Sisi Lain
dari Sumpah Pemuda
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Resonansi
ini tidak lagi akan membicarakan seputar Sumpah Pemuda (27-28 Oktober 1928)
sebagai Kongres Pemuda kedua, karena pada usianya yang ke-90 ini, sudah terlalu
banyak artikel yang ditulis, baik dalam media cetak atau dalam sosmed. Ada
sisi-sisi lain yang ingin disorot, baik yang menyangkut sebagian tokohnya di
kemudian hari, istilah sumpah itu sendiri, atau perbandingan peserta kongres
antara laki-laki dan perempuan.
Sebenarnya
antara 30 April-2 Mei 1926 telah berlangsung Kongres Pemuda pertama, tetapi
tidak menghasilkan kesimpulan yang berarti karena egoisme masing-masing
organisasi pemuda kedaerahan yang masih belum cair benar, sekalipun cita-cita
tentang persatuan telah tumbuh. Bahkan seorang Muhammad Yamin, sekretaris
kongres, dari Jong Sumateranen Bond pada hari pertama masih belum bersedia
melakukan fusi, melebur organisasinya ke dalam badan yang lebih besar, yang
lebih mengindonesia. Demikian pula halnya utusan-utusan lain bersikap hampir
serupa.
Tetapi
setelah mendengarkan beberapa uraian dari tokoh lain seperti Sunario
Sastrowardojo, hati Yamin menjadi tergugah. Egoisme kedaerahannya melemah
seketika, semangat keindonesiaannya menjadi semakin kuat. Maka Yamin dalam
bahasa Belanda lalu membisikkan kepada ketua kongres, Soegondo Djojopoespito
(kader Ki Hadjar Dewantara): “Ik heb een eleganter formulering voor de
resolutie” (Saya punya sebuah formulasi resolusi yang elegan).
Soegondo
dan yang lain juga setuju dengan gagasan Yamin itu, maka apa yang dikenal
dengan Trilogi Sumpah Pemuda adalah hasil rumusan Yamin itu. Sebenarnya
perkataan sumpah tidak dikenal selama berlangsungnya kongres. Ketetapan nama
Sumpah Pemuda baru menjadi resmi berdasarkan Keputusan Presiden Soekarno No.
316, tertanggal 6 Desember 1956, selang 28 tahun kemudian.
Peran
Soekarno sendiri sebagai kampiun persatuan nasional dan pendiri PNI (Partai
Nasional Indonesia) pada 4 Juli 1927, dalam proses Sumpah Pemuda itu mungkin
hanya secara tidak langsung saja, sebab namanya tidak ditemukan dalam daftar
peserta kongres. Sedangkan Mohammad Hatta memang sedang berada di Negeri
Belanda saat kongres itu. Tentang peran Bung Karno ini pernah diperdebatkan di
kalangan sementara tokoh nasional.
Berdasarkan
telusuran saya dalam internet, jumlah panitia kongres ada sembilan orang:
Soegondo Djojopoespito (ketua), R.M. Djoko Marsaid (wakil ketua), Muhammad
Yamin (sekretaris), Amir Sjarifuddin (bendahara), Djohan Mohammad Tjai
(pembantu I), R. Katja Soengkana (pembantu II), Senduk (pembantu III), Johanes
Leimena (pembantu IV), dan Rochjani Soe’oed (pembantu V). Mereka berasal dari
berbagai organisasi pemuda dari berbagai daerah. Di sini tampak jelas bahwa
gagasan keindoensiaan sebagai bangsa sudah mengkristal.
Kemudian
jumlah peserta kongres ada 71 orang, termasuk Van der Plaas sebagai wakil
pemerintah kolonial Belanda yang kemudian dikenal sangat meremehkan hasil
kongres ini, dan DR. Pijper. Van der Plaas dengan mental kolonialnya tidak
mengira bahwa semangat kongres ini akan menjadi tonggak penting dalam sejarah
modern Indonesia. Peserta perempuan ada empat orang: Siti Soedari, Emma
Poeradiredja, Suwarni, dan Nona Tumbel.
Di
samping peserta resmi terdapat pula pengamat dari pemuda Tionghoa: Kwee Thiam
Hong, John Lauw Tjoan Hok, Oey Kay Siang, dan Tjoi Djien Kwie. Para peserta
lain yang ingin saya sebut di sini adalah: Abdoel Muthalib Sangadji, Abu
Hanifah, Adnan Kapau Gani, Arnold Mononutu, tokoh PI (Perhimpunan Indonesia
yang sudah pulang ke tanahair), R.M.Sartono, Bahder Djohan), S.M.
Kartosoewirjo, Soedjono Djoenoed Poesponegoro, Soemanang, Kasman Singodimedjo,
Soewirjo, Mohammad Nazif, Mohamad Roem, Mohammad Tamzil, Wilopo, dan Wage
Rudolf Soepratman (Pencipta lagu Indonesia Raya).
Di antara
nama besar dalam panitia dan peserta, banyak yang kemudian berperan besar dalam
merajut keindonesiaan, baik sebelum kemerdekaan mau pun pascaproklamasi.
Tetapi, dengan sangat perih saya sebutkan di sini adalah Amir Sjarifuddin dan
R.M. Kartosoewirjo. Sebagaimana kita ketahui, keduanya mengalami nasib buruk,
karena dinilai tidak setia lagi kepada semangat proklamasi.
Adapun
Wage Rudolf Soepratman (19 Maret 1903-17 Agustus 1938), tokoh legandaris ini
mati muda dalam usia 35 tahun. Dia tidak sempat menyaksikan berkibarnya
sangsaka merah putih yang berdampingan dengan Lagu Indonesia Raya, ciptaannya.
Dan, mohon dicatat, tokoh ini di ujung hayatnya menderita sakit parah dalam
keadaan miskin, sampai-sampai melego harta bendanya untuk dapat bertahan hidup.
Masih banyak sisi lain di sekitar Sumpah Pemuda ini yang bisa diurai, tetapi
kita sudahi sampai di sini saja. []
REPUBLIKA,
30 Oktober 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar