepas tarawih hingga menjelang sahur. Nuansanya tasawuf.
Memang ia adalah tokoh Tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah (TQN) melalui mursyid Abah
Anom Suryalaya, Tasikmalaya.
Ternyata itu adalah
pertemuan terakhir saya dengan Ajengan Zezen, dai populer kelahiran Sukabumi
karena beberapa tahun kemudian saya tak pernah lagi bertemu dengannya secara
langsung.
Waktu itu, sebenarnya
sungkan saya untuk mengobrol dengan kiai yang telah kelelahan mengajar. Pagi,
siang, sore dan hingga larut malam. Namun, ketika turun dari kursinya, beberapa
jamaah mengantre untuk ngobrol dengan mungkin rupa-rupa urusan, saya juga
memberanikan diri untuk bertanya beberapa hal. Ternyata dia masih
berkenan untuk menngobrol.
Hingga giliran saya,
setelah memperkenalkan diri, satu pertanyaan yang tak mungkin saya lupakan
jawabannya. Pertanyaan itu adalah, “Pak Kiai, kenapa mau aktif atau tercatat di
NU? Bukankah di NU, Pak Kiai tidak digaji? Bahkan kalau berangkat harus merogoh
kocek sendiri? begitu kira-kira pertanyaan saya waktu itu.
Ia meminum larutan
Penyegar Cap Kaki Tiga yang tersedia di sampingnya. Suaranya serak memang
saking terus-menerus berbicara. Begitu pula di luar bulan puasa, ia
terus-menerus berceramah, tidak hanya di daerah Jawa Barat, tapi luar Jawa
hingga luar negeri. Di samping itu, ia juga mengajar santri-santrinya di Pondok
Pesantren Az-Zainiyah, Nagrog, Selabintana, di kediamannya.
Saya lupa kalimat
persis dari jawaban Ajengan Zezen itu. Namun maksudnya adalah demikian.
“Saya di NU bukan
mengabdi kepada pengurus. Siapa pun dan bagaiamanapun pengurusnya, saya akan
tetap di NU. Karena saya di NU bukan mengabdi kepada pengurus, tapi kepada doa
kiai. Jika keluar dari NU, saya takut kualat dari guru-guru saya yang juga
aktif di NU.”
Bagaimanakah mengabdi
kepada doa kiai dalam sebuah organisasi? Mungkin ini adalah hal aneh bagi orang
yang melulu menggunakan akal dalam tindakannya.
Di antara guru-guru
Ajengan Zezen adalah Mama Ajengan KH Muhammad Syujai’i Ciharashas, Cianjur. Ia
mengabdi di NU dianjurkan oleh tiga habib dan satu kiai. Tiga habib itu adalah
Habib Muhammad Al-Haddad, Tegal, Jawa Tengah, Habib Syekh bin Salim Al-Attas,
Sukabumi, dan Al-Habib Utsman Al-Idrus, Bandung. Sementara seorang kiainya
adalah KH Mansur Jembatan Lima, Jakarta.
Guru lain Ajengan
Zezen adalah KH Mahmud Mudrikah Hanafi yang saat ini menjadi rais Syuriyah PCNU
Kabupaten Sukabumi. Serta mungkin ada kiai-kiai lain yang aktif di NU yang
tidak diketahui penulis.
Begitulah santri
kepada kiainya. []
(Abdullah
Alawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar