Senin, 09 Juli 2018

Kang Komar: Penumpang Gelap Reformasi


Penumpang Gelap Reformasi
Oleh: Komaruddin Hidayat

MAAF, judul di atas terkesan sarkastik. Tapi realitasnya memang selalu saja ada orang-orang yang mengambil keuntungan dalam suasana kekacauan ataupun kebingungan sosial. Makanya muncul berbagai istilah seperti penumpang gelap, penyusup, loncat naik di tikungan, dan istilah lain serupa.

Saya punya pengalaman yang sekali-sekali muncul, yaitu ketika menghadiri pemakaman Nurcholish Madjid (Cak Nur) di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, tahun 2005. Begitu acara pemakaman usai, beberapa wartawan mewawancarai saya seputar kehidupan Cak Nur, berlangsung sekitar 15 menit.

Seusai wawancara dalam perjalanan menuju tempat parkir mobil, saya baru sadar bahwa handphone saya hilang dicopet sewaktu saya melayani wartawan. Sebuah merek handphone yang cukup mahal, harganya di atas rata-rata saat itu.

Peristiwa tersebut memberikan pembelajaran nyata bahwa di saat orang lain berduka, masyarakat tertimpa krisis atau sibuk bekerja, ada saja orang yang mengambil keuntungan untuk memenuhi kepentingan diri semata. Orang semacam inilah yang dimaksud sebagai penumpang gelap atau mengendap-endap naik di tikungan ketika orang lain lengah.

Masih lebih baik kalau sekadar penumpang gelap. Yang terkutuk adalah jika dari penumpang lalu beraksi menjadi pembajak.

Ketika krisis sosial politik pun fenomena semacam itu juga lazim terjadi sampai-sampai ada ungkapan "revolusi memakan anak sendiri". Artinya sebuah perubahan sosial, reformasi, atau revolusi bisa berkembang keluar dari skenario yang dibayangkan dan dicitakan, bahkan memakan korban para inisiator dan aktornya. Kadang juga muncul pemain baru yang agendanya berseberangan dari cita-cita reformasi atau revolusi, sosok pahlawan kesiangan yang menyimpan agenda sendiri.

Lalu bagaimana halnya dengan reformasi di Indonesia yang bergulir sejak 1998? Ada beberapa prestasi yang pantas dicatat. Yang paling menonjol adalah terciptanya iklim kebebasan yang semakin dirasakan oleh masyarakat, termasuk kebebasan berserikat untuk mengekspresikan aspirasi tanpa rasa takut seperti masa Orde Baru.

Hal ini antara lain, pertama, ditandai dengan dimungkinkannya membentuk banyak parpol serta diskusi-diskusi tanpa harus minta izin kepada aparat pemerintah. Kedua, pembatasan jabatan presiden selama dua periode sehingga menutup mimpi atau ambisi seseorang untuk menjadi presiden seumur hidup.

Ketiga, desentralisasi kekuasaan sebagai antitesis terhadap pemerintahan Orde Baru yang sentralistis dengan harapan agar mata rantai layanan birokrasi diperpendek. Termasuk dalam konteks desentralisasi ini adalah pelaksanaan pilkada langsung untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota.  

Di awal reformasi, semangat untuk mengkritik dan memperbaiki berbagai kesalahan selama pemerintahan Orde Baru sangat mencolok. Banyak demo yang mengutuk praktik politik Orde Baru. Semangat yang sama juga pernah muncul ketika Orde Baru lahir dengan agenda utama ingin mengoreksi Orde Lama.

Namun setelah berjalan selama dua dekade, bayangan, harapan, mimpi, dan cita-cita reformasi jauh dari harapan hasilnya. Sekali lagi, yang paling menonjol adalah terciptanya iklim kebebasan dan praktik demokrasi prosedural, bukannya substansial.

Parpol gagal melakukan kaderisasi. Ini terlihat dari sekian banyak calon yang muncul dalam pilkada, bahkan pilpres, bukan anak kandung parpol.

Wibawa parpol tergerus oleh praktik korupsi yang dilakukan para kadernya. Otoritas parpol bisa dibeli oleh konglomerat sehingga terjadi oligarki dalam tubuh parpol, bersamaan dengan tumbuhnya dinasti dalam kepartaian.

Jika parpol tidak berhasil mewujudkan demokrasi yang substansial serta melahirkan kader-kadernya yang kredibel untuk ikut serta merealisasi cita-cita reformasi, baik yang duduk di lembaga legislatif maupun eksekutif, jangan disalahkan jika parpol akan dinilai tak lebih sebagai penumpang gelap reformasi, bukannya penggerak dan pilar reformasi. Parpol lebih sibuk hanya memikirkan dan menggemukkan pundi-pundinya.

Agenda pembangunan bangsa dan peningkatan kesejahteraan rakyat kalah oleh retorika dan hiruk-pikuk dukung-mendukung jagonya dalam pilkada maupun pilpres, tetapi tidak cukup meyakinkan program dan agenda kerjanya andai jagonya nanti memenangi kontestasi. []

KORAN SINDO, 6 Juli 2018
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar