Kisah Ibnu Khafif dan Antelop Liar
Dalam kitab Raudl al-Rayahin fi Hikayah
al-Shalikhin karya Syeikh Afifuddin Abdullah bin As’ad al-Yafi’i (696-768 H),
terdapat kisah ujian kesabaran Ibnu Khafif (w. 981 M) dan seekor antelop liar
(semacam rusa). Diceritakan:
قال: دخلت بغداد
قاصدا الجمع, وفي رأسي نخوة الصوفية يعني حدة الإرادة وشدة المجاهدة وأطرح ما سوي
الله تعالي. قال: ولم أكل أربعين يوما ولم أدخل علي الجنيد وخرجت ولم أشرب وكنت
علي طهارتي فرأيت ظبيا في البرية علي رأس بئر وهو يشرب وكنت عطشان فلما دنوت من
البئر ولي الظبي وإذا الماء في أسفل البئر فمشيت وقلت: يا سيدي مالي عندك محل هذا
الظبي فسمعت قائلا يقول من خلفي: جربنك فلم تصبر ارجع فخذ الماء إن الظبي جاء بلا
ركوة ولا حبل وأنت جئت بالركوة والحبل فرجعت فإذا البئر ملآنة فملأت ركوتي وكنت
أشرب منها وأتطهر إلي المدينة ولم ينفد الماء فلما رجعت من الحج دخلت الجامع فلما
وقع بصر الجنيد علي, قال: لو صبرت ساعة لنبع الماء من تحت قدميك
Aku memasuki kota Baghdad dengan tujuan
menghadiri perkumpulan. Di kepalaku ada kesombongan kesufian, yaitu (berlagak)
mempertajam kehendak, menguatkan mujahadah dan menyisihkan segala sesuatu yang
selain Allah SWT.
Aku tidak makan empat puluh hari lamanya,
tidak pula bergabung dengan perkumpulan Junaid. Aku keluar dan tidak minum.
Ketika aku hendak bersuci, aku melihat seekor antelop liar diatas sumur dan
sedang minum. Aku sangat kehausan.
Ketika aku mendekati sumur, antelop liar itu
melarikan diri. Ketika itu airnya telah berada di titik terbawah sumur (tidak
dapat diambil lagi), aku berjalan pergi sembari berkata:
“Wahai Tuanku, milikku disisiMU, telah
berpindah ke antelop ini.”
Kemudian aku mendengar seseorang berkata dari
arah belakangku:
“Kami mengujimu dan kau tidak sabar.
Kembalilah, dan ambillah air. Sesungguhnya antelop itu datang ke sumur tanpa
membawa sampan (untuk menyimpan air) dan tali (untuk menimba). Sedangkan kau
datang membawa sampan dan tali.”
Maka aku kembali, ketika itu air sumur sudah
melimpah, lalu kupenuhi sampanku. Aku pun minum darinya serta bersuci dengannya
sampai Madinah, dan air itu tidak habis. Ketika aku pulang dari haji, aku
memasuki perkumpulan (Imam Junaid al-Baghdadi). Ketika aku berhadapan
dengannya, Ia berkata: “Andai saja kau bersabar sesaat lagi, akan bercucuran
air dari bawah telapak kakimu.” (Afifuddin Abi al-Sa’adat Abdullah bin As’ad
al-Yafi’i al-Yamani, Raudl al-Rayahin fi Hikayah al-Shalihin, Kairo: Maktabah
Taufiqiyyah, tt, hlm 102).
Setelah mengalami ujian ketidak-sabaran, Imam
Ibnu Khafif menyelam kedalam diri untuk menjernihkan hatinya. Ia, kemudian
melakukan riyadloh (kontemplasi ketat) sekaligus bertaubat atas kegagalannya
dalam menguatkan kesabarannya.
Ketika kecongkakan hadir, meski dalam rupa
yang mempesona sekalipun seperti penguatan mujahadah, ia akan menjadi celah
masuknya bisikan setan. Imam al-Ghazali menyebutnya madakhil al-syaitan (pintu
masuk setan), yang terbuka ketika prasangka atau perbuatan buruk dilakukan
manusia.
Dari pengalamannya itu, Imam Ibnu Khafif
membagi sabar dalam tiga tingkatan. Pertama, mutashabbirun, orang yang
berkeinginan bersabar. Kedua, shabirun, orang yang bersabar. Ketiga, shabbarun,
orang yang terus menerus bersabar atau kesabarannya tidak memiliki batas.
(Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyyah, Kairo: Muassasah
Darul Sya’b, tt,hlm 326).
Di saat kejadian itu terjadi, Ibnu Khafif
masih sekedar mutashabbirun, kesabarannya sebatas hasrat menggebu yang belum
berimbang. Karenanya, Ia mengeluh tidak mendapatkan air untuk diminum dan
bersuci. Ia bahkan membuat antelop itu lari ketakutan, meninggalkan sumur
karena Ibnu Khafif berjalan mendekatinya, tidak menunggu antelop itu
menyelesaikan minumnya.
Untuk sesaat Ibnu Khafif diselimuti rasa
takut tidak mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhannya, hingga secara sengaja
membuat antelop itu lari ketakutan. Latihan kesabarannya selama ini, 40 hari
tidak makan dan lain sebagainya, diruntuhkan seketika oleh hawa nafsunya
(egoisme).
Kemudian terdengar suara yang menggugah
pikiran Imam Ibnu Khafif, bahwa kesabarannya tidaklah seberapa. Suara itu
melucuti kepasrahan dan kesabarannya, membandingkannya dengan antelop liar.
“Kau datang membawa sampan dan tali,” artinya ada persiapan untuk memenuhi
sampannya dan menjadikannya bekal, tapi “antelop itu datang tanpa membawa
sampan dan tali.” Hanya mengambil seperlunya saja, sisanya dipasrahkan pada
kehendakNya.
Sentilan penuh makna juga diberikan Imam Abu
Sulaiman al-Darani (140-215 H) yang mengatakan:
وَاللهِ
مَا نَصْبِرُ عَلي مَا نُحِبُّ, فَكَيْفَ مَا عَلَي مَا نَكْرَهُ؟
“Demi Allah, (jika) kita tak bisa sabar atas
hal yang kita cintai, bagaimana mungkin kita bisa sabar atas hal yang kita
benci?” (Imam Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyyah, hlm
325).
Mencintai adalah kerja keras, bukan perkara
mudah. Berkali-kali jatuh dan tertatih-tatih, terbakar api cemburu dan
kerinduan yang menyala-nyala. Jika dalam suka-lara dan kerja keras mencintai
saja manusia tidak bisa sabar, bagaimana dengan hal yang dibenci. Apakah masih
ada ruang untuk kesabaran?
Maka dari itu, kesabaran harus tetap
tergenggam. Karena kita tidak tahu, apa yang akan terjadi ketika kita terus
menggenggamnya. Ada banyak kemungkinan di depan kita. Tapi, sekali kita
melepaskannya, kemungkinan itu lenyap. Seperti Imam Junaid al-Baghdadi yang
membocorkan salah satu kemungkinan dari hasil kesabaran, dengan mengatakan:
“Andai saja kau bersabar beberapa saat lagi, akan bercucuran air dari bawah
telapak kakimu.”
Ya, kita memang tidak tahu apakah air itu
akan benar-benar keluar dari bawah telapak kaki Imam Ibnu Khafif atau tidak,
yang pasti selalu ada hasil dalam bersabar. Namun perlu diperhatikan, janganlah
bersabar untuk mendapatkan hasil, itu salah.
Sebab, penyesalan terbesar Ibnu Khafif bukan
karena tidak diperolehnya keuntungan (hasil), tapi jiwanya kembali keruh
setelah sekian lama ia berusaha menjernihkannya. Pertanyaan yang muncul
kemudian adalah, seberapa sabarkah kita? Wallahu a’lam... []
Muhammad Afiq Zahara, Alumnus Pondok
Pesantren al-Islah, Kaliketing, Doro, Pekalongan dan Pondok Pesantren
Darussa’dah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar