Al-Muqtadir: Remaja 13 Tahun yang Menjadi Khalifah dan Hilangnya
Hajar Aswad
Oleh: Nadirsyah Hosen
Dikarenakan kekuasaan khilafah tidak berdasarkan prinsip kemampuan
dan pilihan rakyat, maka siapa pun yang merupakan keluarga inti dari Dinasti
Abbasiyah berhak diangkat sebagai khalifah oleh para pejabat negara dan
militer, yang berada di sekeliling khalifah sebelumnya. Tidak heran, seorang
remaja berusia 13 tahun bisa diangkat menjadi seorang khalifah. Bagaimana
kisahnya?
Saat Khalifah ke-17 Abbasiyah, al-Muktafi (31 tahun), mendekati
ujung hayatnya, adiknya yang bernama Ja’far ditanya apa sudah akil baligh
belum? Ja’far menjawab bahwa dia sudah mimpi basah. Maka, begitu Khalifah
al-Muktafi wafat, Ja’far diba’iat sebagai Khalifah ke-18 dalam usia 13 tahun.
Jadilah dia Khalifah termuda. Dia berkuasa dengan gelar al-Muqtadir Billah pada
13 Agustus 908 Masehi.
Al-Muqtadir yang berusia 13 tahun, lebih muda dari para khalifah
remaja lainnya, misalnya Khalifah ke-3 Umayyah, Mu’awiyah bin Yazid bin
Mu’awiyah (dikenal sebagai Muawiyah II) yang berkuasa saat berusia 17
tahun. Khalifah ke-13 Abbasiyah, al-Mu’tazz, berkuasa saat berusia 19 tahun.
Begitu pula Khalifah ke-28 kelak, al-Mustazhir Billah, yang berusia 16 tahun
saat dibai’at menjadi Khalifah.
Para Khalifah yang masih belia ini bukan saja miskin pengalaman
mengabdi di pemerintahan, tapi juga secara emosional belum matang, dan mudah
dipengaruhi pejabat di sekitarnya. Nabi Muhammad saja diangkat menjadi Nabi
saat berusia 40 tahun—usia yang dianggap cukup matang.
Terpilihnya remaja ini menjadi Khalifah akibat permainan politik
sang Perdana Menteri al-Abbas bin al-Hasan al-Jarjara’i, yang ingin mengontrol
jalannya kekuasaan dengan menjadikan khalifah sebagai boneka saja. Menurut
catatan Imam Suyuthi, sebenarnya al-Muqtadir ini bukan remaja bodoh, namun dia
punya berbagai kelemahan. Imam Suyuthi menulis:
وكان المقتدر جيد العقل، صحيح الرأي لكنه كان مؤثرا للشهوات والشراب مبذرا، وكان النساء غلبن عليه، فأخرج عليهن جميع جواهر الخلافةونفائسها
“Al-Muqtadir seorang
yang baik akalnya, dan sahih pandangannya. Akan tetapi, beliau sering mengumbar
syahwat, minum-minum, dan boros. Dan para perempuan banyak mempengaruhi dia.
Maka, dia berikan kepada para perempuan semua permata yang ada di istana
Khilafah.”
Sekali lagi, kematangan emosional dan spiritual menjadi penting
untuk memilih seorang pemimpin, ketimbang hanya memenuhi syarat minimal telah
mimpi basah. Akibatnya, negara menjadi gonjang-ganjing dipimpin oleh
al-Muqtadir. Ketidakcakapannya memimpin paling tidak telah menimbulkan tiga persoalan
besar.
Pertama, instabilitas politik. Sejumlah tentara meminta bayaran
untuk memba’iat al-Muqtadir. Imam Thabari menjelaskan peristiwa di Mina pada 12
September 908 ketika terjadi kerusuhan akibat permintaan uang ini. Loyalitas
yang harus dibeli ini menunjukkan tiadanya dukungan yang solid untuk
al-Muqtadir.
Sejumlah pejabat negara dan militer yang tidak puas dengan
diangkatnya remaja berusia 13 tahun sebagai Khalifah mulai menyusun rencana
untuk mendongkel kekuasaan al-Muqtadir. Imam Thabari mencatat nama-nama mereka:
Muhammad bin Dawud al-Jarrah dan seorang hakim bernama Abu Mutsanna bin Abi
Ya’qub. Mereka sepakat membunuh al-Muqtadir dan mengangkat Abdullah bin
al-Mu’tazz sebagai penggantinya.
Di saat al-Muqtadir sedang asyik bermain bola, pasukan pemberontak
mengepung istana. Al-Muqtadir langsung kabur. Sejumlah menterinya terbunuh
dalam peristiwa ini. Kemudian Abdullah bin al-Mu’tazz dibai’at sebagai Khalifah
dengan gelar al-Ghalib Billah. Setelah itu Muhammad bin Dawud diangkat sebagai
Wazir dan Abu Mutsanna menjadi Ketua Mahkamah Agung.
Imam Thabari mengatakan bahwa mereka itu orang-orang yang
bermasalah, dan perkara ini tak akan sempurna di tangan mereka. Benar saja,
Abdullah bin al-Mu’tazz tidak bertahan lama. Dia berkuasa hanya sehari-semalam.
Di saat dia menuju istana, tiba-tiba al-Muqtadir dan pasukan setianya berbalik
melawan hingga istana kembali ke tangan al-Muqtadir.
Al-Muqtadir segera menangkap para fuqaha yang semula telah
mengeluarkan fatwa akan sahnya pergantian kepemimpinan dari al-Muqtadir ke
Abdullah bin al-Mu’tazz. Bahkan Abdullah ini juga dipenjarakan sampai wafat.
Untuk sementara kekuasaan masih kembali ke pangkuan al-Muqtadir.
Kedua, ketidakcakapan memimpin itu bisa menular ke bawahannya.
Inilah risiko memilih pemimpin yang tidak punya kapasitas, maka dia tidak
sanggup menyelesaikan sendiri sejumlah persoalan penting. Lantas dia terpaksa
mendelegasikan ke bawahannya, yang sayangnya juga diangkat tanpa melalui proses
seleksi yang ketat.
Empat belas kali dilakukan reshuffle wazir mengindikasikan
tambal-sulam dan tidak efektifnya administrasi pemerintahan. Sementara itu,
Khalifah kembali bermain-main sebagaimana layaknya para remaja.
قال الذهبي: اختل النظام كثيرا في أيام المقتدر لصغره.
Dan berkata Imam adz-Dzahabi: “negara mengalami kemunduran pada
masa al-Muqtadir berkuasa karena dia masih terlalu muda untuk memimpin”.
Mungkin ada pembaca yang bertanya, kalau begitu apa syarat menjadi
khalifah? Pada poin ini Imam al-Ghazali menuliskan 10 persyaratan menjadi
khalifah:
1. Baligh
2. Berakal (tidak gila)
3. Merdeka (bukan budak)
4. Lelaki
5. Keturunan suku Quraisy
6. Sehat panca indera
7. Keberanian untuk perang
8. Punya kompetensi (kifayah)
9. Punya pengetahuan
10. Wara’
Para ulama lainnya menyusun persyaratan yang berbeda. Ini saja
menunjukkan tidak ada aturan baku mengenai syarat menjadi khalifah. Jadi,
keliru besar kalau ada yang mengatakan khilafah merupakan sistem pemerintahan
yang telah baku. Faktanya tidak demikian.
Kita kembali ke al-Muqtadir. Salah satu pejabat yang tidak cakap
yang diangkat oleh al-Muqtadir adalah Ali bin Abi Syekhah sebagai ulama
kerajaan.
Imam Suyuthi mengabarkan bagaimana saat naik khutbah, Ali
menyampaikan khutbah dengan membaca teks, dan itu pun dia salah membaca ayat
sehingga sangat fatal perbedaan artinya.
Salah satu dampak ketidakcakapan memimpin negara itu adalah
kembalinya para pemberontak Qaramithah yang sudah dipadamkan pada masa khalifah
sebelumnya. Bahkan pada tahun 930 mereka menyerbu kota Mekkah saat musim haji.
Mayat-mayat dilempar ke sumur Zamzam, dan mereka berhasil pula mengambil Hajar
Aswad.
Dicurinya Hajar Aswad ini benar-benar menampar Khalifah
al-Muqtadir, sebagai amirul
mu’minin (pemimpin orang-orang yang beriman), yang kemudian
bernegosiasi hendak memberi Qaramithah uang sebanyak 50 ribu dinar agar
mengembalikan Hajar Aswad ke tempatnya semula. Pemberontak Qaramithah menolak
tawaran itu. Walhasil, di masa Khalifah al-Muqtadir, Ka’bah berpisah dengan
Hajar Aswad. Tanda-tanda apakah ini?
Sejak itu sampai 20 tahun kemudian, jamaah haji dan umrah tidak
bisa mencium Hajar Aswad saat thawaf. Nanti baru pada masa Khalifah Abbasiyah
ke-23, yaitu al-Mu’thi, Hajar Aswad berhasil diletakkan kembali pada posisinya
di Ka’bah.
Ketiga, ada dua tokoh yang sangat mempengaruhi al-Muqtadir. Tokoh
pertama adalah ibunya sendiri, yang bernama Syaghab. Sejumlah keputusan penting
dibuat oleh ibunya, sementara al-Muqtadir asyik dengan dunianya sendiri
minum-minum dan dikelilingi para selirnya. Tokoh kedua adalah Mu’nis al-Khadim,
yang punya gelar al-Muzhaffar. Kita fokus pada sepak terjang Mu’nis ini.
Mu’nis sebelumnya berjasa menyelamatkan al-Muqtadir dari
pemberontakan Abdullah bin al-Mu’tazz. Setelah itu dia diangkat menjadi
Panglima Tentara. Dia berjasa dalam berbagai ekspedisi militer sehingga
posisinya semakin menguat dan berpengaruh di pemerintahan. Al-Muqtadir kemudian
berencana mengganti Mu’nis dengan Harun bin Ghalib.
Imam Suyuthi melaporkan bahwa Mu’nis dan pasukannya murka atas
rencana ini. Mereka mendatangi istana, memaksa Khalifah keluar setelah salat
isya beserta keluarganya. Merampas uang 600 ribu dinar dari kas istana.
Al-Muqtadir pun terpaksa menyatakan pengunduran dirinya.
Mu’nis kemudian memba’iat Muhammad bin al-Mu’tadhid sebagai
Khalifah. Mereka memberinya gelar al-Qahir Billah. Surat dikirim ke pelosok
daerah mengabarkan pergantian Khalifah ini. Namun, ada satu yang luput dari
Mu’nis, yaitu loyalitas tentara harus dibeli dengan uang.
Para tentara yang menuntut bayaran sebagai kompensasi memberikan
bai’at marah ketika Mu’nis tidak berada di tempat dan tak ada yang mau membayar
mereka. Penjaga istana kemudian dibunuh dan terjadilah kericuhan. Para tentara
yang selama ini dibayar loyalitasnya oleh al-Muqtadir menginginkan Khalifah
dikembalikan ke tangan al-Muqtadir.
Tentara meringkus al-Qahir dan kemudian mengembalikan al-Muqtadir
sebagai khalifah. Ini artinya sudah dua kali al-Muqtadir diturunkan dan
kemudian berhasil kembali ke jabatannya semula. Sebagai kompensasinya,
al-Muqtadir memberikan lebih banyak lagi anggaran dan fasilitas untuk tentara.
Al-Qahir lalu dimaafkan oleh al-Muqtadir karena dia hanya korban
rekayasa Mu’nis. Dan Mu’nis sendiri dipaksa meninggalkan Baghdad, ibu kota
negara, pada tahun 931 M. Namun Mu’nis kembali lagi tahun 932 M untuk
menggulingkan al-Muqtadir dengan membawa pasukan orang-orang Barbar.
Seorang tentara Barbar berhasil melempar tombak yang melukai
al-Muqtadir dan membuatnya terjatuh. Lantas orang ini memotong kepala
al-Muqtadir dan menancapkan kepala tersebut di ujung tombaknya. Pakaiannya
dilucuti sehingga jenazah al-Mu’tadir tanpa kepala itu dalam keadaan telanjang.
Mengerikan sekaligus sangat tragis!
Mu’nis berhasil mengakhiri kekuasaan al-Muqtadir. Lantas al-Qahir
yang sebelumnya dibiarkan hidup dan dimaafkan oleh al-Muqtadir, kini kembali
diangkat oleh Mu’nis sebagai Khalifah ke-19 Dinasti Abbasiyah.
Lantas, apa yang dilakukan oleh al-Qahir sebagai Khalifah yang
baru berkuasa? Dia usir keluarga al-Muqtadir dan dia siksa mereka. Bahkan
Syaghab, ibunya al-Muqtadir, dipukuli hingga wafat. Dulu al-Qahir dimaafkan
al-Muqtadir, kini tiada maaf bagi keluarga al-Muqtadir.
Yang jelas, Khalifah al-Qahir mewarisi pemerintahan yang
kacau-balau. Semakin banyak wilayah yang memisahkan diri, hingga dikabarkan
luasnya wilayah Dinasti Abbasiyah saat itu hanya setengah dari cakupan wilayah
kekuasaan pada masa Harun ar-Rasyid.
Lantas bagaimana kelanjutan jalannya pemerintahan Abbasiyah di
bawah kekuasaan al-Qahir Billah? Insya
Allah para pembaca setia akan kembali disuguhi kisah lanjutannya
pada saat yang tepat. Bye
for now :)
GEOTIMES, 02 Maret 2018
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan
dosen senior di Faculty of Law, Monash University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar