Indonesia
Maju?
Oleh:
Yudi Latif
Hingga
kapan kita terperdaya dalam kontestasi dan tengkar politik yang menguras energi
nasional dan baru merasa sedikit bangga sebagai bangsa tatkala muncul orang
seperti Lalu Muhammad Zohri—yang dengan perjuangannya sendiri berlari meraih
prestasi di gelanggang dunia? Sungguh kita terlalu berbusa omong tentang
fantasi kemajuan bangsa dengan bonus demografinya yang terus didaraskan, tanpa
sungguh-sungguh menyiapkan fundamen kuat. Secara politik, fundamen kemajuan itu
setidaknya meliputi keampuhan rezim pembuatan kebijakan (policymaking regimes),
rezim produksi (production regimes), dan rezim pengetahuan (knowledge regimes).
Politik
kemajuan tidak bisa dibangun dengan horizon visi pendek, dengan kampanye
berkepanjangan dalam urusan pencitraan. Esensi politik bagi kehidupan publik
adalah melahirkan rezim pembuatan kebijakan yang responsif terhadap kepentingan
umum. Rezim kebijakan melibatkan organisasi dan tata kelola negara, partai
politik, dan segenap institusi politik.
Dengan
kredo bringing
the state back in, rezim kebijakan ini sangat menentukan apakah
demokrasi sungguh-sungguh memperkuat daulat rakyat atau menyingkirkan
sang demos.
Kemenangan pasar global kapitalisme pasca-Perang Dingin telah menjadikan pasar
dan modal dengan penetrasi lintas negara sebagai kekuatan dominan dalam
mendikte kebijakan politik.
Hubungan
politik digantikan oleh hubungan konsumtif. Politik mengalami proses
konsumerisasi dan privatisasi. Dengan konsumerisasi, branding recognition lewat
manipulasi pencitraan menggantikan kualitas dan jati diri. Dengan privatisasi,
modal menginvasi demokrasi dengan menempatkan ”aku di atas kita” yang
menimbulkan penolakan atas segala yang civic. Pada titik itu, sebagian besar rakyat (demos)
tak lagi berdaulat atas politik.
Gelombang
ketidakpuasan rakyat pada rezim kebijakan dari demokrasi dekaden itu mendorong
kerinduan pada pemerintahan kuat sebagai pengendali penetrasi pasar. Dorongan
ini ditandai merebaknya popularitas populisme dan sayap kanan serta tendensi ke
arah stabilitas pemerintahan, seperti terus berkuasanya Angela Merkel di
Jerman, Vladimir Putin di Rusia, Recep Tayyip Erdogan di Turki, kembalinya
Mahathir Mohamad di Malaysia, bahkan peluang yang diberikan konstitusi kepada
Xi Jinping sebagai presiden seumur hidup di China.
Kecenderungan
global mengisyaratkan perlunya politik mempersiapkan rezim pembuatan kebijakan
dengan dukungan pemerintahan yang kuat. Rezim kebijakan ini harus menyusun pola
pembangunan semesta berencana dalam jangka panjang, yang memuat haluan pokok
dan prinsip direktif yang menyeluruh dan terpadu, yang dapat melindungi
kepentingan umum dari penetrasi pasar kapitalisme yang melemahkan demokrasi.
Pemulihan
rezim kebijakan ini harus juga memperhatikan rezim produksi di dunia usaha.
Orientasinya bagaimana demokrasi politik diiringi demokrasi ekonomi. Harus
dipastikan agar rantai perekonomian dari hulu ke hilir tidak terkonsentrasi di
satu tangan. Butuh usaha mengembangkan hubungan produksi yang inklusif dengan
semangat kooperatif. Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang
banyak harus digunakan untuk kemakmuran rakyat, tidak boleh jatuh ke
perorangan.
Penataan
rezim kebijakan dan rezim produksi itu memerlukan dukungan rezim pengetahuan.
Rezim pengetahuan ini melibatkan dunia pendidikan, lembaga riset, dan tangki
pemikir. Tantangannya adalah bagaimana muatan kurikulum pendidikan lebih
selaras dengan model rezim pengambilan kebijakan dan rezim produksi yang
dikehendaki.
Bagaimana
pula membawa hasil penelitian dari lembaga riset pemerintah dan perguruan
tinggi ke jantung rezim kebijakan dan produksi. Dalam kerangka rezim kebijakan,
harus didorong kolaborasi produktif antara lembaga riset pemerintah, perguruan
tinggi, swasta, dan lembaga kepakaran di parlemen. Juga perlu ada sinergi
antara tangki-tangki pemikir swasta dan tangki pemikir di lingkungan kepartaian
dan pemerintah. Beberapa negara Skandinavia, seperti Denmark dan Norwegia,
relatif mampu menjaga rezim kebijakannya dari penetrasi neoliberalisme, antara
lain karena tersedianya kerangka-kerangka kooperatif-kolaboratif dalam rezim
pengetahuan.
Dalam
kerangka rezim produksi, perlu dibudayakan kolaborasi riset antara lembaga
riset pemerintah, perguruan tinggi, dan perusahaan. Riset akhirnya harus
menjadi kepentingan intrinsik dari proses inovasi di sektor perusahaan. Untuk
itu, perekonomian berbasis ekstraktif harus segera ditransformasikan menjadi
perekonomian berbasis pengetahuan. Insentif pemerintah harus diberikan kepada
perusahaan-perusahaan yang mengembangkan knowledge economy, seperti
langkah Pemerintahan Korea Selatan dalam mendorong tumbuhnya
perusahaan-perusahaan berbasis pengetahuan.
Jika kita
ingin keluar dari dunia fantasi menuju realitas kemajuan bangsa di masa depan,
secara politik kita harus segera keluar dari kegaduhan kontestasi dan tengkar
politik yang mahal menuju kesungguhan melakukan penataan rezim pembuatan
kebijakan, rezim produksi, dan rezim pengetahuan. Di situlah pusat pertaruhan
bangsa. []
KOMPAS,
19 Juli 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar