Evie, Ebiet, dan Musik Kita
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Penulis adalah salah seorang diantara sekian banyak penggemar
musik Ebiet. G Ade. Lagu-lagunya penulis ikuti dan di mobil selalu ada CD
atau kaset lagu-lagu Ebiet. Apakah itu balada perjuangan ayahnya, yang penulis
tidak tahu masih hidupkah atau tidak. Tentang penderitaan beliau, tentang sosok
diri beliau orang yang setia terhadap perjuangan dan menanggung beban
masyarakat setelah menginjak masa tua, terekam dengan sangat baik dalam lagu
Ebiet. Begitu juga, ketika Ebiet menceritaka pertemuannya dengan seorang anak
yang kedua orang tuanya mati menjadi korban bencana alam. Tidak hanya bercerita
tentang fenomena itu, melainkan juga tentang kemurkaan Tuhan atau sikap tak
acuh dari alam, karena kesembronoan manusia.
Lain lagi ketika dalam perjalanan bulan puasa ini pulang
pergi dari Garut, penulis mendengarkan 3 buah kaset berisikan lagu-lagu Evie
Tamala, yang berirama dangdut. Tentu saja, sangat berbeda dalam pendekatan
antara Evie Tamala dan Ebiet. Yang seorang berbicara tentang tema-tema “serba
luhur”, sedangkan yang seorang lagi berbicara tentang “hal-hal biasa” tentang
hubungan antar manusia yang bersifat “biologis”. Kalau yang pertama berbicara
tentang keadaan yang harus dipikirkan dengan “mengerutkan dahi”, dengan
tema-tema besar tentang keadaan manusia dewasa ini maka Evie menyampaikan
dendang tentang “reaksi sementara” tentang hal-hal yang libidal. Perbedaan
demikian mendasar tentang cara menghadapi hidup dengan segala perbedaan urusan
dan persoalan yang dihadapi manusia, sangat membedakan cara penanganan masalah
oleh Ebiet dan Evie. Sehingga terasa, apakah memang patut membanding-bandingkan
antara “kepekatan” pendekatan Ebiet atas kehidupan dan “begitu mudahnya” Evie
mencoba memahami kehidupan yang sangat kompleks ini.
Ebiet mencoba memahami hidup yang serba kompleks ini dengan
mencari “kata kunci” yang menggambarkan dengan tepat dua corak hubungan, yaitu
hubungan antar seorang manusia dengan pencipta “Khaliq-nya”. Sedangkan Evie
memandangnya semata-mata sebagai fenomena yang tidak perlu dirumuskan dengan
teliti dan tepat, melainkan sekedar untuk dinikmati saja. Dengan kata lain,
jika Ebiet dengan penuh kesakitan mencoba memahami arti kehidupan, di mana ia
sebagai anggota masyarakat yang berpikir secara utuh ingin “membuat sejarah”,
dengan melantunkan dendang pikiran-pikirannya, maka Evie Tamala dengan caranya
sendiri mencoba memahami kompleksitas yang ada dengan tidak usah terlalu banyak
“dipikirkan”, melainkan “sekedar” diketahui bahwa hal itu memang ada. Mungkin
kedua-dua cara itu memiliki kebenaran masing-masing mungkin juga tidak. Penulis
sebagai pengamat hanya mencatat apa yang ada dan apa yang didengarnya. Mengenai
ukuran “kebenaran” yang diproyeksikan oleh kedua jenis musik balada dari Ebiet
dan “persembahan ringan” dari Evie dengan lantunan lagu-lagu dangdutnya, tentu
saja penulis tidak berhak membuat perbandingan.
*****
Yang menarik, justru kedua-duanya menggunakan dua hal yang
sama-sama menyita perhatian penulis. Aransmen lagu-lagu yang dibuat
dengan selera tinggi, pilihan alat-alas/instrumen yang sangat baik, dan lirik
lagu yang menggambarkan proses merasa/berpikir “yang tinggi” seleranya. Hal ini
sangat berbeda dari lagu-lagu dalam blantika musik kita saat ini: mengajak
berpacaran, mengajak berdendang, dan juga terkadang mengajak berpelukan atau
berciuman bibir. Di situ tampak yang “ditawarkan” oleh blantika musik Indonesia
musik kita sekarang berupa selera rendah saja, apalagi kalau disertai
goyangan/pengeboran Inul, yang penulis heran begitu rupa dimarahi, para
“seniman kondang” seperti Rhoma Irama.
Kebiasaan untuk menggambarkan sesuatu melalui musik, merupakan
sesuatu yang manusiawi, dan karena itu cinta diekspresikan dalam berbagai
bentuk oleh blantika musik apapun dalam budaya manapun, dengan gaya dan
ekspresi masing-masing kiasan yang digunakan, juga dapat berupa penggambaran
alam seperti penggambaran wajah sang kekasih seperti bulan purnama, atau
ketampanan sang kekasih berjenis pria memiliki keanggunan seorang raja dan seterusnya.
Contoh dalam hal ini adalah lagu “ Al-Athalal” yang dinyanyikan Ummi Kaltsum
dalam blantika musik Arab yang sangat indah tiga puluh tahun yang lalu.
Nyanyian modern itu, dengan judul di atas yang berarti “puing-puing” mengikuti
bentuk tradisi sajak Arab kuno ketika seorang pencinta menemui bekas-bekas
peninggalan tempat hidup kekasihya, yang kini sudah dibawa pindah kaumnya entah
kemana.
*****
Sajak modern dengan bahasa Arab modern dan menggunakan instrumen
musik modern itu, mengulang kembali kebiasaan orang-orang Arab kuno untuk
merenungi puing-puing dan mengingat-ingat bagaimana rasa kasih antara dirinya
dan orang yang dicintai itu terekspresi dalam lagu. Kemampuan untuk
mengingat-ingat ekspresi kecintaan antara diri sang pemuja dan kekasihnya itu,
diekspresikan dengan sangat tepat melalui suara, penyanyi, instrumen musik yang
tepat dan komposisi lagu yang juga menunjukkan kualitas sangat tinggi dari
“ciptaan seni” tersebut. Itu merupakan keutuhan yang membuat rakyat Arab masih
senantiasa mendedangkan lagu itu, walaupun sudah berusaha lebih dari tiga puluh
tahun dan menunjukkan kekuatan luar biasa dari sebuah lagu ciptaan bila digarap
dengan apik.
Beberapa waktu yang lalu, penulis diwawancarai oleh BBC World
Service, yang menelpon dari London utnuk menanyakan apakah lagu favorite
penulis, untuk ditayangkan pada hari lahir siaran radio tersebut. Penulis
bertanya dalam bahasa apa, karena kalau itu dalam bahasa Jerman, maka koor
dalam gerak keempat Symphony nomor 9 dari Ludwig Van Beethoven, yang dimainkan
oleh Nord-Deutsche Rundfunk Orchester di bawah pimpinan Hugowand adalah
puncaknya.Ketika ditanya jika dalam bahasa Inggris, penulis menjawab lagu
favoritenya adalah “Me and Bobby Mc gee” yang dinyanyikan Janis Joplin. Sang
pewancara sangat terkejut, tahukan anda siapa penyanyi tersebut, tanyanya.
Tahu, kata penulis, ia adalah rocker yang meninggal dalam usia 24 tahun karena
over dosis narkoba. Dan isi nyanyiannya? Penulis menjawab ya tentang “seorang
gadis” hippie yang menumpang lokomotif penarik gerbong-gerbong batu bara tiga
hari lamanya. Ia dan sang masinis lokomotif itu berkendaraan kereta dan tidur
tanpa kawin di hotel-hotel di tempat yang dilalui kereta itu. Penulis
menyukainya bukan karena isi lagu itu melainkan terdengar sangat indah di kuping.
Jelaslah dengan demikian, bahwa musik yang dikerjakan dengan
sepenuh jiwa yang menyentuh indahnya kehidupan, digarap dengan apik dan
menggunakan bahasa yang tidak vulgar, adalah ciptaan manusia untuk “menangkap”
perasaan yang memenuhi rongga dada para pemusik itu. Sehingga para pendengar
atau pemirsa benar-benar sangat dipengaruhi olehnya waktu itu. Bila kita terus
menerus mendapatkan hidangan jiwa berkualitas tinggi seperti apa yang dibawakan
Evie Tamala dan Ebiet G. Ade itu, dengan sendirinya perasaan kita juga akan
menumbuhkan selera yang tinggi pula. Di sinilah letak arti ciptaan seni bagi
kita semua: semakin tinggi kualitasnya, semakin tinggi pula getaran-getaran
rasa/emosi yang ditimbulkannya dalam diri pendengar/pemirsanya. Mudah
dikatakan, namun sulit diciptakan, bukan? []
Jakarta, 17 November 2003
Memorandum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar