Arah Dua Pola Kehidupan (7)
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Dalam membangun pola kehidupannya, masyarakat Belanda di kawasan
ini berhasil membentuk apa yang kemudian kita kenal sebagai perpaduan dua hal.
Yaitu antara sesuatu yang berorientasi kepada laut,dengan apa yang kemudian
kita kenal sebagai “penghancuran pola niaga / laut ”. Kata Hongi-tochten
(pelayaran razia) sebagai contoh, dilakukan atas produk-produk niaga yang kita
miliki seperti pala dari banda. Tindakan ini diambil VOC untuk menjaga agar
jangan terjadi penurunan harga pala. Mereka mencegah agar jangan sampai terjadi
produksi berlebih dari pala ini. Kelebihan produksi pala dicegah jangan masuk
pasaran dunia, sementara suplai komoditi jenis niaga-laut yang tersisa ini
dihancurkan.
Dengan “membatasi” produksi jenis komoditi tertentu seperti ini,
sangat banyak hal yang harus diderita oleh para petani kita. Justru yang
menikmati kelebihan harga kerena adanya “keterbatasan suplai” komoditas ini
adalah pengusaha Belanda (VOC), yang membelinya dari tangan petani dengan harga
sebelum pembatasan produksi. Para petaninya tetap saja tidak turut memperoleh
kenaikan harga ini. Mereka diperlakukan kejam oleh para kolonialis Belanda,
tanpa ada perlawanan berarti, padahal para petani pala yang menanam/
memproduksi pala di atas kuota yang “menjadi bagiannya” akan menghadapi
bermacam resiko akibat kelebihan produksi itu. Sampai hari ini pala Banda masih
dikenal sebagai produk kualitas tinggi. Hanya saja lima puluh tahun lebih kita
hidup dalam alam kemerdekaan, hampir-hampir tidak ada peninjauan terhadap
komoditi niaga-laut tersebut. Sehingga kita bertanya-tanya apakah ini
kelanjutan dari kebijakan pemerintah kolonialis Belanda yang dulu itu atau
tidak?. Kita juga tidak tahu, berapa batang pohon pala yang ada sekarang,
dan kebijakan apa yang harus diambil untuk meremajakannya, serta apa akibat
dari tidak mendukungnya prasarana (infrastruktur) yang ada atas komoditas niaga
laut? Seingat penulis, kita tidak pernah berpikir untuk memperbaiki atau
memperluas prasarana fisik yang ada, apalagi secara professional melakukan dua
hal sekaligus: Satu membuat pabrik penyulingan minyak pala yang modern, guna
mendukung produksi yang tinggi atas pertanian pala, dan kedua merebut pasaran
dunia secara langsung dan bertahap.
*****
Kita tidak usah heran dengan perkembangan ini, yang juga terjadi
atas komoditas-komoditas andalan kita lainnya. Hal ini antara lain disebabkan
oleh kenyataan, betapa lemahnya kedudukan pemerintah daerah baik secara
ekonomis atau finansial, hukum dan politis. Sebenarnya, segala macam
undang-undang tentang ekonomi daerah seharusnya secara jelas merumuskan pola
hubungan pusat-daerah. Namun, kesibukan kita sekarang justru berkutat atas
versi para pegusaha melawan para birokrat -yang selalu melihat meningkatnya
kekuasaan daerah merugikan pemerintah pusat. Jadi tidak diperhatikan bagimana
daerah dibangun di masa depan dengan menggunakan konsep-konsep tersebut.
Seharusnya, jika “rancangan induk” mengenai sebuah daerah sudah menyinggung dan
menyediakan sarana untuk pengembangan komoditas utama daerah, maka harus
dilanjutkan dengan pengembangan aspek lain, seperti pembangunan sarana fisik
dalam bentuk pelabuhan, pengudangan, perkeretaapian, penerbangan dan mekanisme
kepegawaian, guna mendukung hal-hal tersebut. Ini yang justru harus dimengerti
para pegawai negeri yang terkait dengan perencanaan daerah, seperti Bapeda. Dan
pemimpin masyarakat harus tahu hal itu, juga dan pers nasional harus meliputnya
berkali-kali, namun hal itu adalah hal yang sangat diabaikan. Pantaslah jika
akbatnya masyarakat setempat tidak mengenal rencana pengembangan daerah
masing-masing.
Sementara rancangan undang-undang pembangunan nasional, hanya
diketahui oeh para perencana ruang itu. Kalaupun ada ‘ekspose’, hanya
dalam sebuah pemeran atau sebuah tayangan, akibatnya pihak di luar para
perencana itu sendiri tidak akan mengetahuinya. Karenanya pola komunikasi
dengan para pemimpin masyarakat harus diubah. Rencana-rencana pengembangan di
masa depan haruslah menjadi milik bersama. Ini merupakan terjalinnya ikatan
yang hidup antara pemerintah dan masyarakat. Karena jika tidak, maka perbaikan
sistem secara menyeluruh tidak akan pernah ada. Sementara sekarang, kalau pun
ada perbaikan maka itu hanya kebetulan yang dirasakan untuk menjaga pandangan
luar negeri yang menguntungkan.
*****
Dengan demikian, rancangan untuk memperbesar jaringan pemasaran
sebuah komoditi yang harus ditanam di sebuah daerah, -seperti penanaman pala di
pulau Banda- tidak perlu dibatasi hanya karena takut akan terjadi
produksi berlebih (over produksi). Di masa yang akan datang, dengan mengadakan penelitian
mengenai minyak pala dan pelebaran pemasarannya, maka konsumsi pala tidak hanya
dalam bentuk makanan dan turunnanya, tapi masih luas aplikasi dan penggunaan
pala dalam kehidupan kita sendiri. Dengan demikian, pala tidak hanya menjadi
komoditi pasaran tradisional, tetapi juga akan menjadi komoditas dunia yang
dalam penggunaanya di lingkungan masyarakat akan semakin berkembang, sesuai
dengan kemampuan kita untuk melakukan riset yang diperlukan. Diversifikasi atau
peragaman cara-cara menggunakan pala akan menentukan masa depan komoditi
tersebut.
Di sinilah peran pembiayaan oleh pemerintan akan sangat menentukan
bagi masa depan komoditas itu dan pentingnya orientasi niaga- laut yang harus
dikembangkan bagi bangsa kita di masa depan. Tidak cukup hanya dengan pandangan
hidup agraris belaka, beserta administarasi dan birokrasinya yang semakin
membengkak itu. Apa yang dilakukan Sultan Agung Hanyakrakusuma dalam abad ke
XVI, sama sekali tidak memperhitungkan keadaan bahwa hampir 2/3 kawasan
Indonesia adalah laut. Karenanya, laut itu sendiri haruslah menjadi lahan utama
untuk mata pencaharian bangsa kita. Ini berarti harus adanya pandangan hidup
bangsa yang lebih mementingkan laut dari pada darat, karenanya perkembangan
laut dalam segala aspeknya harus diutamakan.
Menjaga kelestarian kekayaan yang dikandung laut, baik berupa
mahluk hidup, terumbu karang maupun pulau-pulau kita haruslah mendapatkan
prioritas utama. Kalau perlu ekspor pasir laut harus dilanrang, karena hingga
saat ini pembelian pasir laut oleh Singapura sudah mencapai titik sangat
membahayakan keberadaan gugusan pulau-pulau kita. Merupakan ironisme, sementara
Indonesia mempersempit luas datarannya, karena kapal-kapal yang disewa
negara kecil itu menghisap pasir dari pulau-pulau di Propinsi Riau, tapi
Singapura melebarkan kawasannya ke arah Selat Malaka beberapa kali lipat dengan
menggunakan pasir impor dari Tanah Air kita. Karena itu ekspor pasir laut harus
dilarang, sesuatu yang mudah dikatakan namun sulit dilaksanakan, bukan? []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar