KHOTBAH JUM'AT
Mencintai Tanah Air, Memaklumi Keberagaman
Khutbah I
اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، اَلَّذِى خَلَقَ اْلإِنْسَانَ خَلِيْفَةً فِي اْلأَرْضِ وَالَّذِى جَعَلَ كُلَّ شَيْئٍ إِعْتِبَارًا لِّلْمُتَّقِيْنَ وَجَعَلَ فِى قُلُوْبِ الْمُسْلِمِيْنَ بَهْجَةً وَّسُرُوْرًا. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِى وَيُمِيْتُ وَهُوَعَلَى كُلِّ شَيْئ ٍقَدِيْرٌ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًاعَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَنَبِيَّ بَعْدَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمـَّدٍ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَأَفْضلِ اْلأَنْبِيَاءِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَاِبه أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ، فَيَاأَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْااللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Jamaah shalat Jumat hadâkumullah,
Suatu hari sebuah keluarga hendak mengecat
rumah mereka dengan warna yang baru. Sang istri yang warna favoritnya adalah
merah muda ingin rumahnya dicat dengan warna serba pink. Tapi sang suami
berkemauan lain. Ia tidak begitu berselera dengan warna semacam ini. Ia lebih
suka dinding rumahnya memiliki warna serbaputih. Anak-anak mereka bisa jadi
berangan-angan warna lain tentang tembok kediaman mereka.
Lantas bagaimana keputusannya? Dilakukanlah
sebuah musyawarah antaranggota keluarga tentang warna cat rumah yang sesuai
dengan kesepakatan semua pihak. Mereka saling berargumen, saling memberi
masukan. Sempat berdebat keras tapi masing-masing segera bisa meredamnya karena
khawatir merusak keharmonisan rumah tangga. Singkat cerita, disepakatilah warna
kuning yang memiliki karakter cerah sebagaimana pink dan putih. Menurut mereka
kuning juga memiliki arti kehangatan, optimism, dan rasa bahagia. Mereka
berharap ada ketenteraman (sakînah) pada keluarga kecil mereka.
Jamaah shalat Jumat hadâkumullah,
Cerita tersebut hanyalah ilustrasi tentang
dinamika perbedaan pendapat, selera, lalu proses mengatasinya. Kasusnya adalah
keluarga, unit terkecil dalam masyarakat. Cara yang sama juga bisa terjadi
dalam lingkup yang lebih besar: RT, RW, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi,
dan bahkan negara.
Yang menarik dari ilustrasi tersebut adalah
bagaimana mereka mengelola perbedaan, memaklumi selera yang beragam, dan
menempuh jalan musyawarah sebagai metode mempertemukan titik-titik kesepakatan.
Apa yang membuat mereka berkepentingan untuk sampai pada titik kesepakatan itu?
Tidak lain adalah karena mereka lebih mendahulukan kepentingan keluarga
daripada selera diri sendiri, mencitai rumah tangga mereka melebihi menuruti
keinginan pribadi. Masing-masing dari mereka menempatkan kedamaian, harmoni,
dan ketenteraman keluarga sebagai hal yang prioritas di atas perbedaan kehendak
yang sifatnya sekunder saja.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini
pun demikian. Keragaman adalah sunnatullah, keniscayaan yang sudah Allah
takdirkan. Dengan jumlah orang yang demikian besar, tinggal di wilayah dengan
kondisi geografis berbeda, lingkungan masyarakat yang beragam, dan isi pikiran
yang bermacam-macam, tidak mengherankan bila riak-riak perselisihan hampir
senantiasa ada. Ini bukan sesuatu yang selalu negatif meski bukan berarti layak
didiamkan hingga meningkat ke level permusuhan dan perpecahan.
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ
Artinya: "Wahai manusia sesungguhnya
Kami menciptakan kamu sekalian dari seorang pria dan seorang wanita dan kami
menjadikan kamu berbagai bangsa dan suku, agar kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantaramu di sisi Allah ialah orang yang
saling bertaqwa". (Q.S. al-Hujarat:13).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa keragaman
jenis kelamin, suku, dan bangsa sengaja diciptakan oleh Allah. Al-Qur’an
menggunakan istilah “khalaqnâkum” (telah Kami ciptakan). Namun demikian, Al-Qur’an
mengajak kita semua untuk saling memahami satu sama lain karena pada dasarnya
setiap orang adalah setara, yang membedakan mereka di sisi Allah adalah derajat
ketakwaannya. Dalam hal ini, pesan ayat tersebut selaras dengan anjuran
bermusyawarah dalam Islam. Musyawarah merupakan ikhtiar mendudukkan perkara
secara arif dengan mendiskusikannya bersama pihak-pihak lain guna menemukan
titik persetujuan tertentu.
Jamaah shalat Jumat hadâkumullah,
Fakta tentang kebinekaan dan musyawarah
sebagai metode penyelesaian masalah tidaka akan berjalan tanpa masing-masing
pihak memiliki kesadaran akan pentingnya menjunjung tinggi kemaslahatan
bersama. Seperti seorang suami atau istri yang mencintai rumah tangganya, dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara kita mengenal sikap ini dengan sebutan cinta
tanah air (hubbul wathan). Cinta tanah air lebih dari sekadar cinta terhadap
asal daerah tapi cinta terhadap kelangsungan hidup masyarakat di atasnya dengan
segenap kemajemukannya.
Turunan dari cinta tanah air ini antara lain
adalah jiwa patriotik ketika negara kita dijajah dan dizalimi sebagaimana
Rasulullah membela umatnya ketika mendapat serangan dari kaum musyrikin; juga
menurunnya tensi egosentrisme, dan melihat persoalan dalam konteks kepentingan
bersama. Dalam kaidah fiqih disebutkan:
المُتَعَدِّيْ أَفْضَلُ مِنَ اْلقَاصِرِ
Sesuatu yang manfaatnya dirasakan masyarakat
luas itu lebih utama ketimbang sesuatu yang manfaatnya hanya dirasakan diri
sendiri.
Dalam sejarah bangsa Indonesia, ulama-ulama
kita pernah mempraktikkan hal ini. Proses pendirian negara-bangsa Indonesia
dilingkupi dinamika pikiran dan sosial yang luar biasa dari berbagai penjuru.
Namun cerita itu akhirnya berhenti pada kesepakatan pilihan akan Pancasila,
lima dasar negra yang bisa diterima seluruh pihak dan tidak bertentangan—bahkan
selaras—dengan substansi ajaran Islam.
Oleh karena itu sebagian ulama kita menyebut
Indonesia sebagai darul mu‘âhadah (negara kesepakatan). Indonesia
dibentuk dari ijtihad para pendirinya yang mementingkan kemaslahatan bersama di
atas kepentingan pribadi dan kelompok. Ia berangkat dari fakta keragaman
kehendak dan melewati musyawarah yang bermartabat.
Jamaah shalat Jumat hadâkumullah,
Ketika ada sebagian orang yang mengatakan
bahwa cinta tanah air adalah bagian dari ‘ashabiyah (fanatisme bangsa)
adalah keliru. ‘Ashabiyah lekat dengan tradisi masyarakat jahiliyah yang
gemar melakukan pertumpahan darah antarsuku akibat fanatisme golongan.
Rasulullah hadir di antaranya membawa misi memberantas penyakit sosial ini.
Cinta tanah air justru menghendaki dibuangnya fanatisme kesukuan atau budaya
tertentu untuk kemudian fokus pada kepentingan bersama sebagai bangsa yang
bersatu, bangsa Indonesia. Cinta tanah air juga tidak otomatis membenarkan
adanya kebencian terhadap tanah air orang lain. ‘Ashabiyah memicu
perpecahan, sementara cinta tanah air punya semangat mempersatukan.
Sebagaimana dipraktikkan Nabi di Madinah,
masyarakat bersatu dalam naungan Watsiqatul Madînah (Piagam Madinah),
butir-butir kesepakatan di kalangan penduduk Madinah kala itu yang beragam.
Mereka mencintai tanah air dan memaklumi pluralitas di dalamnya. Karena itu
dibuatlah perjanjian atau kontrak sosial yang melindungi semuanya secara setara
dan memberikan dampak hukum bagi para pelanggarnya. Piagam Madinah ini
disebut-sebut sebagai konstitusi tertulis pertama di dunia yang kini berkembang
di dunia modern.
بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Khutbah II
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar