Rabu, 04 Juli 2018

(Ngaji of the Day) Status dan Hak Waris Anak Angkat dalam Islam


Status dan Hak Waris Anak Angkat dalam Islam

Pertanyaan:

Assalamu alaikum wr. wb.
Redaksi NU Online yang terhormat, saya mau tanya terkait hak waris bagi anak angkat. Pertanyaannya, bagaimana sebenarnya hak waris bagi anak angkat dalam syariat Islam? Atas jawabannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu alaikum wr. wb.

Dewi – Batang

Jawaban:

Assalamu alaikum wr. wb.
Pembaca yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Soal status dan hak waris anak angkat diatur dalam kompilasi Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada Pasal 209 ayat 2 yang berbunyi, “Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat, maka diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.”

KHI mendefinisikan anak angkat sebagai anak yang dalam pemeliharaan untuk kehidupan sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.

Pasal ini merupakan solusi atas luputnya anak angkat dari peninggalan orang tua angkatnya dalam Islam. Anak angkat tidak dapat diakui untuk bisa dijadikan dasar dan sebab mewarisi karena prinsip pokok dalam kewarisan Islam adalah hubungan nasab atau keturunan. Pasal ini memberikan jalan atau sebab hak waris bagi anak angkat melalui wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) harta warisan orang tua angkatnya.

Masalah hak waris anak angkat ini juga diangkat oleh NU dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama NU 2017 di Nusa Tenggara Barat. Para kiai NU menyimpulkan bahwa anak angkat tetap bisa mendapat warisan berdasarkan wasiat.

“Anak angkat tidak berhak mendapatkan bagian dari tirkah dengan berdasar wasiat wajibah dari orang tua angkatnya. Tetapi apabila orang tua angkat berwasiat, maka anak angkat berhak mendapatkan bagian harta sesuai kadar wasiatnya selama tidak melebihi sepertiga dari harta orang tuanya. Apabila melebihi sepertiga dari harta orang tuanya, maka ia harus mendapatkan persetujuan ahli waris,”.

Mereka mengutip keterangan perihal ini pada Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh karya Syekh Wahbah Az-Zuhayli sebagai berikut:

بُيِّنَتْ أَنَّ الوَصِيَّةَ لِلأَقَارِبِ مُسْتَحبَّةٌ عِنْدَ الجُمْهُور مِنْهُمْ أَئِمَّةُ المَذَاهِبِ الأَرْبَعَةِ وَلاَ تَجِبُ عَلَى الشَّخْصٍ إِلاَّ بِحَقٍّ للهِ أَوْ لِلْعِبَادِ. وَيَرَى بَعضُ الفُقَهَاءِ كَابْنِ حَزْمٍ الظَّاهِرِى وَأَبِى بَكْرٍ بْنِ عَبْدِ العَزِيْز مِنَ الحَنَابِلَةِ: أَنَّ الْوَصِيَّةَ وَاجِبَةٌ دِيَانَة وَقَضَاء لِلْوَالِدَيْنِ وَالأَقْرَبِيْنَ الذِيْنَ لاَ يَرِثُونَ لِحَجْبِهِمْ عَنِ المِيْرَاثإِلَى أنْ قَالَ: وَقَدْ أَخَذَ القَانُونُ المِصْرِ وَالسُّوْرِىِّ بِالرَّأيِ الثَانِى

Artinya, “Diterangkan bahwa wasiat untuk kerabat, menurut mayoritas ulama yaitu ulama empat madzhab, dianjurkan. Wasiat itu tidak wajib bagi seseorang kecuali berkaitan dengan hak Allah atau hak anak Adam. Tetapi sejumlah ahli fiqih seperti Ibnu Hazm Az-Zhahiri dan Abu Bakar bin Abdul Aziz Al-Hanbali berpendapat bahwa wasiat itu wajib menurut agama maupun putusan hakim, untuk orang tua dan kerabat yang tidak berhak menerima waris karena terhijab dari hak waris tersebut...Undang-undang di Mesir dan Suriah mengadopsi pandangan kedua,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut: Darul Fikr, 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz VIII, halaman 122).

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Alhafiz Kurniawan
Tim Bahtsul Masail NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar